| Judul | Anggaran Pemungutan Suara Ulang di 24 Daerah Dioptimalkan Pakai APBD |
| Tanggal | 10 Maret 2025 |
| Surat Kabar | Kompas |
| Halaman | - |
| Kata Kunci | |
| AKD |
- Komisi II |
| Isi Artikel | JAKARTA, KOMPAS — Anggaran pemungutan suara ulang di 24 daerah akan dioptimalkan dengan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau APBD. Kementerian Dalam Negeri melihat ada banyak APBD yang digunakan secara tidak efisien sehingga bisa direalokasikan ke anggaran pemungutan suara ulang. Di sisi lain, Kementerian Dalam Negeri juga meminta penyelenggara pemilu agar mengajukan anggaran seminimal mungkin sehingga tidak membebani APBD. Berdasarkan hasil rekapitulasi kebutuhan anggaran untuk pemungutan suara ulang (PSU) di 24 daerah, didapatkan kebutuhan anggaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebesar Rp 429,7 miliar, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sekitar Rp 158,9 miliar, TNI sebesar Rp 38,5 miliar, dan Polri sebesar Rp 91,9 miliar. Dengan demikian, total kebutuhan anggaran adalah Rp 719,1 miliar. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam rapat Komisi II DPR bersama para penyelenggara pemilu dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (10/3/2025), mengatakan, jumlah kebutuhan anggaran tersebut turun dibandingkan total perkiraan kebutuhan anggaran yang pernah dipaparkan dalam rapat sebelumnya yang mencapai kurang lebih Rp 1 triliun. Penurunan kebutuhan anggaran ini disebut karena ada upaya dari penyelenggara pemilu untuk melakukan efisiensi anggaran PSU di 24 daerah.
KOMPAS Tabel anggaran pemerintah ditampilkan di layar saat Komisi II DPR menggelar rapat dengar pendapat dengan Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu terkait penyelenggaraan pemungutan suara ulang Pilkada 2024 hasil putusan Mahkamah Konstitusi di ruang rapat Komisi II DPR, Jakarta, Senin (10/3/2024). Tito melanjutkan, dengan melihat kebutuhan anggaran yang ada, hampir seluruh daerah dapat dipenuhi dari APBD pemerintah daerah masing-masing. Hanya dua daerah yang masih menghitung dan tarik-menarik antara KPU daerah dan pemerintah kabupatennya, yakni Pasaman dan Boven Digoel. ”Kalau kami lihat, cukup sebenarnya anggaran mereka dari APBD, dengan syarat harus diefisienkan,” ujar Tito. Untuk itu, Kemendagri telah mengirim tim untuk menyisir APBD daerah setempat. Ia melihat banyak APBD yang kurang efisien, seperti biaya perjalanan dinas, biaya makan, dan lain-lain. Harapannya, jika anggaran bisa diefisienkan, pelaksanaan PSU di 24 daerah nantinya cukup hanya menggunakan APBD. ”Kalau skenarionya cukup dengan APBD, maka APBD. Kalau seandainya tidak (bisa), sebagian mungkin dihibahkan dari (APBD) provinsi. Worst scenario (skenario terburuk) dibantu APBN,” ucapnya. Di sisi lain, Tito berharap, KPU dan Bawaslu juga tidak mengajukan anggaran PSU dengan skenario optimal, melainkan skenario minimal PSU bisa berjalan. Ditambah lagi, ia juga memohon agar seluruh penyelenggara pemilu dapat mematuhi tata aturan yang berlaku sehingga jangan sampai nanti ada PSU lagi atau perkara yang disengketa di Mahkamah Konstitusi (MK). ”Nah, harapan kami mudah-mudahan dengan upaya kita semua, termasuk masalah pembiayaan, jangan sampai memberatkan lagi pembiayaan dari APBD, uang rakyat,” katanya.
KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI Ketua KPU Mochamad Afifuddin Ketua KPU Mochamad Afifuddin mengatakan, KPU akan sangat memperhatikan jajarannya sehingga penyelenggaraan PSU dapat berjalan optimal. Ia pun telah mengumpulkan seluruh jajaran KPU yang di daerahnya akan menggelar PSU sehingga bisa menjalankan putusan MK dengan baik dan benar. ”Kami juga ada mekanisme pengawasan internal yang sudah kami lakukan,” tegasnya. Adapun Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menyatakan telah melakukan berbagai langkah untuk bisa mengoptimalkan proses pengawasan dalam setiap tahapan PSU. Mengenai ketersediaan sumber daya manusia, Bawaslu juga telah menerbitkan surat edaran untuk mengaktifkan kembali pengawas ad hoc tingkat kecamatan, pengawas tingkat desa, dan juga tingkat TPS. Pengaktifan disesuaikan dengan waktu masing-masing sesuai dengan tahapan yang akan dikeluarkan oleh KPU. Pertaruhan kepercayaan publikHampir seluruh anggota dan pimpinan Komisi II DPR mengingatkan para penyelenggara pemilu agar mampu bekerja secara profesional dan cermat dalam melaksanakan PSU. Jangan sampai keterbatasan anggaran menjadi alasan pembenar untuk mengurangi pengawasan maupun pelaksanaan yang tidak optimal. Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Gerindra Bahtra Banong, misalnya, menegaskan agar penyelenggara pemilu harus cermat dalam setiap tahapan. Jangan sampai kemudian menjadi obyek gugatan lagi di MK.
Ia pun berpesan agar penyelenggara pemilu yang bermasalah tidak dilibatkan kembali dalam pelaksanaan PSU. Jangan sampai hal tersebut justru menjadi obyek gugatan di MK dan akhirnya keputusannya adalah PSU kembali. ”Dan berakhir pada penganggaran yang kita tahu sendiri jumlahnya tidak sedikit,” ujarnya.
Ilustrasi Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Deddy Sitorus, juga menegaskan, para penyelenggara pemilu dituntut untuk menghadirkan pemilu yang demokratis, jujur, adil, dan bersih. Hal ini menjadi penting karena pelaksanaan PSU telah menggunakan uang rakyat. ”Jangan kita membebani rakyat kita karena keteledoran pelaksana, pengawas, dan peserta pemilu. Tolonglah jangan main-main dengan persoalan ini,” ujarnya. Senada dengan Deddy, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Wahyudin Noor Aly mengingatkan bahwa akibat keteledoran penyelenggara pemilu, pemerintah daerah harus menanggung risiko dengan anggarannya tersedot untuk pelaksanaan PSU. Untuk itu, jangan sampai penyelenggara pemilu justru menyia-nyiakan uang yang sudah digunakan. ”Anggaran (PSU) ini, daerah sudah menangis. Anggarannya sudah beberapa kali di-refocusing, untuk perjalanan dinas saja sudah tidak bisa, apalagi untuk penyelenggaraan PSU ini. Jadi, kita pertaruhkan semuanya,” tuturnya. Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, Taufan Pawe, pun menyampaikan, para penyelenggara pemilu harus senantiasa memegang prinsip profesionalisme, integritas, kapasitas, dan kompetensi. Jangan sampai keteledoran penyelenggara di tingkat pengecekan syarat administrasi terulang kembali.
Begitu pula anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Esthon L Foenay, berpandangan, PSU telah berdampak pada ketidakpercayaan rakyat terhadap seluruh komponen pelaksanaan pemilu. Untuk itu, para penyelenggara diharapkan tidak mengulangi kesalahannya lagi. ”Ini harus dilihat dari satu mata rantai, bukan saja masalah membutuhkan biaya yang besar, tetapi kepercayaan rakyat kepada seluruh pelaksanaan pemilu menjadi kabur,” katanya. |
| Kembali ke sebelumnya |