| Judul | Menimbang Kebijakan Angkutan Lebaran |
| Tanggal | 06 Maret 2025 |
| Surat Kabar | Jakarta Post |
| Halaman | - |
| Kata Kunci | Banjir |
| AKD |
- Komisi V |
| Isi Artikel | Penyelenggaraan angkutan Lebaran perlu dimaknai sebagai sesuatu yang berkapasitas lebih luas dalam perannya terhadap sektor transportasi; tidak hanya rutinitas. Oleh Robby Kurniawan Mudik lebaran menjadi tradisi di Indonesia. Jumlah pemudik, pilihan moda transportasi, hingga dinamika yang terjadi saat dalam perjalanan tidak luput dari pemberitaan. Semuanya mewarnai cerita mudik lebaran yang rutin setiap tahunnya. Penyelenggaraan Angkutan Lebaran 2024 lalu menunjukkan pelaksanaan program yang terus membaik. Pada tahun lalu, aspek kebijakan dan operasional angkutan lebaran dinilai cukup berhasil menangani 242 juta pergerakan secara nasional merujuk Mobile Positioning Data (MPD) yang dilakukan Badan Kebijakan Transportasi bekerja sama dengan Telkomsel. Jabodetabek, Jawa Timur, dan Jawa Tengah menjadi tiga wilayah dengan jumlah pergerakan terbesar. Jika dilihat dari moda transportasi yang digunakan, transportasi pribadi masih mendomisasi sebesar 91,7 persen, sedangkan transportasi umum hanya 8,3 persen Kereta api masih menempati urutan teratas sebagai moda transportasi yang dipilih pemudik. Jumlah kecelakaan saat Operasi Ketupat 2024 menunjukkan penurunan sebesar 29,6 persen dibanding pada masa Operasi Ketupat 2023. Bahkan, 89 persen masyarakat menyatakan puas terhadap penyelenggaraan Angkutan Lebaran Tahun 2024 dan 91 persen masyarakat puas terhadap program mudik gratis yang diselenggarakan Kementerian Perhubungan. Sebagai sesuatu yang rutin dilakukan, apa yang semestinya nampak dalam kebijakan penyelenggaran angkutan lebaran ini? Kemudian, bagaimana seharusnya penyelenggaran angkutan lebaran dipandang agar berperan bagi perkembangan sektor transportasi dalam lingkup yang lebih luas? Kebijakan Humanis dan Berbasis Bukti Ada dua paradigma kebijakan yang mesti nampak dalam penyelenggaraan angkutan lebaran. Pertama, kebijakan yang berpusat pada manusia (people-centered policy). Paradigma ini sebagai perwujudan sisi humanisme kebijakan yang memperhatikan nilai dan kedudukan manusia (dalam hal ini pemudik) agar aspek keselamatan, keamanan, dan kenyamanan dalam bertransportasi terjamin ke dan dari tempat tujuan. Kedua, kebijakan yang berbasis bukti (evidence-based policy). Paradigma ini penting agar penyelenggaraan angkutan lebaran terus menunjukkan perbaikan terutama dari sisi kualitas layanan berdasarkan evaluasi pengalaman (evidence) sebelumnya. Tahun 2024 lalu, kedua paradigma tersebut diramu dalam tagline "Mudik Ceria Penuh Makna". Kebijakan umum yang diterapkan tahun lalu dinilai cukup berpengaruh pada pola perjalanan selama masa angkutan lebaran. Kebijakan itu mewujud antara lain pada pembatasan operasi angkutan barang, diskon tarif jalan tol, penurunan harga tiket pesawat, penyelenggaraan mudik gratis, penetapan masa libur sekolah, himbauan Work From Home (WFH) pada periode arus balik, hingga pengaturan lalu lintas berupa sistem one-way, contra flow, dan ganjil genap. Langkah-langkah tersebut menunjukkan penerapan kedua paradigma kebijakan itu baik secara operasional maupun kebijakan dalam pengendalian, pengaturan transportasi, dan penanganan secara komprehensif. Kesemuanya melibatkan lintas instansi kementerian dan lembaga pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, serta pihak swasta. Pada tahun 2025, sebagai perwujudan kedua paradigma tersebut, hal yang sudah baik dilakukan sebelumnya tentu perlu diadopsi dan hal yang menjadi kekurangan perlu diperbaiki. Oleh karena itu, pemerintah telah menyiapkan rencana operasi di semua matra perhubungan, baik darat, laut, udara, dan perkeretaapian. Langkah ini bertujuan untuk memberikan rasa aman, nyaman, dan lancar kepada masyarakat yang akan melakukan perjalanan saat periode Lebaran. Di sektor perhubungan darat, ada beberapa hal yang menjadi fokus perhatian, antara lain kesiapan prasarana jalan dan angkutan umum, manajemen rekayasa lalu lintas, diskon tarif tol, hingga berbagai hal lain terkait aspek keamanan. Di sektor perhubungan laut, khususnya untuk mengantisipasi kepadatan kendaraan di sekitar pelabuhan, pemerintah akan menerapkan delaying system menuju Pelabuhan Merak, Ciwandan, dan BBJ Bojonegara. Di sektor perhubungan udara, penurunan harga tiket pesawat tetap akan dilakukan. Selain itu, telah disusun rencana integrasi aksesibilitas bandar udara dan pengaturan kapasitas slot bandara. Adapun di sektor perkeretaapian, pemerintah akan melanjutkan direct train rute Jakarta-Semarang dan Jakarta-Yogyakarta, sehingga bisa menambah opsi bagi masyarakat yang akan menggunakan moda kereta api. Untuk mengurai waktu pergerakan masyarakat, program mudik gratis tetap dipertahankan ditambah pemberlakuan flexible working arrangement (FWA). Bahkan, adopsi dan perbaikan juga berasal dari hasil evaluasi dan rekomendasi perbaikan dari angkutan Natal 2024 dan Tahun Baru 2025 (Nataru) yang relevan untuk diterapkan pada Angkutan Lebaran 2025. Beberapa di antaranya terkait implementasi buffer zone yang terbukti efektif mengurai kemacetan pada akses menuju pelabuhan penyeberangan, khususnya Merak dan Bakauheni. Diimplementasikan pula optimalisasi underutilized terminal untuk maskapai low cost carrier (LCC) dalam mendukung penurunan harga tiket pesawat yang berkelanjutan. Selain itu, langkah lainnya berupa pengoperasian Stasiun Karawang untuk Kereta Cepat Jakarta-Bandung dengan tetap mempertimbangkan aspek keselamatan, digitalisasi pembelian tiket secara online untuk semua moda transportasi, serta optimalisasi Terminal 1 dan Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta guna mencegah penumpukan antrean penumpang pesawat di Terminal 3 Soekarno-Hatta. Pembelajaran bagi Transportasi Berkelanjutan Penyelenggaraan angkutan lebaran perlu dimaknai sebagai sesuatu yang memiliki kapasitas lebih luas dalam perannya terhadap sektor transportasi; tidak hanya sebagai suatu rutinitas. Oleh karena itu, penyelenggaraan angkutan lebaran dapat menjadi instrumen kebijakan dalam mengevaluasi agar sektor transportasi terus melakukan transformasi yang berkontribusi terhadap pembangunan nasional, khususnya dalam memastikan transportasi berkelanjutan. Dari penyelenggaraan angkutan lebaran, penting untuk melihat sejauh mana perkembangan jumlah aksesibilitas, kapasitas jaringan, hingga kualitas layanan yang memperhatikan pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan. Beberapa indikator yang penting mendapat perhatian adalah terjaminnya aspek keamanan, kenyamanan, dan keselamatan bertransportasi, terselenggaranya kualitas layanan dengan baik, terfasilitasinya integrasi antar moda, dan terwujudnya collaborative governance yang efektif. Dengan begitu, penyelenggaraan angkutan lebaran dapat dijadikan sebagai evidence bagi perbaikan-perbaikan sektor transportasi guna mencapai visi Indonesia Emas 2045. Robby Kurniawan, Kepala Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan |
| Kembali ke sebelumnya |