Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul RUU PPRT Gelap
Tanggal 08 Maret 2025
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci Gender, Diskriminasi,Pekerja Rumah Tangga
AKD - Komisi XIII
Isi Artikel

Mempekerjakan pekerja rumah tangga (PRT) mungkin hal yang lumrah bagi kaum menengah ke atas di Indonesia. Bahkan, PRT bisa dikatakan sebagai pekerja yang sangat dibutuhkan dan dicari-cari oleh kebanyakan kaum menengah ke atas.

Walaupun demikian, PRT sampai saat ini masih dianggap bukan sebuah pekerjaan. Padahal menurut Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala-PRT), terdapat 10,8 juta pekerja rumah tangga di Indonesia, dan 90 persen di antaranya adalah perempuan.

Jasa mereka, pada kenyataannya, sangat penting dan diperlukan untuk kehidupan sehari-hari. Namun, kehadiran mereka kerap dianggap sebelah mata dan diperlakukan seperti pekerjaan yang tidak terlihat.

Mengingat signifikannya peran PRT di ranah sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia, sudah seharusnya pekerjaan ini masuk ke kategori pekerjaan formal. Akan tetapi, sampai sekarang, PRT belum mendapatkan payung perlindungan hukum yang memadai meskipun pekerjaan ini sangat rentan terhadap kekerasan dan diskriminasi. 

Kalangan menengah ke atas, pengguna jasa PRT, seperti kalangan pemerintah, politisi, dan pembuat kebijakan, yang seharusnya memperjuangkan serta menetapkan perlindungan hukum bagi PRT, justru diam dan tidak mengambil tindakan apa pun.

Sudah 21 tahun RUU PPRT

Tanggal 8 Maret 2025 seharusnya menjadi hari yang ditunggu-tunggu untuk merayakan kemajuan yang telah dicapai perempuan serta perkembangan yang telah ditempuh masyarakat dalam mempromosikan kesetaraan jender dan meningkatkan partisipasi perempuan.

Hari Perempuan Internasional tahun ini mungkin akan menjadi hari yang kelam bagi perempuan-perempuan di Indonesia. Dan, tampaknya ini perlu menjadi sebuah refleksi bersama karena Indonesia mengalami kemunduran pada kesetaraan jender. Indeks Kesenjangan Gender Global menempatkan Indonesia di peringkat ke-100 dari 146 negara pada tahun 2024, penurunan dari tahun sebelumnya yang berada di peringkat ke-87.

Penurunan Indeks Kesenjangan Gender Global dapat diartikan bahwa isu-isu dan hak-hak yang menyangkutpautkan perempuan dan jender turut dikesampingkan dan bukanlah lagi menjadi isu yang penting, termasuk PRT yang mayoritas adalah perempuan.

Sudah lebih dari dua dekade berlalu, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), yang pertama kali diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 2004, akan merayakan ulang tahun yang ke-21. Perayaan ke-21 tahun di mana pekerja-pekerja ini harus terus berteriak untuk mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja. Hak-hak bahwa mereka membutuhkan perlindungan di atas pekerjaan mereka yang sangat rentan.

Seratus hari juga telah berlalu semenjak Prabowo Subianto dilantik sebagai Presiden Ke-8 Republik Indonesia. Namun, isu-isu menyangkut perempuan tidak cukup banyak dibahas atau diutamakan. Misalnya, RUU Mineral dan Batubara lebih dulu disahkan, sementara tenaga ahli dan sumber daya lebih banyak difokuskan pada program Makan Bergizi Gratis (MBG), tetapi pembahasan mengenai RUU PPRT tidak muncul sama sekali ke permukaan. 

Penundaan pengesahan RUU PPRT yang semakin hari tidak menemui titik terang berdampak kepada PRT yang semakin terpinggirkan. Baru-baru ini pemerintah melakukan efisiensi anggaran besar-besaran yang termasuk anggaran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).

Efisiensi anggaran ini menyebabkan berkurangnya layanan SAPA 129, yaitu layanan pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta hilangnya layanan pendampingan, penjangkauan, dan rehabilitasi korban kekerasan. Dengan tidak adanya layanan ini, banyak perempuan akan kesulitan mendapatkan perlindungan, dan kemungkinan besar di antara banyaknya kasus tersebut terdapat PRT. Lantas, dengan belum adanya perlindungan hukum dan layanan Kementerian PPPA yang terbatas, akan ke manakah PRT jika membutuhkan bantuan?

Lamanya proses pengesahan RUU PPRT ini menunjukkan bahwa hak-hak perempuan di Indonesia kerap dilucuti dan kesenjangan jender dibiarkan semakin lebar.

Kebutuhan mendesak

Sering kali kita mendengar kasus PRT mengalami kekerasan. Beberapa waktu lalu lima orang PRT berusaha kabur dari rumah pemberi kerja karena diduga mengalami penyekapan dan penganiayaan. Juni 2024 bahkan terdapat PRT di Tangerang yang bunuh diri. PRT tersebut ternyata merupakan pekerja anak yang menjadi korban tindak pidana. Tahun 2018-2023, Jala-PRT melaporkan bahwa terdapat 2.641 kasus berbagai jenis kekerasan terhadap PRT yang berdampak fatal.

Karena itu, RUU PPRT harus segera disahkan, bukan hanya karena isu ini menyangkut kesejahteraan dan keselamatan para pekerja rumah tangga, melainkan juga berkaitan dengan hak asasi manusia dan tentu hak-hak perempuan. Lamanya proses pengesahan RUU PPRT ini menunjukkan bahwa hak-hak perempuan di Indonesia kerap dilucuti dan kesenjangan jender dibiarkan semakin lebar.

Pengesahan RUU PPRT akan memberikan hak kepada pekerja rumah tangga untuk bekerja di lingkungan yang aman serta mendapatkan perlindungan dan jaminan. Selain itu, PRT harus diakui sebagai pekerjaan formal agar tidak lagi dipandang sebelah mata.

PRT memiliki kontribusi signifikan bagi masyarakat dan ekonomi, sebagaimana disampaikan dalam penelitian Bastari (2018) bahwa pekerja rumah tangga memungkinkan roda perekonomian terus berjalan. Kehadiran mereka tidak hanya memungkinkan orang-orang yang mempekerjakannya menjadi lebih produktif dan menghasilkan nilai ekonomi lebih besar, yang mungkin tidak dapat dicapai oleh mereka jika harus mengurus pekerjaan rumah tangga dalam kegiatan sehari-hari mereka.

Jalan panjang kesetaraan jender

Dua puluh satu tahun penantian bukanlah waktu yang singkat. RUU PPRT yang belum juga disahkan adalah cerminan bahwa Indonesia masih memiliki jalan panjang untuk memajukan kesetaraan jender. Berbagai macam desakan sudah dilakukan untuk mempercepat pengesahan RUU ini. Namun, penundaan ini menunjukkan kurangnya kemauan politik untuk menangani isu-isu mendesak yang dihadapi oleh pekerja rumah tangga yang mayoritas di antaranya adalah perempuan.

Para pembuat kebijakan seharusnya memprioritaskan perlindungan pekerja rumah tangga dengan segera mengesahkan RUU PPRT dan memastikan bahwa setiap perempuan, tanpa memandang profesinya, diperlakukan dengan martabat dan dihormati hak-haknya. Tanpa pengakuan dan perlindungan hukum, para pekerja ini akan terus rentan terhadap eksploitasi dan penyalahgunaan, dan kemajuan Indonesia menuju kesetaraan jender akan terus terhambat.

Namun, tampaknya masalah jender tidak lagi dilihat sebagai isu krusial dalam lanskap politik Indonesia saat ini. Padahal, isu kesetaraan jender adalah hak asasi manusia yang fundamental dan seharusnya berada di garis terdepan perhatian nasional.

Tagar #Indonesiagelap akhir-akhir ini sering ditemukan, yang memperlihatkan bahwa Indonesia sedang perlahan-lahan ditarik ke dalam kegelapan dengan banyaknya kebijakan yang tidak menguntungkan publik. Hal ini juga tampaknya relevan dengan situasi kesetaraan jender, di mana kemunduran pemerintah dalam komitmennya terhadap kesetaraan jender dan hak-hak perempuan dapat dirasakan.

Isu PRT hanyalah salah satu dari berbagai isu yang melibatkan perempuan dan kesetaraan jender. Desakan untuk terus memperjuangkan jutaan suara PRT harus terus dilakukan, tetapi harus sampai kapan? Apakah perempuan-perempuan di Indonesia bisa merayakan hari perempuan internasional, khususnya kaum yang terpinggirkan seperti PRT?

 

Melisa Try Hatmanti, Peneliti Perempuan dan Jender

Instagram: melisatryh

  Kembali ke sebelumnya