Judul | Keberlanjutan Bus Kota Butuh ”Political Will” Pemerintah Daerah |
Tanggal | 15 Januari 2025 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 9 |
Kata Kunci | Pengangkutan jalan raya |
AKD |
- Komisi V |
Isi Artikel | Pemerintah daerah berdalih keterbatasan fiskal menghambat keberlanjutan angkutan umum. Padahal, sejumlah daerah berhasil berdiri mandiri, lepas dari bantuan pusat. Oleh Yosepha Debrina Ratih Pusparisa JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Perhubungan akhirnya menggelontorkan subsidi untuk program pembeli layanan atau buy the service. Keterbatasan fiskal masih menjadi dalih pemerintah daerah untuk berharap pemberian subsidi. Kemauan politik pemda menentukan keberlanjutan transportasi umum di tiap kota. Padahal, manfaat bus kota ini telah dirasakan banyak orang. Pemerintah Kota Makassar, Sulawesi Selatan, misalnya, menghentikan dua dari tiga koridor Trans Mamminasata yang beroperasi. Sebab, kontrak atas subsidi dari Kemenhub telah berakhir. Alhasil, banyak warga menyayangkan berhentinya moda transportasi tersebut. ”Moda transportasi ini membuat kami dapat menikmati moda transportasi umum yang nyaman dan murah. Apalagi, tersedia rute dari Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, ke pusat kota yang dianggap berbiaya mahal,” ujar dosen sekaligus salah satu pengguna Trans Mamminasata, Eko Saputro (30), saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (15/1/2025). Dengan Bus Trans Mamminasata, ia hanya perlu merogoh kocek Rp 5.000 dari bandara ke pusat kota. Besarannya terpaut hingga 40 kali lipat jika ia menggunakan taksi daring yang mencapai Rp 200.000. Dalam laporan Kemenhub, program buy the service (BTS) terbesar di 11 kota pada 2024. Dari kota-kota tersebut, Makassar menjadi kota ketiga dengan tingkat keterisian (load factor) terbesar yang mencapai 58,9 persen. Sepanjang 2024, BTS itu mengakomodasi tiga koridor yang memfasilitasi rata-rata 3.204 penumpang per hari. Nota kesepahaman Kemenhub dengan pemda yang telah berakhir, semestinya menjadi acuan pemda mengambil alih dengan melanjutkan program dengan mandiri. Namun, banyak pemda yang tidak siap melanjutkan program dengan dalih keterbatasan fiskal. Pada 2024, pemerintah pusat menganggarkan Rp 437,9 miliar. Kemudian, angkanya menyusut 59,5 persen menjadi Rp 177,5 miliar. ”Kami tetap membimbing dan saling berkoodinasi agar BTS tetap berlanjut. Komitmen pemda juga dibutuhkan karena ada kewajiban untuk menyisihkan anggaran daerah untuk transportasi publik. Ada pemda bisa dan komitmen. Pemda lainnya harus bisa juga,” ujar Direktur Angkutan Jalan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Ernita Titis Dewi (Kompas.id, 14/1/2025). Pemerintah menggelontorkan subsidi untuk enam kota pada periode 2025-2028. Besaran dan periode tiap kota berbeda-beda, bergantung kesepakatan. Persebaran subsidi ini mencakup Surakarta (Jawa Tengah), Surabaya (Jawa Timur), Banyumas (Jawa Tengah), Makassar (Sulawesi Selatan), Palembang (Sumatera Selatan), dan Balikpapan (Kalimantan Timur). Ada pula dua tambahan kota penerima subsidi, yaitu Manado (Sulawesi Utara) dan Pontianak (Kalimantan Barat). Pemda yang berhasil mengambil alih layanan bus umum ini adalah Kota Bandung (Jawa Barat), Banjarmasin (Kalimantan Selatan), dan Medan (Sumatera Utara). Sejauh ini, beberapa pemda berhasil berdiri mandiri, tidak terus bergantung pada bantuan pemerintah pusat. Beberapa daerah yang dapat menjadi teladan ini adalah Kota Semarang (Jawa Tengah), Pekanbaru (Riau), dan Palu (Sulawesi Tengah). Mereka telah menganggarkan program penyelenggaraan angkutan perkotaan secara mandiri. ![]() TANGKAPAN LAYAR Rencana pelaksanaan BTS 2025 yang dianggarkan Kementerian Perhubungan, seperti dipaparkan Direktur Angkutan Jalan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Ernita Titis Dewi, di Jakarta, Selasa (14/1/2025). Butuh keberlanjutanPemangkasan anggaran yang menentukan keberlanjutan program BTS ini disorot sejumlah pakar transportasi. Mereka menyayangkan pengurangan subsidi yang besarannya lebih dari setengah dibandingkan tahun lalu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, kelompok masyarakat menengah bawah perkotaan menghabiskan 30-40 persen pendapatannya untuk biaya transportasi. Angkutan massal dibutuhkan karena 56 persen penduduk Indonesia tinggal di kawasan perkotaan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memprediksi, angkanya terus meningkat hingga 70 persen pada 2030. ”Tanpa angkutan umum yang baik, ada potensi pemiskinan masyarakat perkotaan akibat tingginya biaya transportasi,” ujar pakar transportasi, Danang Parikesit, secara tertulis. Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno berpendapat, angkutan umum tidak berbicara soal kemacetan, tetapi korelasinya besar terhadap kemiskinan. Daerah miskin biasanya memiliki akses terhadap transportasi buruk. Ia menyayangkan, pemangkasan anggaran dilakukan untuk mendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG). Imbasnya, beragam isu lain, termasuk transportasi, harus dikorbankan. ”Program itu yang membuat anggaran-anggaran penting jadi hilang. MBG itu bagus, tetapi perlu selektif. Semestinya menyasar ke sekolah-sekolah yang enggak mampu. Jangan keterlaluan negara ini. Tujuan lain yang sifatnya utama justru terabaikan,” tutur Djoko. Pada masa mendatang, ia berharap agar Undang-Undang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) pada 2009 dapat direvisi. Aspek keberlanjutan angkutan umum dapat diatur sebagai kewajiban dengan mengalokasikan 5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hal ini memaksa pemda untuk memprioritaskan transportasi umum, sekaligus mendorong kemauan politik (political will) pejabat terkait. Pemda yang menerima bantuan subsidi perlu mendapat rencana induk (masterplan), begitu pula dengan upaya dorongan dan tarikan (push and pull). Strategi dorongan digunakan untuk meningkatkan kesadaran konsumen terhadap transportasi umum, seperti manajemen ruang dan waktu akses kendaraan pribadi, serta pembatasan parkir. Strategi tarikan bertujuan menciptakan pasar suatu produk, dalam hal ini adalah transportasi umum. Contohnya berupa melengkapi sarana dan prasarana angkutan umum agar menarik pengguna. ”Bukan (pemda) tidak bisa, melainkan ada kemauan politik atau tidak. Kalau UU mewajibkan, tidak ada tawar-menawar lagi, tetapi pusat akan membantu,” tutur Djoko. Kemenhub perlu mewadahi pertemuan antara pemda dan para operator pengelola angkutan umum, setidaknya sekali dalam setahun. Hal ini dapat memudahkan mereka untuk berinteraksi dan pertukar pikiran. Sebab, kondisi daerah berbeda-beda. Pemda juga didorong untuk menyiapkan peraturan daerah untuk menjadi pegangan agar transportasi umum ini terus dilanjutkan kepala daerah, siapa pun penerusnya. |
Kembali ke sebelumnya |