Judul | Transisi Pemerintahan, Penambahan Komisi di DPR, Alat Barter Kekuasaan? |
Tanggal | 28 September 2024 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 2 |
Kata Kunci | Dewan Perwakilan Rakyat |
AKD |
- Komisi II |
Isi Artikel | Setiap pergantian DPR, kursi pimpinan komisi dan badan di DPR kerap jadi alat barter dan bagi-bagi kekuasaan. Oleh KURNIA YUNITA RAHAYU, NIKOLAUS HARBOWO Meski belum ada kepastian jumlah kementerian di kabinet presiden terpilih Prabowo Subianto, DPR mulai menggodok rencana penambahan jumlah komisi di lembaga tersebut untuk periode 2024-2029. Namun, penggodokan itu dibaca sebagai masa bagi partai politik bernegosiasi untuk berbagi kursi pimpinan komisi dan alat kelengkapan DPR lain. Hal yang sudah biasa terjadi dalam setiap pergantian DPR. ”Kami akan mengkaji dengan sebaik-baiknya (penambahan komisi), bagaimana mekanismenya, sehingga tidak ada hal-hal yang terlewati, tidak ada yang dilompati mekanismenya. Jadi, sabar saja,” ujar Ketua DPR Puan Maharani saat ditanya soal perkembangan pembahasan penambahan komisi menyusul rencana penambahan kementerian di kabinet Prabowo, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (27/9/2024). Kajian tersebut termasuk salah satunya dengan melihat aturan yang tertuang dalam Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Menurut Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu, masih ada waktu hingga pelantikan presiden-wakil presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, 20 Oktober mendatang, untuk mengkaji mekanisme yang ada.
Dalam Pasal 96 UU MD3 disebutkan, DPR menetapkan jumlah komisi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Kemudian, jumlah anggota komisi ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR, tahun sidang, dan pada setiap masa sidang. Selain itu, disebutkan pula bahwa ketentuan mengenai jumlah komisi dan anggotanya diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib. Selain mengkaji aturan, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Lodewijk Freidrich Paulus mengatakan, pengkajian mencakup beban kerja yang bisa ditanggung oleh setiap komisi. Saat ini, setiap komisi di DPR sudah bermitra dengan lebih dari satu kementerian sesuai dengan fungsi dari tiap-tiap alat kelengkapan DPR tersebut. Tak hanya kementerian, setiap komisi bermitra pula dengan lembaga lain, seperti Komisi I DPR yang tak hanya bermitra dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), tetapi juga dengan Komisi Penyiaran Indonesia. ”Beban setiap komisi itu yang nanti dihitung sambil DPR menunggu jumlah pasti kementerian dari presiden terpilih Prabowo, kemudian nanti akan dibagi secara proporsional ke komisi,” katanya. Saat ini di DPR terdapat 11 komisi. Di luar komisi, ada setidaknya tiga alat kelengkapan DPR lain yang bermitra dengan kementerian/lembaga. Alat kelengkapan dimaksud adalah Badan Legislasi, Badan Anggaran, serta Badan Akuntabilitas Keuangan Negara. Adapun jumlah kementerian selama pemerintahan Presiden Joko Widodo sebanyak 34 kementerian. Setelah revisi Undang-Undang Kementerian Negara disepakati, tak lagi dibatasi 34, tetapi diserahkan sepenuhnya kepada presiden. Kabar yang beredar, Prabowo berpotensi menambah kementerian hingga 44 instansi. Guru Besar Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Wahyudi Kumorotomo menilai rencana penambahan komisi dapat dianggap sebagai kesempatan bagi DPR untuk bagi-bagi kekuasaan. ”Kita tentu harapkan itu tidak terjadi. Tapi, kekhawatiran kita itu, saya kira, beralasan bahwa penambahan komisi itu juga akan mengakibatkan dampak buruk,” ujarnya. Dampak buruk dimaksud, misalnya, anggaran untuk DPR akan membengkak. ”Dari segi biaya tiap-tiap komisi nanti kalau komisinya banyak, kan, yang mengusulkan untuk kunjungan ke luar negeri, yang mengusulkan untuk jaring aspirasi masyarakat, itu, kan, akan lebih banyak juga,” ucapnya. Potensi bagi-bagi kekuasaan juga dibaca oleh peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus. Ia bahkan menduga partai politik (parpol) yang punya wakil di DPR periode mendatang kini sudah mulai menegosiasikan jumlah kursi pimpinan komisi dan alat kelengkapan DPR untuk setiap parpol. Dugaan ini muncul karena lobi-lobi itu sudah biasa terjadi di setiap pergantian anggota DPR pada setiap periode. Hal ini tak lain karena strategisnya posisi pimpinan. ”Ini isu soal bagi-bagi jatah pimpinan komisi dan alat kelengkapan DPR lainnya, isu khas yang selalu terulang di awal masa jabatan DPR,” tambahnya. Apalagi ditambah rencana penambahan kementerian di kabinet Prabowo mendatang. Hal ini tak hanya menambah besar potensi bagi-bagi kekuasaan, tetapi juga bisa menjadi alat barter. Misalnya, partai tertentu dalam koalisi Prabowo tidak mendapat kursi menteri di kabinet sesuai dengan harapan parpol, bisa saja partai tersebut diberikan lebih banyak kursi pimpinan di alat kelengkapan DPR. Tak sebatas itu, kursi pimpinan bisa juga sebagai alat barter dengan parpol di luar koalisi Prabowo. Parpol di luar koalisi tetap bisa memperoleh kursi pimpinan sesuai yang diharapkannya, dengan barter parpol itu tak terlalu kritis terhadap pemerintah. ”Hal ini sebenarnya terlihat juga di awal DPR periode 2019-2024. Ada negosiasi dan kompromi sehingga semua parpol memperoleh kursi pimpinan di alat kelengkapan DPR. Makanya, DPR selama lima tahun terakhir ini, kan, juga tidak terlalu kritis terhadap pemerintah,” ujarnya. Hingga kini, dari delapan parpol yang bakal memiliki wakil di DPR 2024-2029, tinggal PDI-P yang belum memutuskan akan bergabung dalam koalisi pendukung pemerintahan Prabowo atau tidak. Mengacu pada UU MD3, pimpinan komisi terdiri atas satu orang ketua dan paling banyak empat wakil ketua yang dipilih oleh anggota komisi dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat. Setiap fraksi dapat mengajukan satu orang bakal calon pimpinan komisi. Jika pemilihan pimpinan tak berhasil diputuskan dengan cara musyawarah mufakat, pemilihan diambil dengan berdasarkan voting atau suara terbanyak. |
Kembali ke sebelumnya |