Judul | Kecelakaan Truk Berulang, Cermin Buruknya Tata Kelola Angkutan Logistik |
Tanggal | 17 Nopember 2024 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | Pengangkutan |
AKD |
- Komisi V |
Isi Artikel | Kecelakaan truk bermuatan besar kerap terjadi karena minimnya kompetensi dan kesejahteraan para pengemudinya. Oleh Yosepha Debrina Ratih Pusparisa Rangkaian kecelakaan yang melibatkan truk akibat rendahnya kompetensi para pengemudi terus terjadi. Seolah tidak belajar dari berbagai insiden sebelumnya, kejadian-kejadian ini mencerminkan lemahnya tata kelola serta kurangnya upaya perbaikan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah. Terbaru, kecelakaan beruntun yang diduga dipicu rem blong truk pengangkut kardus di Jalan Tol Cipularang Km 92, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Senin (11/11/2024). Insiden itu menambah panjang daftar kecelakaan angkutan barang. Dalam rentang 31 Oktober-7 November 2024, sedikitnya tiga kecelakaan terjadi di Jawa Tengah dan Banten hingga memakan korban jiwa. Kondisi ini diperkuat dengan data Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang menunjukkan, mobil barang dan bus menempati urutan kedua sebagai kendaraan terbanyak yang terlibat kecelakaan, setelah sepeda motor, dalam tiga tahun terakhir. Persentasenya mencapai 8-12 persen dari total kendaraan terlibat kecelakaan. Direktur Sarana Transportasi Jalan Kemenhub Amirulloh mengatakan, truk besar berperan penting dalam logistik guna mengangkut barang secara efisien. Namun, ukuran yang besar dapat menjadi bumerang dalam operasionalnya. ”Dimensi yang besar membuat mereka (truk) sulit dikendalikan, bermanuver, dan berhenti saat terjadi kecelakaan. Selain itu, ukuran dan berat truk cenderung meningkatkan kemungkinan kecelakaan dengan cedera parah,” ujar Amirulloh dalam Sosialisasi Peraturan Angkutan Barat Berkeselamatan di Gedung Kemenhub, Jakarta, Jumat (15/11/2024). Dalam acara itu hadir pula sejumlah pejabat lain. Beberapa di antaranya Wakil Menhub Suntana, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Risyapudin Nursin, Investigator Senior Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Ahmad Wildan, Direktur Angkutan Jalan Kemenhub Ernita Titis Dewi, serta pengamat transportasi Djoko Setijowarno. Selama ini, kecelakaan akibat kelalaian pengemudi menghantui para pengemudi truk. Kecelakaan ”konyol” kerap terjadi karena musibah-musibah itu dapat dihindari dan tidak seharusnya terjadi. Dalam kecelakaan Cipularang, misalnya, tingkat kemiringan hanya 5 persen, tergolong standar. Berbeda dengan tebing Breksi, Yogyakarta, yang tingkat kemiringannya mencapai 35 persen. ”Jalan kita boleh enggak substansial. Di seluruh dunia, enggak ada negara yang (seluruh) jalannya substansial, tetapi kalau pengemudinya mengerti cara menyetir, seharusnya enggak celaka,” ujar Wildan. Prinsip-prinsip keilmuan sains mesti dipahami dan diterapkan. Pada jalanan menurun, misalnya, gaya gravitasi bumi yang banyak berperan sehingga perlu menggunakan gigi rendah (engine brake), kemudian gunakan rem bantuan (exhaust brake). Selain kompetensi pengemudi truk yang rendah, liberalisasi angkutan barang seluruhnya diserahkan pada mekanisme pasar. Namun, hal itu tak diikuti dengan standar keselamatan dan aspek-aspek lainnya demi efisiensi biaya. ”Di negara maju, mekanisme pasar berjalan. Namun, norma-norma batasan aturan teknis keselamatan kendaraan, regulasi pengemudi, dan lain-lain dijalankan secara ketat. Liberalisasi hanya dalam pengenaan tarif dengan tetap memenuhi standar keselamatan dan beberapa norma tetap diperhatikan,” tutur Djoko. Kecelakaan truk yang kerap terjadi di Indonesia, bahkan peringkat kedua setelah sepeda motor, menunjukkan tata kelola angkutan logistik di Indonesia masih buruk. Dalam realitasnya, masih banyak pengemudi truk bekerja tanpa pengetahuan yang cukup dan bekerja tanpa upah standar. Ada pula pembiaran pengemudi truk anak-anak membawa material, seperti terjadi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Isu lainnya adalah krisis pengemudi angkutan barang. ”Sopir itu pasti enggak mau celaka. Itu prinsip dasarnya. Enggak ada di dunia ini yang siap bunuh diri, kecuali hanya sopir Indonesia. Naik kendaraan sudah calon tersangka. Naik kendaraan siap celaka. Naik kendaraan siap ditarik pungutan liar, mulai yang berseragam hingga yang tak berpakaian,” ujar Djoko. Perbaikan tata kelola Rentetan kecelakaan ini terjadi karena kurangnya ilmu dan kompetensi para pengemudi truk. Alhasil, mayoritas yang kini bekerja sebagai sopir menjalani profesinya karena keterpaksaan, sulitnya mencari pekerjaan. Direktur Lalu Lintas Jalan Kemenhub Ahmad Yani mengatakan bahwa saat ini Indonesia tengah kekurangan pengemudi truk yang mumpuni. Regenerasi pun sangat terbatas. Guna meminimalisasi kecelakaan dan memberi pemahaman kepada para sopir truk, KNKT bekerja sama dengan PT Jasa Marga (Persero) Tbk menyosialisasikan langkah-langkah memastikan kendaraan truk siap beroperasi. Penjelasan dimulai dari langkah dasar menyiapkan kendaraan dengan roda terganjal, rem tangan diturunkan, dan persiapan teknis lainnya, hingga pemeriksaan dan tekanan angin ban. ”Dan, kalau ini dijalankan hanya 5 menit, enggak sampai 10 menit. Terakhir, saya juga berikan nomor handphone saya. Setiap mau berangkat, periksa dulu. Manajer (perusahaan) bisa telepon saya,” kata Wildan. Ia mengajak dinas perhubungan provinsi dan kabupaten/kota serta Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) mulai menguji dan memeriksa truk-truk yang ditemui di jalan. Mereka perlu lebih aktif memeriksa ke beragam tempat, seperti tempat wisata dan terminal. ”Periksa saja, kalau yang enggak benar, langsung ditilang. Untuk memeriksa kendaraan truk dan bus sistem rem baik atau tidak, hanya butuh waktu 5 menit. Ketika ini dijalankan, kita dapat memutus mata rantai adanya kendaraan tidak layak jalan beroperasi,” tutur Wildan. Selain mengawasi secara ketat di lapangan, kompetensi para sopir truk juga harus ditingkatkan. Selama ini, mereka berlatih seadanya tanpa melalui sekolah, khusus seperti pilot, nakhoda, dan masinis yang wajib menempuh pendidikan formal. Djoko mengatakan, para sopir angkutan darat, termasuk truk, tidak melalui pendidikan formal dan latihan khusus. Guna mengendarai bus dan truk, cukup magang menjadi kernet, kemudian berlatih memarkir kendaraaan dan mencucinya. Setelah itu, belajar menjalankan truk dalam jarak terbatas dan seterusnya. ”Cara ini harus diakhiri. Kemenhub bersama Polri saling berkoordinasi dapat memulai membuat sekolah mengemudi untuk calon pengemudi angkutan umum, seperti tertulis dalam Pasal 77 (Ayat 4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ),” ujar Djoko. Bisnis angkutan truk harus ditata agar lebih profesional dengan sistem manajemen keselamatan, hubungan industrial yang tepat, agar proses perekrutan pengemudi juga dilakukan dengan benar. Kompetensi, batasan jam kerja, dan pendapatan minimal juga jadi syarat mutlak. Dalam tata kelola angkutan logistik di Indonesia, sedikitnya ada 12 kementerian/lembaga yang terlibat. Beberapa di antaranya Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian, Kemenko Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Kemenhub, Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Kemenaker perlu menyusun regulasi yang mengatur upah standar minimum bagi para pengemudi. Berbarengan dengan pendidikan formal para sopir, diharapkan dapat menekan angka kecelakaan di jalan. Sejak 2017, Djoko melanjutkan, Kemenhub telah memulai membenahi persoalan over dimension over loading atau ODOL, tetapi gagal karena penolakan Kemenperin dan Asosiasi Pengusaha Indonesia karena kekhawatiran naiknya inflasi. Isu ini hanya dapat dituntaskan oleh ketegasan presiden. Selama ini, UU LLAJ cenderung memojokkan dan menjerat para sopir truk. Padahal, mereka bekerja sesuai perintah para pengusaha. ”Bila negara memandang sopir truk ujung tombak angkutan logistik, lindungi dan sejahterakan sopir truk,” kata Djoko. Karena itu, sudah saatnya pemerintah merevisi UU LLAJ Nomor 22 Tahun 2009 agar para pengusaha turut terlibat dan bertanggung jawab atas kelalaian para sopir truk. Cara ini, Djoko meyakini, dapat menertibkan para pengusaha agar dapat lebih memperhatikan para sopirnya. Belajar dari Jepang Berkaca dari Jepang yang mengalami krisis populasi, pemerintah berupaya membuat regulasi yang pro kepada para pekerja, termasuk sopir truk. Harapannya, pekerjaan ini juga diminati anak muda. Mengutip dari The Japan Times, pemerintah mewajibkan para sopir bekerja maksimal rata-rata 80 jam per bulan, termasuk durasi istirahat. Sebelumnya, tidak ada batasan durasi berkendara sehingga banyak sopir bekerja lebih lama untuk mengantongi pendapatan yang lebih banyak. Apabila model itu diteruskan, pemerintah Jepang menyadari betapa tidak sehatnya bekerja sebagai sopir truk. Dengan durasi yang panjang dan tidak menentu di jalan, akhirnya berkontribusi terhadap tingginya penyakit jantung dan stroke. Demi memperbaiki pola kerja para pengemudi truk, memang pada akhirnya konsumen harus mengalah. Profesor di Ryutzu Keizai University, Hiroaki Oshima, mengatakan, konsumen akhirnya membayar barang dengan harga lebih tinggi. ”Pada akhirnya, siapa yang sekarang harus membayar secara adil? Saya yakin itu adalah masyarakat, mereka yang mengirim dan menerima kargo, konsumen,” ujar Oshima. Meski demikian, pengusaha juga kini mendukung perbaikan tata kelola logistik dengan mengirimkan sopir pengganti untuk melanjutkan pengiriman logistiknya. Pengusaha Layanan Portline, Katsuya Doi, akhirnya mengeluarkan biaya bulanan tambahan hingga 1,3 juta yen atau sekitar 8.750 dollar AS, setara Rp 139 juta dengan kurs Rp 15.888 per dollar AS. ”Kami adalah korban. Seharusnya tanggungan biaya ini tidak hanya dihadapi kami atau klien-klien kami,” katanya. Kini, Doi bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan lain untuk bernegosiasi meningkatkan fee serta mengadakan ragam seminar. Harapannya, masyarakat dapat lebih tersadarkan dan memahami pentingnya mendukung tata kelola logistik yang lebih baik, seperti dikutip dari The Japan Times. Belajar dari Jepang, perbaikan tata kelola logistik perlu diatasi dari hulu hingga hilir. Para sopir truk hanyalah ”korban” dari buruknya tata kelola pemerintah dan para pengusaha untuk mengeruk keuntungan, tanpa memikirkan dampak jangka panjang industri. Alhasil, butuh komitmen semua pihak, termasuk masyarakat, untuk membenahi seluruh rantai logistik yang lebih sehat demi keselamatan banyak orang. |
Kembali ke sebelumnya |