Judul | Krisis Transportasi Publik, Apa Dampaknya bagi Mobilitas Masyarakat? |
Tanggal | 13 Januari 2025 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | Pengangkutan jalan raya |
AKD |
- Komisi V |
Isi Artikel | Pengurangan subsidi layanan BTS (buy the service) di daerah-daerah berdampak signifikan pada mobilitas masyarakat. Oleh Aguido Adri, Yosepha Debrina Ratih Pusparisa, Agnes Theodora, Dimas Waraditya Nugraha Berhentinya atau berkurangnya layanan buy the service (BTS) di sejumlah daerah telah menjadi perhatian serius masyarakat. Program BTS, yang awalnya dirancang sebagai solusi untuk meningkatkan aksesibilitas transportasi publik dengan tarif terjangkau, kini mengalami kemunduran akibat pengurangan subsidi dari pemerintah pusat. Kondisi ini tidak hanya menghambat mobilitas warga, tetapi juga memperparah masalah transportasi, seperti meningkatnya penggunaan kendaraan pribadi yang berdampak pada kemacetan dan polusi udara. Padahal, moda transportasi seperti BisKita Trans Pakuan, Trans Jogja, Batik Solo Trans (BST), dan Trans Metro Dewata (TMD) telah menjadi andalan berbagai kelompok masyarakat, mulai dari pelajar, pekerja, hingga pelaku UMKM, untuk menjalankan aktivitas sehari-hari. Dampak dari kebijakan ini sangat dirasakan oleh masyarakat kecil yang kini harus menghadapi biaya transportasi lebih tinggi, sering kali berkali lipat dari sebelumnya. Warga juga mengkritik minimnya upaya pemerintah daerah dalam mempertahankan operasional layanan ini, termasuk kurangnya inovasi seperti menggandeng pihak swasta untuk mendanai keberlanjutan transportasi publik. Dengan menurunnya kualitas dan frekuensi layanan BTS, masyarakat kini menghadapi tantangan besar dalam mengakses layanan transportasi yang seharusnya menjadi hak mereka. Berhentinya operasional BisKita Trans Pakuan di Kota Bogor, Jawa Barat, membuat Meiliza Laveda (27) kesulitan bermobilitas, terutama saat berangkat dan pulang kerja di kawasan Jatiluhur. Tak pelak, perempuan yang akrab disapa Mei itu kini terpaksa menggunakan ojek daring dan harus mengeluarkan biaya lebih besar. Dalam sekali perjalanan, ia harus merogoh kocek Rp 20.000, yang dirasanya cukup memberatkan. ”Saat 2 Januari masuk kantor dan tahu BisKita Trans Pakuan enggak ada, rasanya kesal banget. Kalau pakai ojek online mahal. Alternatif transportasi seperti angkot juga susah. Operasionalnya sering enggak jelas, kadang enggak sampai malam. Kalau ada pun, suka ngetem lama, jadi waktu habis di jalan,” keluh Mei, Minggu (12/1/2024). Sejak layanan BisKita berhenti, pemerintah berupaya menyediakan bus uncal dan transportasi alternatif lainnya untuk memfasilitasi warga. Namun, menurut Mei, solusi ini tidak efektif karena jumlah moda yang sangat terbatas. ”Penumpang harus menunggu lebih lama dan sering kali harus berebut dengan pelajar atau mahasiswa untuk naik bus. Mau tidak mau, ojek daring jadi pilihan utama,” tambahnya. Mei merasa waktu adalah hal yang sangat berharga baginya. Ia menilai layanan BisKita sebelumnya sudah sangat baik karena jadwalnya dapat diprediksi dan dipantau melalui aplikasi. ”Selama ini layanannya aman, nyaman, dan tepat waktu. Sayang sekali sekarang berhenti. Ini seperti langkah mundur untuk Kota Bogor,” ujar Mei. Ia berharap, jika BisKita Trans Pakuan diaktifkan kembali, pemerintah dapat lebih siap dan berkomitmen menjaga keberlangsungan layanan transportasi publik. Menurut dia, transportasi publik tidak boleh berhenti karena sangat penting untuk mendukung mobilitas warga. Mei juga menekankan bahwa ke depan, BisKita perlu menambah jumlah moda dan halte agar pelayanannya semakin optimal. Dyah Rooslina, seorang penulis dan pelaku UMKM, berbagi pengalamannya menggunakan bus Trans Metro Dewata (TMD). Menurut dia, layanan ini sangat membantu masyarakat karena aman, bersih, dan tarifnya sangat terjangkau, hanya Rp 4.400. Ia merasa bus ini telah menjadi solusi transportasi publik yang efektif bagi masyarakat Bali. ”Saya senang sekali dengan keramahan pramudi yang selalu memberi tahu kami halte mana yang harus kami tuju,” ungkapnya. Dyah menambahkan, rute yang ada sudah cukup strategis meskipun akan lebih baik jika cakupannya diperluas ke wilayah lain yang juga membutuhkan transportasi publik seperti ini. Ia menjelaskan bahwa keberadaan bus TMD sangat penting, terutama untuk pelajar, mahasiswa, pekerja, dan pelaku UMKM. Layanan ini tidak hanya membantu mobilitas harian, tetapi juga mengurangi kemacetan, polusi, dan tingkat kecelakaan di jalan. Bagi pelaku UMKM seperti dirinya, bus ini menjadi solusi karena tarifnya sangat terjangkau sehingga biaya transportasi tidak membebani. Namun, ia sangat menyayangkan keputusan penghentian operasional bus TMD. Menurut dia, masyarakat kini harus menghadapi beban biaya transportasi yang jauh lebih mahal karena bergantung pada transportasi online. Selain itu, pengguna kendaraan pribadi kembali memadati jalanan, memperburuk kemacetan. ”Bayangkan masyarakat kecil yang harus mengeluarkan biaya transportasi berkali lipat dari biasanya, padahal setiap hari mereka harus pergi bekerja atau berdagang,” katanya. Kondisi ini, lanjut Dyah, membuat banyak orang kesulitan untuk menjalani mobilitas sehari-hari, seperti pergi ke sekolah, kampus, kantor, atau tempat usaha. Sebagai bentuk masukan, Dyah meminta pemerintah segera mengaktifkan kembali layanan TMD. Ia menekankan bahwa sesuai dengan amanat UU No 22 Tahun 2009, pemerintah bertanggung jawab menyelenggarakan transportasi umum. ”Ini bukan hanya soal layanan, tapi soal tanggung jawab terhadap masyarakat yang sudah sangat bergantung pada transportasi publik ini,” pungkasnya. Surya Rianto, wirausaha di Surakarta, mengungkapkan kekecewaannya terhadap pengurangan moda dan rute Batik Solo Trans (BST). Ia menjelaskan bahwa kondisi ini menyebabkan waktu tunggu antarbus menjadi lebih lama, padahal BST sering dimanfaatkan oleh masyarakat lokal dan wisatawan karena cakupan areanya luas dan tarifnya sangat terjangkau. ”Frekuensi bus yang berkurang membuat banyak warga beralih ke kendaraan pribadi,” katanya. Menurut dia, meskipun okupansi penumpang BST masih rendah, peningkatan layanan yang konsisten dapat mendorong masyarakat Solo untuk lebih bergantung pada transportasi ini. Namun, ia menyesalkan bahwa penurunan kualitas justru membuat minat masyarakat terhadap BST semakin menurun. Shella Herviana (28), pekerja lepas di Yogyakarta, mengungkapkan, Trans Jogja merupakan moda transportasi yang penting untuk menjangkau berbagai ruang publik, seperti pusat perbelanjaan. Ia menyebut bahwa tarif bus ini lebih murah dibandingkan dengan menggunakan ojek daring. ”Kalau Trans Jogja berhenti beroperasi, tentu akan sangat disayangkan, terutama untuk anak sekolah atau lansia yang tidak punya akses ke ojek daring,” ujar Shella. Ia menyoroti pentingnya trayek tertentu, seperti rute Malioboro-Prambanan, yang sering digunakan oleh lansia yang berjualan di Pasar Beringharjo. Menurut dia, bus ini adalah satu-satunya akomodasi yang terjangkau bagi mereka. Shella juga mengapresiasi harga tiket Trans Jogja yang sudah terjangkau. Namun, ia menilai ada beberapa aspek yang perlu diperbaiki, seperti fasilitas halte, kepastian jadwal bus, dan informasi rute yang lebih jelas. ”Halte dan jadwal bus yang lebih baik akan membuat layanan ini lebih diminati,” katanya. Sebagai solusi untuk keberlanjutan Trans Jogja, Shella menyarankan agar pemerintah daerah tidak terlalu bergantung pada dana dari pemerintah pusat. Ia menyebut bahwa kerja sama dengan pihak swasta bisa menjadi alternatif untuk memastikan keberlanjutan transportasi publik ini.
|
Kembali ke sebelumnya |