Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul DPR 2019-2024, Sederet Kasus Korupsi DPR 2019-2024, Mungkinkah DPR Tak Lagi Korupsi?
Tanggal 30 September 2024
Surat Kabar Kompas
Halaman 4
Kata Kunci Dewan Perwakilan Rakyat
AKD - Komisi II
Isi Artikel

Sejak 2004-2023, KPK menangani 76 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR. Apakah korupsi bisa sirna di DPR 2024-2029?

Oleh PRAYOGI DWI SULISTYO

Kasus korupsi seolah tidak pernah lepas dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini pula yang masih terlihat di DPR periode 2019-2024 yang masa jabatannya akan berakhir, Senin (30/9/2024). Sejumlah anggota DPR hingga pimpinan DPR terjerat kasus korupsi. Terbuktinya pimpinan DPR korupsi bahkan mengulang DPR periode sebelumnya. Akankah korupsi benar-benar sirna dari DPR?

Tengah malam, Sabtu, 25 September 2021, Komisi Pemberantasan Korupsi menahan Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Azis Syamsuddin. Azis ditangkap karena menyuap penyidik KPK, Stepanus Robin Pattuju, dan pengacara Maskur Husein dengan uang sebesar Rp 3,09 miliar dan 36.000 dollar AS. Suap itu untuk mengamankan kasus yang diduga melibatkan Azis dan kader Partai Golkar lainnya, Aliza Gunado, dan tengah diselidiki KPK di Lampung Tengah.

 

Kasus dimaksud, kasus dugaan korupsi dana alokasi khusus (DAK) APBN-P tahun 2017. Azis pada 2017 merupakan Ketua Badan Anggaran DPR dan terindikasi terlibat dalam pengurusan dana DAK tersebut bersama Aliza Gunado.

Meski kasus itu terjadi pada 2017, komunikasi antara Azis dan Stepanus terjadi setahun setelah Azis terpilih kembali menjadi anggota DPR dan telah menjabat Wakil Ketua DPR, persisnya pada 2020. Saat itu, bersamaan dengan kian intensnya penyelidikan KPK terkait kasus DAK di Lampung Tengah. Jejaring dan pengaruh Azis sebagai pimpinan DPR dan anggota Komisi III DPR, komisi yang membidangi masalah hukum, memungkinkannya mengenal Stepanus sekaligus menyuapnya. Berselang setahun setelah ditahan, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis Azis bersalah, dan ia dijatuhi hukuman 3,5 tahun penjara.

Azis Syamsuddin bukan pimpinan DPR pertama yang tersangkut kasus korupsi. Di DPR periode 2014-2019, justru ketua DPR yang terbukti korupsi. Sosok dimaksud adalah Setya Novanto.

Pada April 2018, Novanto terbukti bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dan divonis 15 tahun penjara dalam perkara korupsi pengadaan proyek kartu tanda penduduk elektronik atau KTP-el. Vonis hakim dijatuhkan setelah KPK menahannya sejak pertengahan November 2017. Penahanannya saat itu sempat menggemparkan publik. Sebab, selain Novanto menjabat Ketua DPR, politisi Golkar itu sempat terlibat kecelakaan lalu lintas. Mobil yang ditumpanginya menabrak tiang lampu dan membuat Novanto dilarikan ke rumah sakit. Namun, banyak pihak melihat kejadian itu hanya akal-akalan Novanto agar tak ditahan KPK.

Kembali ke DPR periode 2019-2024, selain Azis Syamsuddin, ada sejumlah anggota DPR lain yang juga tersangkut kasus korupsi. Akhir Juli 2024, misalnya, Kejaksaan Agung menangkap anggota Komisi III DPR dari Partai Nasdem asal Kalimantan Tengah, yang juga mantan Bupati Kotawaringin Barat Ujang Iskandar karena diduga terlibat dalam perkara korupsi dana penyertaan modal dari Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat kepada Perusahaan Daerah Perkebunan Agrotama Mandiri tahun 2009.

Ironisnya, Ujang menggantikan bekas anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Nasdem, Ary Egahni, yang juga ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 28 Maret 2023. Ary bersama dengan suaminya, bekas Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah, Ben Brahim S Bahat, menerima suap dan gratifikasi.

Tak berhenti di situ, pertengahan September 2024, KPK mengumumkan pihaknya memulai penyidikan terhadap perkara dugaan korupsi pengurusan izin usaha pertambangan di wilayah Kalimantan Timur. KPK telah melarang bepergian ke luar negeri terhadap tiga orang, salah satunya anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Nasdem Awang Faroek Ishak.

”Larangan bepergian ke luar negeri ini terkait penyidikan dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji dalam pengurusan izin usaha pertambangan (IUP) pada wilayah Kalimantan Timur,” kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto di Jakarta, Kamis (26/9/2024).

Selain Awang, KPK juga masih mengusut dugaan korupsi anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Herman Hery. Pada awal Agustus 2024, penyidik KPK memeriksa Herman dalam kasus dugaan korupsi bantuan sosial presiden untuk penanganan Covid-19 di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Sebelum memeriksa Herman, KPK menggeledah rumahnya di Depok, Jawa Barat, dan kawasan Pondok Indah, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Total 76 kasus

Berdasarkan data KPK, DPR bahkan menjadi salah satu lembaga terkorup. Sejak 2004 sampai dengan 2023, terdapat 76 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR. Tahun 2015-2019 di bawah kepemimpinan Ketua KPK Agus Raharjo menjadi periode terbanyak anggota DPR yang ditindak KPK dengan 38 kasus. Pascarevisi Undang-Undang KPK yang menempatkan KPK sebagai bagian dari rumpun eksekutif pada 2019, hanya ada dua kasus anggota DPR yang ditangani KPK.

Menurut peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, penyebab utama banyaknya anggota DPR yang terjerat kasus korupsi karena integritas diri yang sudah lemah sejak awal.

Lemahnya integritas itu menjadikan anggota DPR dengan mudah memanfaatkan peluang apa pun untuk memperkaya diri sendiri atau bersekongkol dengan orang lain demi memperkaya kelompok hingga partai. Anggota DPR dengan integritas yang rendah akan mencari celah yang bisa dimanfaatkan untuk memperkaya diri.

”Anggota DPR dengan integritas yang rendah itu ada dalam sebuah lembaga yang secara sistemik memelihara iklim korupsi. Korupsi DPR yang sistemik berkaitan dengan partai politik yang menjadi asal anggota DPR yang bahkan menjadikan sumber dana ilegal untuk menghidupi partai,” kata Lucius, Kamis (26/9/2024).

Dalam sistem yang koruptif itu, anggota DPR dengan integritas yang rendah akan dengan mudah bermain-main dengan uang negara untuk memperkaya diri atau kelompok (partai).

Kewenangan DPR yang besar di bidang anggaran juga menjadi celah lain yang selalu dimanfaatkan DPR untuk korupsi. Kuasa mereka atas informasi terkait anggaran negara beserta program dan proyek yang akan dikerjakan pemerintah kerap menjadi instrumen bagi terjadinya korupsi yang melibatkan kepala daerah.

Rawannya korupsi yang dilakukan politisi, khususnya anggota DPR pernah diungkapkan oleh anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Santoso. Ia menyebut pembiayaan partai politik cukup besar, sedangkan bantuan keuangan bagi parpol tidak besar. Anggota parlemen dari semua partai sudah dikenakan iuran tiap bulan untuk menutupi kegiatan partai, tetapi masih belum memadai (Kompas, 27/10/2023).

Politik dinasti

Menurut Lucius, anatomi anggota DPR 2024-2029 tak terlihat bisa menghentikan kecenderungan DPR yang koruptif. Banyaknya anggota DPR yang terpapar politik dinasti, dalam hal ini Formappi menemukan 79 anggota, rentan membajak DPR menjadi semacam rumah singgah yang bisa dimanfaatkan untuk keuntungan sesaat.

”Bayangkan ada suami-istri, ibu-anak, ini sih lahan basah bagi merebaknya iklim korupsi. Kolusi, korupsi, nepotisme itu tiga serangkai yang saling terkait,” katanya.

Ketua sementara KPK Nawawi Pomolango berharap agar anggota DPR 2024-2029 menjadi wakil rakyat yang berintegritas baik dan tidak akan ada praktik korupsi lagi. Ia pun berharap pimpinan KPK periode berikutnya lebih berani menindak setiap ada kasus dugaan korupsi yang dilakukan anggota DPR.

Namun, senada dengan Lucius, Ketua Departemen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar pesimistis harapan agar DPR periode berikutnya tak korupsi bisa terwujud. Latar belakang anggota DPR 2024-2029 yang banyak berlatar belakang pengusaha dan pengacara seperti DPR periode sebelumnya kerap menjadi pintu masuk korupsi. Pasalnya, dengan latar belakang itu mereka rentan konflik kepentingan.

”Jadi, mungkin awal-awal ini akan berbeda karena mereka belum terlalu mahir berhadapan dengan aparat penegak hukum, tetapi seiring dengan waktu, itu akan kembali pola-pola yang lama,” kata Zainal.

Menurut dia, dukungan pemerintah terhadap aparat penegak hukum sangat penting untuk memberantas korupsi di DPR. Sebab, tidak ada lembaga pemberantasan korupsi yang berjalan efektif, kuat, dan tegar tanpa dukungan pemerintah. Salah satu syarat pemberantasan korupsi yang baik adalah dukungan pemerintah.

  Kembali ke sebelumnya