Isi Artikel |
Analisis Ekonomi
Pengampunan Pajak dan Faktor Singapura
Program pengampunan pajak pada hari-hari ini memasuki periode krusial. Fasilitas tarif tebusan termurah, yakni 2 persen untuk aset di dalam negeri dan 4 persen untuk aset di luar negeri, akan berakhir pada 30 September 2016. Hingga Sabtu (17/9), jumlah aset yang disertakan dalam program pengampunan pajak mencapai Rp 714,5 triliun, yang terdiri dari deklarasi dalam negeri Rp 494 triliun, deklarasi luar negeri Rp 185 triliun, dan repatriasi Rp 35,5 triliun. Sementara uang tebusan (penerimaan pajak) yang dihimpun mencapai Rp 29,1 triliun.
Dari sisi jumlah, angka-angka tersebut memang masih jauh dari target. Pemerintah menargetkan tebusan Rp 165 triliun, yang berarti ekuivalen dengan deklarasi dan repatriasi Rp 3.000 triliun-Rp 4.000 triliun hingga akhir Maret 2017. Namun, dengan tarif tebusan yang kian tinggi, diharapkan deklarasi dan repatriasi mestinya dilakukan pada September 2016. Meski demikian, dari sisi tren, mulai ada tanda-tanda jumlahnya meningkat cukup signifikan dibandingkan saat pertama digulirkan pada Juli lalu.
Ada dua kejadian menarik belakangan ini. Pertama, inisiatif beberapa pengusaha high profile, seperti James Riady, Sofjan Wanandi, Garibaldi dan Erick Thohir, serta Tommy Soeharto, yang mengumumkan secara terbuka keikutsertaannya. Ini merupakan awal yang baik, yang bisa menjadi inspirasi bagi pengusaha-pengusaha lain.
Kedua, kabar mengenai Singapura berupaya keras agar pengampunan pajak tidak menyebabkan kaburnya dana orang Indonesia. Situs majalah Fortune,Senin (25/7), memprediksi dana warga negara Indonesia (WNI) di perbankan Singapura mencapai 200 miliar dollar AS. Ini fantastis karena setara dengan 40 persen dana pihak ketiga perbankan Singapura.
Namun, kita perlu berhati-hati untuk tidak lekas memercayainya. Cadangan devisa Singapura saja ”hanya” 252 miliar dollar AS pada Agustus 2016. Selain Indonesia, pemilik dana besar lain di Singapura adalah warga negara Tiongkok dan Arab Saudi. Karena itu, logikanya, cadangan devisa Singapura tersebut dimiliki setidaknya warga dari empat negara: Singapura, Indonesia, Tiongkok, dan Arab Saudi. Mungkin pula warga Malaysia juga memilikinya secara signifikan. Jadi, kalau angka cadangan devisa tersebut dibagi 4-5 pihak tersebut, angka yang lebih masuk akal adalah 50 miliar dollar AS-60 miliar dollar AS.
Dampak
Terlepas dari akurasi dan validitas data itu, jika program pengampunan pajak sukses, sektor finansial dan perekonomian Singapura memang akan terpengaruh. Repatriasi dana dari Singapura ke Jakarta akan menyebabkan penurunan dana pihak ketiga di bank, yang otomatis juga akan menurunkan cadangan devisanya. Implikasinya, dalam jangka pendek kurs dollar Singapura akan melemah, sebaliknya rupiah akan menguat, misalnya menuju Rp 13.000 per dollar AS atau lebih kuat lagi hingga, katakanlah, Rp 12.500 per dollar AS. Pada tahap berikutnya, daya hela industri perbankan terhadap ekspansi kredit dan mendorong pertumbuhan ekonomi bakal melemah. Saat ini, perekonomian Singapura tumbuh 2,1 persen.
Itulah sebabnya, mudah dimengerti apabila industri perbankannya melakukan upaya apa pun untuk menahan kaburnya dana WNI. Cara terbaru yang dilakukan adalah melaporkan WNI yang akan mengikuti pengampunan pajak kepada polisi, dengan dalih bahwa sejak 2013 mereka melakukan kebijakan anti pencucian uang sesudah terbongkarnya skandal korupsi raksasa pada BUMN Malaysia, 1MDB (Malaysia Development Berhad) (Fortune, 15/9).
Bagi WNI pemilik dana di Singapura justru inilah saatnya mengikuti pengampunan pajak, mumpung Pemerintah Indonesia ”berbaik hati” menawarkan paket pengampunan. Jika repatriasi sukses, banyak hal positif yang bisa kita capai. Pertama, cadangan devisa Indonesia yang saat ini 113 miliar dollar AS akan meningkat, taruhlah menjadi 150 miliar dollar AS. Ini akan menjamin stabilitas dan penguatan kurs rupiah. Pada saat yang sama, cadangan devisa Singapura akan merosot ke arah sekitar 200 miliar dollar AS.
Kedua, karena likuiditas di pasar uang mulai melimpah, tekanan suku bunga bank untuk menurun akan kian bertenaga. Inilah momentum terbaik penurunan suku bunga kredit menjadi satu angka, terlebih lagi kondisi inflasi rendah saat ini sangat kondusif (2,79 persen).
Ketiga, ekspansi kredit perbankan akan meningkat. Inilah titik lemah yang kini sedang kita hadapi. Pertumbuhan kredit yang mestinya diharapkan di atas 10 persen kini hanya 7,7 persen. Lemahnya kredit amat menyulitkan kita untuk mencapai pertumbuhan ekonomi minimal 5 persen pada tahun ini.
Akhirnya, meski target amnesti pajak mungkin tidak tercapai sepenuhnya (karena targetnya sejak awal memang terlalu tinggi), tanda-tanda bahwa program ini akan memberi dampak positif bagi perekonomian Indonesia rasanya sudah mulai terlihat. Karena itu, tetaplah bersemangat mengejarnya, dengan tiada kata jera….
A Tony Prasetiantono
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
|