Isi Artikel |
JAKARTA, KOMPAS — Uang tebusan program pengampunan pajak menjadi satu-satunya bantalan atas anjloknya target pada hampir semua jenis pendapatan tahun ini. Akan tetapi, asumsi nilai tebusan yang besar membuat pengamat mempertanyakan pendapatan dari uang tebusan itu.
Kondisi ini tidak saja meningkatkan risiko Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016, tetapi juga membuat posisi tawar pemerintah terhadap parlemen menjadi lemah.
Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati dan Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo secara terpisah di Jakarta, Minggu (5/6).
Dalam wawancara dengan Kompas, Jumat pekan lalu, Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro menyatakan kepercayaan dirinya bahwa uang tebusan program pengampunan pajak akan mencapai Rp 180 triliun. Guna meminimalisasi risiko, ia memasang asumsi moderat dalam RAPBN-Perubahan 2016, yakni Rp 165 triliun.
Mengacu pada pokok-pokok RAPBN-P 2016, total pendapatan negara dikepras Rp 88 triliun, dari Rp 1.822,5 triliun pada APBN 2016 menjadi Rp 1.734,5 triliun pada RAPBN-P 2016. Belanja negara dipangkas Rp 47,9 triliun, dari 2.095,7 triliun menjadi Rp 2.047,8 triliun. Alhasil defisit melebar Rp 40,2 triliun, dari Rp 273,2 triliun atau 2,15 persen dari produk domestik bruto (PDB) menjadi Rp 313,3 triliun atau 2,48 persen dari PDB.
Pada sisi pendapatan, Kementerian Keuangan membabat besar-besaran target atas semua jenis pendapatan yang secara tradisional menjadi penyumbang terbesar. Pada penerimaan negara bukan pajak (PNBP), targetnya dipotong Rp 68,4 triliun, dari Rp 273,8 triliun menjadi Rp 205,4 triliun. PNBP sumber daya alam migas diturunkan Rp 50,2 triliun sehingga menjadi Rp 28,4 triliun. PNBP nonmigas diturunkan Rp 24,4 triliun sehingga menjadi Rp 21,8 triliun.
Hal yang sama terjadi pada penerimaan perpajakan. Pajak Pertambahan Nilai (PPN), misalnya, targetnya dibabat Rp 97,5 triliun, dari 571,7 triliun menjadi Rp 474,2 triliun. Target Pajak Penghasilan (PPh) migas dipangkas Rp 17,1 triliun, dari Rp 41,4 triliun menjadi Rp 24,3 triliun.
Akan tetapi, pada saat yang sama, Kementerian Keuangan meningkatkan target PPh nonmigas senilai Rp 103,7 triliun, dari Rp 715,8 triliun menjadi Rp 819,5 triliun. Menurut Bambang, kenaikan PPh migas didorong oleh uang tebusan program pengampunan pajak yang asumsinya menyumbang Rp 165 triliun.
Posisi tawar lemah
Enny berpendapat, RAPBN-P 2016 adalah desain anggaran yang menempatkan uang tebusan pengampunan pajak sebagai satu-satunya bantalan saat sumber-sumber penerimaan lain menurun. Nilai asumsinya pun besar, yakni Rp 165 triliun.
Kondisi tersebut, menurut Enny, menyebabkan posisi tawar pemerintah lemah karena dalam posisi sangat membutuhkan program pengampunan pajak untuk kepentingan jangka pendek. Secara otomatis, posisi tawar parlemen menjadi kuat. Situasi ini tidak menguntungkan bagi kredibilitas anggaran.
Sementara Prastowo menyatakan, pengampunan pajak masih diliputi ketidapastian, baik skema maupun waktu pelaksanaannya. Selain itu, juga belum jelas strategi pendekatannya, terutama pra dan pasca pelaksanaan. Asumsi uang tebusannya belum cukup meyakinkan.
"Sangat berisiko kalau hanya menyandarkan bantalan penerimaan negara pada satu jenis pajak saja. Apalagi, asumsi yang dibangun sangat optimistis, tetapi belum cukup meyakinkan," kata Prastowo. (LAS)
|