Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Mudik Selamat, Mudik Penyelamat
Tanggal 22 Maret 2025
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci Pengangkutan
AKD - Komisi V
Isi Artikel

Mudik itu soal rindu kampung, silaturahmi, dan bertahan dari kecamuk, termasuk badai PHK. Relasi kota perantauan dan daerah asal begitu erat. Pun di negara lain.

Oleh Neli Triana

Gelombang arus mudik menandai hari raya kian mendekat. Mudik identik dengan perjalanan ke daerah asal dan beberapa saat kemudian balik ke perantauan. Meski didera macet, keramaian, dan ongkos membengkak, tradisi ini lekat dengan rasa gembira dan semangat.

Warga kota menjumpai lagi akarnya di kampung halaman. Membawa kehausan akan kehangatan keluarga besar, menyantap hidangan masa kecil, berjumpa teman lama yang membuka kisah bahagia masa sekolah.

Laksana baterai yang perlu diisi ulang, keeratan relasi sosial yang dirasakan di daerah asal mengisi penuh-penuh energi positif kaum urban.

Saat bertandang di kota kelahiran, tempat kita tumbuh berkembang, tak jarang orang berbangga hati, bahkan seperti sengaja menunjukkan kesuksesannya kepada banyak orang. Namun, di balik kesan jemawa itu, memori lama akan kampung halaman diiringi terbitnya rasa syukur mengingat kehidupan di masa sekarang yang membaik.

Pulang ke rumah di daerah asal sembari berhari raya bagi sebagian orang juga kesempatan menambah modal yang akan mengurai kesesakan hidup ketika balik ke kota.

Kenyataan ini ditampilkan dalam beberapa meme yang biasa banyak beredar selama masa mudik dan arus balik. Ada gambar pemudik membawa beras sekarung, kardus oleh-oleh, serta aneka bahan makanan untuk dibawa ke kota tempatnya bekerja. Ada pula yang tersenyum seusai diberi ”sangu” alias uang saku oleh orangtua atau keluarga untuk bekal merantau.

Demi memanen berbagai manfaat itu, kaum urban tak segan menggelontorkan dana besar untuk mudik. Merogoh kocek kanan kiri, kadang sampai berutang. Tekor, kondisi yang dirasakan banyak pemudik setiap tahun ini, tak pernah mengendurkan rencana untuk mengulanginya lagi tahun depan.

Makna mudik bagi setiap individu perantau memang kompleks. Mudik tak lagi identik dilakukan penganut agama tertentu, apalagi ketika libur panjang atau cuti bersama berlaku untuk semua siswa, semua pekerja di insitusi pemerintah ataupun swasta.

Ketika semuanya normal alias baik-baik saja, pulang kampung menjadi semacam perjalanan wisata rutin tahunan yang menyenangkan.

Namun, saat negara sedang dikungkung masalah seperti sekarang, pekerja urban dirongrong pemutusan hubungan kerja hingga situasi politik yang menyesakkan, berada di kota asal bisa menjadi cara untuk menenangkan diri. Solusi yang dicari dapat muncul ketika deep talk dengan keluarga juga sahabat lama.

Dalam masa 3-4 tahun lalu, misalnya, orang menemukan bahwa pulang ke kampung atau menepi di kota kecil dan sepi menjadi salah satu opsi terbaik kala pandemi Covid-19 melanda. Melihat lagi ke belakang, setiap ada krisis global, mudik atau kembali ke udik atau desa, selalu mengemuka di antara sederet respons publik. 

Relasi urban-suburban-desa

Mudik dan kompleksitasnya adalah bagian tak terpisahkan dari relasi urban-suburban-rural. Hubungan antara orang kota dan kampung halaman yang merupakan kota lebih kecil atau bahkan desa telah menjadi bahan riset banyak peneliti.

Salah satu jurnal berjudul ”Hometown attachment or urban dependence? The reciprocal effects between multi-dimensional relative poverty of migrant workers and urban-rural land dependence” (2023) mengulas soal ketergantungan kaum urban dengan daerah asalnya.

Penelitian oleh Fangzhou Xia, Zhengfeng Zhang, dan Xingbang Wang dari Renmin University of China di Beijing yang diakses dari Science Direct menunjukkan bahwa ketergantungan itu lebih banyak menghinggapi ”urbanites” dari negara berkembang atau miskin ketimbang negara-negara mapan.

Di China, tingkat ketergantungan terhadap perdesaan lebih tinggi daripada tingkat ketergantungan pada perkotaan. Negara ini sebenarnya telah berhasil membangun kawasan perkotaannya menjadi mesin ekonomi raksasa serta mengangkat ratusan juta orang dari kemiskinan. Selama 10 tahun terakhir, pengentasan rakyat dari kemiskinan di China telah berkontribusi pada penurunan 70 persen kemiskinan global.

Meskipun demikian, sebagian dari 1,4 miliar penduduk ”Negeri Tirai Bambu” ini masih ada yang hidup di bawah standar hidup minimum (relative poverty/RP). RP merujuk pada kondisi individu atau rumah tangga yang tak lagi miskin absolut atau tak mampu memenuhi kebutuhan dasar tetapi belum dapat disebut sejahtera.

Warga kelompok RP ini beririsan dengan spektrum kelas menengah bagian bawah. Kelompok ini golongan paling rentan tergelincir masuk ke kelompok miskin dan sulit terentaskan karena berbagai sebab, termasuk karena guncangan ekonomi yang melanda suatu negara ataupun terdampak krisis global.

Kelompok RP ini banyak dijumpai di negara berkembang yang bahkan telah mendekati posisi sebagai negara maju seperti China. Di Indonesia, gejala serupa dirasakan sejak lama. Dari jurnal yang sama disebutkan bahwa kelompok RP ini memiliki relasi kuat, bahkan dapat dikatakan memiliki ketergantungan cukup besar dengan kampung halamannya. 

KTP daerah

Salah satu penanda ketergantungan kota-desa ditunjukkan dengan kartu identitas yang masih menunjukkan kaum urban ternyata tercatat resmi sebagai penduduk dari daerah asal.

Data badan pusat statistik China, pada periode 2010-2021 terjadi peningkatan pemegang kartu tanpa penduduk (KTP) daerah atau di luar kota domisili, yaitu dari 242 juta orang menjadi 292 juta orang. Tahun 2020, rata-rata 30 persen pekerja di perkotaan di China berasal dari luar kawasan urban itu.

Di Indonesia, di Jakarta dan sekitarnya saja, hal serupa jamak dijumpai. Ada yang sudah tinggal berpuluh tahun, menikah, dan beranak pinak di Jakarta, tetapi tercatat di KTP-nya sebagai warga Kota Yogyakarta di DIY, Padang di Sumatera Utara, Makassar di Sulawesi Selatan, dan banyak lagi.

KTP sebagai penduduk kampung halaman itu menjadi pegangan atau tali pengaman warga kota. Mereka beranggapan jika terjadi hal mendesak, termasuk kehilangan pekerjaan atau meninggal, maka ia dan keluarganya masih diterima serta mendapat tempat layak di lingkungan masa kecilnya.

Di Vietnam, misalnya, seperti laporan harian setempat, VN Express, pada 2 Mei 2024, akibat terdampak guncangan ekonomi hingga terkena PHK dari perusahaannya, banyak warga terpaksa meninggalkan Hanoi, ibu kota Vietnam, dan kembali ke kampung halamannya.

Namun, saat ekonomi di kampungnya ternyata tak lebih baik dan rezeki tak kalah seret, banyak yang kemudian memilih meninggalkan anak istrinya di kampung. Daerah asal dinilai berbiaya hidup lebih rendah dari Hanoi dan ada rasa aman meninggalkan mereka di tengah keluarga besar. Suami atau kepala keluarga memutuskan kembali ke Hanoi untuk kembali bertarung mengadu nasib.

Potret kehidupan yang sama, lagi-lagi, jamak pula ditemui di Indonesia.

Tenaga kerja Indonesia atau pekerja migran di luar negeri, kaum perantau di kota besar, biasa terpisah jauh dari pasangan serta anak-anak mereka. Anak dititipkan tinggal bersama ayah saja atau ibunya saja, atau diasuh nenek-kakek ataupun saudara. Uang hasil jerih payah di kota yang mengalir secara berkala ke kampung halaman. Perjumpaan fisik digantikan virtual, difasilitasi teknologi, seperti telepon pintar yang membantu menjaga hubungan ayah dan anak, juga suami dan istrinya.

Mudik di hari raya kemudian menjadi momentum untuk bertemu lagi dengan keluarga secara langsung. Energi positif membuncah. Ketika gema perayaan surut, kangen-kangenan sekaligus mempertebal lagi hubungan keluarga telah ditunaikan, saatnya kembali ”mencangkul” di kota.

Tradisi mudik sebagai bentuk nyata relasi kota-subkota-desa tak hanya baik untuk para pelakunya. Rutinitas ini turut berdampak para perputaran ekonomi nasional yang manfaatnya dirasakan juga oleh mereka yang tak menjalaninya.

Momentum mudik juga dapat menurunkan tensi ketegangan politik dan segala masalah lain secara nasional. Harapannya, tentu seusai hari raya, semangat baik yang menyala-nyala dapat mengatasi hal-hal buruk dan bisa lebih baik lagi.

Untuk itu, momentum mudik massal menjelang hari raya patut dijaga kelancaran dan keselamatannya. Persiapan dan kewaspadaan pemerintah, penyelenggara perjalanan, ataupun individu tak boleh kendur. Mudik selamat berarti menjamin tradisi ini sebagai penyelamat warga, kota, negara. Selamat mudik dan menyambut hari raya!

  Kembali ke sebelumnya