Komunikasi Krisis Jadi Benteng Terakhir Hadapi Serangan Siber
Jakarta - Beberapa waktu belakangan banyak perusahaan di Indonesia yang mengalami serangan siber, dan kebanyakan terkesan menutupi insiden tersebut. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat 403.990.813 insiden lalu lintas anomali pada tahun 2023, menunjukkan betapa rentannya organisasi di tanah air. Kerugian akibat kejahatan siber di seluruh dunia mencapai angka fantastis, yaitu USD 8 triliun pada tahun 2023, semakin menggarisbawahi urgensi penanganan serangan siber.
Makin parahnya, perusahaan yang menjadi korban serangan siber ini seringkali menutupi insiden tersebut. Padahal, mereka juga sebenarnya perlu membuka informasi ini ke publik untuk mengurangi dampak negatif dari serangan siber itu.
Dalam situasi darurat seperti ini, komunikasi krisis bukan hanya pilihan, melainkan keharusan. Komunikasi krisis yang efektif menjadi kunci untuk mengatasi dampak negatif dari serangan siber dan menjaga kepercayaan publik.
"Respon cepat, proaktif, transparan, dan langkah-langkah konkret sangat diperlukan untuk memulihkan citra dan bisnis yang terdampak," kata Ibnu Haykal, Direktur Magpie Public Relations, dalam keterangan yang diterima detikINET. Ini adalah bagian dari 8 tren komunikasi bisnis, yang menurut Magpie, akan mendominasi di tahun 2025.
"83% generasi milenial menginginkan brand yang lebih ethical. Mereka akan lebih loyal kepada perusahaan yang membantu mereka berkontribusi terhadap permasalahan sosial dan lingkungan," tambah Ibnu.
Tren komunikasi bisnis yang menurut Magpie juga akan menjadi populer pada tahun 2025 adalah penggunaan AI untuk mengoptimalkan komunikasi perusahaan. Menurut mereka, AI dapat membantu brand memahami preferensi dan perilaku milenial melalui analisis data dan social listening.
AI juga dapat digunakan untuk mempersonalisasi pesan, mengotomatiskan tugas, dan menciptakan pengalaman yang lebih relevan bagi millennials. 80% bisnis telah mengadopsi atau berencana mengadopsi AI dalam komunikasi pada tahun 2025. Selain itu, perusahaan juga bisa menggunakan CEO dan karyawannya sebagai brand ambassador untuk meningkatkan engagement dan reputasi.
"Di era digital, CEO activism dan employee advocacy menjadi strategi yang sangat efektif," ujarnya.
Kalangan milenial cenderung mempercayai informasi dari individu yang mereka kenal atau kagumi, termasuk CEO dan karyawan perusahaan. CEO yang aktif menyuarakan pendapat tentang isu-isu sosial dan lingkungan dapat meningkatkan kredibilitas dan kepercayaan terhadap brand. Employee advocacy dapat memperkuat pesan brand dan menjangkau jaringan yang lebih luas secara organik.
|