Judul | Sudah Inklusifkah Kota Kita? |
Tanggal | 11 Januari 2025 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | Ekologi perkotaan |
AKD |
- Komisi V |
Isi Artikel | Pembangunan kota yang inklusif harus dimulai dengan kesadaran tentang inklusi sosial di semua elemen masyarakat sehingga jadi isu mainstream dalam pembangunan kota. Oleh Husnul Fitri Urbanisasi telah meningkatkan populasi penduduk perkotaan di dunia hingga mencapai lebih dari 50 persen. Artinya, separuh penduduk dunia telah tinggal di kawasan urban dan memperebutkan sumber daya kota yang semakin terbatas. Walaupun pemerintah dan para perencana kota telah berupaya memperbaiki pelayanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, praktik umum perkotaan sering kali masih memandang masyarakat sebagai satu kesatuan yang homogen sehingga cenderung menciptakan program dan kebijakan yang bersifat umum dan seragam untuk kepentingan efisiensi. Namun, dalam titik ini, sebenarnya kota telah gagal mengidentifikasi dinamika dan keberagaman dalam masyarakat kota. Akibatnya, kebijakan-kebijakan yang ada belum menyentuh ragam kebutuhan dan kepentingan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat yang menjadi termarjinalisasi dalam pembangunan kota. Kelompok perempuan, lanjut usia (lansia), anak, masyarakat miskin, masyarakat adat, dan penyandang disabilitas adalah kelompok-kelompok yang masih tereksklusi secara sosial dan berjuang mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dalam pembangunan kota. Kesadaran tentang pembangunan yang semakin inklusif telah mendorong popularitas terminologi ini dalam perencanaan dan kebijakan perkotaan. Terminologi ”kota inklusif” dan ”inklusi sosial” telah menjadi istilah populer yang menghiasi tujuan-tujuan perencanaan dan pembangunan kota. Walaupun bukan terminologi baru, seolah ada semacam kewajiban untuk menyebutkannya dalam berbagai aspek pembangunan masyarakat. Lalu bagaimana dengan implementasinya? Mewujudkan kota inklusif bukanlah perkara mudah. Tidak seperti konsepsi sustainabilitas yang telah menjadi perhatian besar masyarakat dunia dengan bantuan gerakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), implementasi konsep inklusi sosial masih berjalan tertatih-tatih karena berbagai hambatan sosial yang mengitarinya. Kedua konsep tersebut sebenarnya selalu diletakkan berdampingan untuk saling menopang idealisme pembangunan kota karena tanpa perwujudan inklusi sosial, maka tujuan-tujuan dalam SDGs pun akan suit untuk dicapa. Bagi penyandang disabilitas, perwujudan kota inklusif menjadi cita-cita yang begitu indah. Saat ini, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diperkirakan terdapat 16 persen penyandang disabilitas dari total populasi di dunia. Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (2020) yang bersumber dari Susenas 2020 menyebutkan terdapat sekitar 22,5 juta jiwa penduduk dengan kategori disabilitas dewasa (usia 18-59 tahun). Namun, data Susenas ini sebenarnya tidak secara khusus melakukan survei tentang disabilitas sehingga jumlah riill disabilitas mungkin dapat lebih tinggi dari data resmi. Di sisi lain, data BPS juga menunjukkan informasi yang miris tentang penyandang disabilitas. Misalnya, dari sektor pendidikan, data BPS (2020) menunjukkan 20,51 persen penyandang disabilitas tidak pernah bersekolah (jauh di atas masyarakat umum yang berada di angka 3 persen). Sementara itu, hanya 10,47 persen penyandang disabilitas yang menamatkan sekolah menengah atas. Angka ini menjadi semakin kecil di tingkat perguruan tinggi, yaitu 3,38 persen. Di aspek lain, seperti bidang ekonomi, terdapat tren penurunan penyandang disabilitas yang bekerja, yaitu dari 22,19 persen pada 2017 menjadi 18,37 persen pada 2020 (Gunawan & Rezki, 2022). Dalam statistik Indikator Pekerjaan Layak di Indonesia 2022, mayoritas pekerja disabilitas juga bekerja pada sektor informal atau berwirausaha (0,81 persen dari total pekerja), sedangkan pekerja disabilitas dengan status buruh/karyawan/pegawai hanya 0,23 persen dari total pekerja. Ketertinggalan penyandang disabilitas dalam berbagai sektor menjadi semakin terpuruk dalam kontestasi masyarakat perkotaan. Isu aksesibiltas menjadi salah satu penghambat penyandang disabilitas untuk memperoleh kesempatan yang sama dan setara dalam ruang kota. Bagi penyandang disabilitas, kota yang inklusif bermakna adanya akses yang setara bagi mereka untuk memperoleh kesempatan yang sama dan setara dalam berbagai aspek perkotaan. Aksesibiltas ini pun dapat berwujud dalam berbagai bentuk. Desain ruang kotaSecara fisik dan ruang, aksesibilitas merujuk pada adanya implementasi desain ruang kota yang memperhatikan kebutuhan dan kekhususan penyandang disabilitas sehingga dapat meningkatkan mobilitasnya serta adanya distribusi pelayanan publik yang merata dalam ruang kota. Kesulitan akses jalan menuju ke prasarana transportasi umum (misalnya stasiun/halte) karena infrastruktur jalan bagi penyandang disabilitas yang tidak memadai; masih minimnya transportasi umum yang ramah disabilitas, minimnya akses terhadap informasi perjalanan yang ramah disabilitas; dan minimnya fasilitas/layanan disabilitas di halte/stasiun/tempat permberhentian transportasi umum adalah sebagian kecil permasalahan akses mobilitas yang dihadapi penyandang disabilitas. Dalam aspek aksesibilitas politik, penyandang disabilitas memiliki hak untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan untuk merencanakan dan mengembangkan ruang kota. Akses ini belum banyak diakomodasi dalam pembangunan kota sehingga rancangan kebijakan dan program yang dihasilkan pun belum menyentuh kebutuhan dan preferensi penyandang disabilitas. Hal ini justru dapat meningkatkan inefisiensi dalam pembangunan serta biaya tambahan untuk melakukan perbaikan dan perubahan yang dibutuhkan agar dapat memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas. Sementara itu, penyandang disabilitas juga membutuhkan aksesibilitas sosial, yaitu pengakuan dari masyarakat terhadap keberadaan kelompok marjinal yang memiliki hak yang sama dalam ruang kota. Mengapa ini penting? Karena penyadang disabilitas sering kali mendapat persepsi negatif oleh masyarakat yang menganggap disabilitas sebagai beban bagi masyarakat ataupun tidak mendapat tempat yang sama dan setara karena perbedaan fisik maupun mentalnya. Akibatnya, penyandang disabilitas kerap mendapat perlakuan yang diskriminatif. Saya tidak sepenuhnya menyalahkan masyarakat umum karena bisa jadi persepsi ini timbul dari minimnya interaksi masyarakat dengan kelompok disabilitas sehingga masyarakat tidak memiliki pengetahuan untuk bersosialisasi dengan disabilitas atau bahkan mengembangkan persepsi yang kurang tepat terhadap kelompok ini. Di sisi lain, hal ini sebenarnya mengonfirmasi adanya kesenjangan pada kesadaran dan pengetahuan pada masyarakat umum tentang keberadaan disabilitas sebagai bagian dari anggota masyarakat. |
Kembali ke sebelumnya |