Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul KINERJA DPR 2019-2024, Yang Kilat dan Tak Kunjung Usai dari Legislasi DPR 2019-2024
Tanggal 30 September 2024
Surat Kabar Kompas
Halaman 4
Kata Kunci Dewan Perwakilan Rakyat
AKD - Komisi II
Isi Artikel

Dari total 263 RUU di Prolegnas 2019-2024, hanya 26 RUU yang berhasil disahkan hingga akhir masa jabatan DPR 2019-2024.

Oleh HIDAYAT SALAM

Di pengujung masa jabatan anggota DPR periode 2019-2024, kinerja legislasi jadi sorotan. Dari rencana 263 rancangan undang-undang yang bisa disahkan, hanya sepuluh persen yang bisa dituntaskan. Di antaranya ada yang begitu cepat pembahasannya, tetapi ada pula rancangan undang-undang yang begitu lama pembahasannya, bahkan hingga masa jabatan anggota DPR 2019-2024 berakhir pada Senin (30/9/2024) belum juga tuntas meski penting untuk publik.

Setengah bulan menjelang jabatannya berakhir, DPR periode 2019-2024 tiba-tiba begitu cepat membahas tiga revisi undang-undang. Ketiga undang-undang dimaksud, Undang-Undang Kementerian Negara, UU Dewan Pertimbangan Presiden, dan UU Keimigrasian. Meski ramai kritik masyarakat sipil bahwa ketiga undang-undang yang direvisi itu minim partisipasi publik, DPR tetap saja mengesahkan tiga rancangan undang-undang tersebut.

Badan Legislasi DPR dan pemerintah hanya membutuhkan tiga hari dari 10-12 September untuk menuntaskan pembahasan tiga RUU tersebut hingga disepakati dalam pembicaraan tingkat I untuk dibawa ke rapat paripurna. Persetujuan pengesahan ketiga RUU menjadi undang-undang dalam rapat paripurna, Kamis (19/9/2024), pun berjalan mulus. Tak ada interupsi dari satu pun wakil rakyat.

Selain itu, masih ada sejumlah RUU lain yang pembahasannya juga terbilang cepat, antara lain RUU Ibu Kota Negara (IKN), RUU Daerah Khusus Jakarta (DKJ), RUU Cipta Kerja, RUU Mineral dan Batubara, RUU Pembentukan Provinsi Papua Selatan, Papua Pegunungan, Papua Tengah, dan Papua Barat Daya.

RUU IKN, misalnya, dibahas hanya 42 hari, bahkan untuk UU Daerah Khusus Jakarta hanya 5 hari. Selanjutnya, ada UU Mineral dan Batubara yang dibahas DPR dan pemerintah hanya dalam waktu tiga bulan.

Di sisi lain, ada pembahasan rancangan undang-undang yang sangat lambat, padahal kehadirannya dibutuhkan, antara lain UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRRT), UU Pelindungan Data Pribadi, dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Pembahasan rancangan UU TPKS memakan waktu hingga enam tahun dan baru tuntas tahun 2022, sedangkan RUU PRRT yang sudah diproses sejak 2004 hingga kini masih dalam pembahasan. Begitu pula RUU Perampasan Aset dan RUU Masyarakat Adat yang juga penting bagi publik, tetapi tak kunjung disahkan oleh DPR. Dengan masa jabatan anggota DPR berakhir, besok, penyelesaian RUU ini akhirnya bergantung pada pemerintah dan DPR periode 2024-2029.

Bahkan, jika mengacu pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019-2024 yang dikutip dari laman resmi DPR, pada Sabtu (28/9/2024), jumlah RUU dalam daftar Prolegnas tersebut mencapai 263 RUU. Dari jumlah itu, hanya 26 di antaranya yang sudah disahkan menjadi undang-undang. Jadi, masih ada 237 RUU yang belum dituntaskan. Pendataan oleh Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), pun menunjukkan angka yang serupa.

”Produk legislasi sangat minim dari segi jumlah dan sangat rendah dari segi kualitas. Sejumlah RUU itu juga kontroversial,” ucap peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, Sabtu (28/9/2024).

Lucius menyoroti sejumlah RUU yang disahkan itu minim partisipasi publik yang bermakna. Penyusunan legislasi yang demikian itu telah menyalahi aturan mengenai partisipasi publik yang dijelaskan pada Pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Pembentuk undang-undang juga melanggar putusan Mahkamah Konstitusi soal partisipasi publik bermakna yang telah diadopsi dalam UU No 13/2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Beberapa RUU yang secara prosedural dianggap minim partisipatif, bahkan secara substansial menunjukkan keberpihakan lebih terhadap elite ketimbang rakyat, seperti RUU Cipta Kerja, RUU IKN, hingga RUU DKJ.

”Karena itu, saya kira ada banyak. Sejak revisi UU MK soal usia pensiun hakim MK. Karena, mereka tidak mau capek-capek melibatkan publik. Hasilnya justru merusak institusi MK. Kemudian UU Kementerian Negara, UU Wantimpres, dan lain sebagainya. Pikiran lain dari publik yang mestinya berguna untuk memperkuat kelembagaan itu tidak mau didengar. Jadi, saya kira itulah wajah DPR 2019-2024 ini,” ungkap Lucius.

Tak sebatas itu, ia melihat sejumlah RUU yang disahkan, terutama yang begitu cepat pembahasannya, tak terkait langsung dengan kepentingan publik.

”Ini terkait dengan kepentingan kekuasaan saja. Karena itu, kalau kekuasaannya merasa ada hambatan untuk menjalankan keinginannya melalui undang-undang itu, ya, itu yang kemudian diubah,” kata Lucius.

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, pembahasan RUU tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik. Kepentingan politik itu selalu mewarnai dalam proses pembahasan undang-undang tersebut.

”Nah, proses politik ini kan sebagai satu hal yang memang tidak bisa kita pisahkan dari lembaga legislatif yang memang berisi subyek-subyek politik. Meskipun juga kita tetap mengedepankan agar setiap partai politik, setiap fraksi itu juga bisa menempatkan kepentingan bersama di samping dari kepentingan politiknya masing-masing,” ujar Taufik Basari, Rabu (25/9/2024).

Terkait dengan sejumlah RUU yang pembahasannya berjalan dengan cepat ataupun ada yang lambat, Tobas mengatakan, hal itu bagian dari dinamika politik. Pembahasan RUU yang cepat karena memang muatan jumlah pasal yang akan diubah sedikit.

”Jadi, faktor cepat atau lambatnya satu pembahasan undang-undang itu ada berbagai faktor. Tidak hanya pada satu faktor soal kepentingan saja, tetapi juga terkait dengan materi muatan yang menjadi pokok pembahasan di dalam RUU tersebut,” ujarnya.

Adapun kritik masyarakat sipil terkait dengan pembahasan RUU yang minim partisipasi publik bermakna, Tobas mengatakan, prinsip partisipasi publik bermakna harus menjadi pegangan bagi legislatif ketika menyusun undang-undang. DPR sebenarnya sudah membuka ruang bagi pelibatan publik dalam penyusunan RUU tersebut, termasuk rapat-rapat yang yang disiarkan secara langsung dan mudah diakses publik.

”Oleh karena itu, DPR ke depan harus memperhatikan hal tersebut dan membuka ruang yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk terlibat aktif dalam setiap pembahasan,” katanya.

Ia mencontohkan UU TPKS. Sejak perumusan hingga pembahasan, RUU TPKS itu selalu dikawal dan melibatkan semua pihak, khususnya gerakan perempuan.

”Bahkan, sampai pada pembahasan-pembahasan terakhir pun ketika ada masukan menjelang kita mengesahkan atau menyetujui di pembahasan tingkat pertama pun kita masih sempat untuk mengakomodir masukan tersebut,” ucap Tobas.

Sementara itu, anggota Baleg DPR dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera mengatakan, partisipasi publik tak hanya bisa dilakukan di tahap pembahasan, tetapi juga bisa dilakukan dalam tahap perencanaan ataupun penyusunan naskah akademik. Sebab, tidak ada ketentuan khusus mengenai tahapan-tahapan mana yang harus melibatkan partisipasi publik.

”Mesti ada aturan ketat, minimal pada pembuatan naskah akademik harus melibatkan partisipasi publik yang meaningful saat pembahasan naskah akademik. Karena kalau sudah jadi naskahnya dan publik dilibatkan pada saat RDPU (rapat dengar pendapat umum), biasanya itu tidak akan mengubah konstruksi dari RUU,” katanya.

Perlu menata ulang

Menurut Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Yance Arizona, sudah sejak awal DPR periode 2019-2024 dalam setiap proses legislasi yang terjadi mengabaikan partisipasi publik. Tak hanya itu, proses legislasi DPR juga kerap tidak berjalan sesuai dengan perencanaannya yang terdapat di dalam Prolegnas jangka menengah ataupun Prolegnas prioritas tahunan.

Misalnya, saat DPR dan Presiden menetapkan revisi UU Kementerian Negara, UU Wantimpres, dan UU Keimigrasian. Padahal, ketiga undang-undang tersebut tidak termasuk di dalam Prolegnas Prioritas 2024.

Menurut dia, ke depan proses penyusunan Prolegnas perlu ditata ulang. Selama ini, Prolegnas hanya berisi daftar judul-judul undang-undang yang akan dibuat, baik dalam jangka lima tahun maupun prioritas tahunan. Seharusnya Prolegnas berisi suatu kajian komprehensif mengenai undang-undang yang perlu dibuat, perlu diubah atau diganti, serta mengapa hal tersebut perlu dilakukan.

”Demikian juga perlu menghubungkan usulan undang-undang yang satu dengan yang lainnya sebagai suatu kerangka yang terintegrasi serta perlu pula disesuaikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang sudah ditetapkan,” ujar Yance.

  Kembali ke sebelumnya