Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Memikirkan Ulang Tridharma Perguruan Tinggi
Tanggal 08 April 2025
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci Pendidikan Tinggi
AKD - Komisi X
Isi Artikel

 

Wakil Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Wamendiktisaintek Stella Christie dalam sejumlah kesempatan sering menyatakan bahwa perguruan tinggi di Indonesia terlalu fokus pada aspek pengajaran daripada penelitian. Padahal, menurut dia, tugas utama perguruan tinggi itu adalah penelitian, sementara pengajaran adalah penyampaian hasil penelitian.

Pernyataan tersebut telah memantik perdebatan di kalangan akademisi dan pemerhati pendidikan tinggi. Beberapa orang keberatan dengan pandangan Wamendiktisaintek itu karena Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) secara eksplisit mengamanatkan bahwa perguruan tinggi memiliki kewajiban untuk melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat—yang dikenal sebagai Tridharma Perguruan Tinggi. Artinya, menurut UU Dikti, penelitian dan pendidikan sama-sama merupakan tugas utama perguruan tinggi.

Namun, terlepas dari kontroversi yang muncul, wacana ini memberikan momentum yang baik untuk memikirkan kembali konsep Tridharma Perguruan Tinggi. Apakah Tridharma, dalam bentuknya saat ini, benar-benar menjadi sistem yang ideal dalam mendorong mutu akademik dan kontribusi sosial perguruan tinggi? Ataukah ia justru membebani dosen dan menghambat pengembangan akademik yang lebih berkualitas?

 

      Tridharma dan mediokritas dosen

 

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti), Tridharma Perguruan Tinggi mengalami ambiguitas dalam hal subyek yang terkena kewajiban. Pasal 1 poin 9 menyebutkan bahwa Tridharma merupakan kewajiban institusional perguruan tinggi. Namun, dalam pasal yang sama, poin 14 mengalihkan kewajiban tersebut kepada dosen secara individu.

Ketidakjelasan ini menimbulkan implikasi bahwa setiap dosen diwajibkan untuk secara simultan melaksanakan tiga aspek Tridharma sekaligus, yaitu mengajar, meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat. Dalam praktiknya, beban ini tidak hanya membebani dosen, tetapi juga berdampak pada kualitas keluaran akademik dan kontribusi sosial mereka.

Setiap dosen diwajibkan membuat laporan kinerja dosen (LKD) setiap semester yang mencakup keterlibatan dalam pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Sistem ini menuntut dosen untuk membagi waktu dan sumber daya mereka dalam tiga bidang yang berbeda secara bersamaan. Akibatnya, banyak dosen yang kesulitan dalam menyeimbangkan tanggung jawab ini secara optimal.

Sebagian besar dosen memang lebih cenderung memprioritaskan aspek pengajaran dibandingkan dengan penelitian dan pengabdian. Sebab, pengajaran merupakan kewajiban yang paling langsung dihadapi dalam kehidupan akademik mereka sehari-hari. Hal ini mungkin yang diamati oleh Wamendiktisaintek.

Tekanan administratif juga menjadi faktor yang memperumit keadaan. Selain mengajar dan meneliti, dosen sering kali dibebani dengan tugas administratif yang signifikan, seperti penyusunan laporan, evaluasi akademik, dan tugas struktural dalam universitas. Dalam kondisi seperti ini, penelitian sering kali dilakukan sekadar untuk memenuhi kewajiban, tanpa fokus pada inovasi dan kontribusi nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.

Karena tuntutan ini, banyak dosen akhirnya menjadi medioker dengan hanya berusaha untuk memenuhi persyaratan administratif tanpa benar-benar mencapai keunggulan dalam salah satu aspek Tridharma. Misalnya, pengajaran dilakukan seadanya dengan metode konvensional yang kurang inovatif, penelitian dilakukan dengan pendekatan minimal sekadar untuk mencapai target publikasi, dan pengabdian masyarakat kerap menjadi sekadar formalitas dengan keterlibatan yang minim.

Pola tersebut berisiko menyebabkan stagnasi dalam perkembangan akademik di Indonesia dan menjadikan sebagian besar penelitian kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Berdasarkan laporan Scimago Institutions Rankings (2023), publikasi akademik dari perguruan tinggi di Indonesia memang meningkat secara kuantitas dalam beberapa tahun terakhir. Namun, banyak dari publikasi ini yang tidak memiliki dampak signifikan dalam skala internasional, tecermin dari rendahnya jumlah kutipan dan kurangnya keterlibatan dalam diskusi ilmiah global. Situasi ini menunjukkan bahwa meskipun penelitian meningkat secara administratif, kualitasnya masih perlu ditingkatkan agar lebih kompetitif di kancah global.

Dalam konteks pengabdian masyarakat, permasalahan serupa juga terjadi. Banyak program pengabdian yang dibuat hanya untuk memenuhi kewajiban tanpa memiliki dampak nyata yang berkelanjutan. Padahal, di negara-negara dengan sistem pendidikan tinggi yang lebih maju, seperti Amerika Serikat dan Jerman, program pengabdian sering kali menjadi bagian integral dari inovasi sosial dan pembangunan komunitas. Dengan kondisi saat ini, perlu ada evaluasi kritis terhadap pelaksanaan Tridharma di Indonesia sehingga sistem ini tidak hanya menjadi beban administratif, tetapi benar-benar juga dapat meningkatkan kualitas akademik dan dampak sosial perguruan tinggi.

Reformasi Tridharma

Melihat permasalahan ini, perlu ada reformasi dalam pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi. Konsep Tridharma sebaiknya dipertahankan sebagai kewajiban institusional, tetapi pelaksanaannya tidak harus dibebankan secara simultan kepada setiap individu dosen. Sebagai gantinya, dosen perlu diberi fleksibilitas dalam memilih fokus kinerjanya dalam periode tertentu.

Dosen dapat diberikan kebebasan untuk memilih fokus utama dalam suatu periode tertentu. Misalnya, dalam lima tahun pertama kariernya, seorang dosen dapat lebih banyak berfokus pada pengajaran dan penelitian dasar untuk membangun kompetensi akademiknya. Kemudian, dalam lima tahun berikutnya, ia bisa lebih berorientasi pada penelitian lanjutan dan publikasi ilmiah guna meningkatkan kontribusinya dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Selanjutnya, pada tahap berikutnya, dosen dapat lebih aktif dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat sebagai bentuk implementasi dari penelitian dan pengajarannya. Dengan sistem ini, dosen tetap menjalankan Tridharma, tetapi tidak harus melakukannya dalam waktu yang bersamaan.

Selain itu, perguruan tinggi juga dapat mengadopsi pembagian peran yang lebih fleksibel bagi para dosen. Dalam sistem saat ini, setiap dosen dituntut untuk menguasai semua aspek Tridharma secara seimbang. Padahal, di berbagai universitas ternama dunia, seperti di Amerika Serikat dan Eropa, terdapat sistem spesialisasi di mana ada profesor pengajar (teaching professor) yang lebih berfokus pada pendidikan dan ada profesor peneliti (research professor) yang lebih mengutamakan penelitian.

Dengan demikian, dosen dapat lebih menyesuaikan peran mereka dengan keahlian dan minat masing-masing, tanpa harus terbebani oleh tuntutan administratif yang berlebihan.

Evaluasi kinerja dosen juga perlu mengalami perubahan agar lebih berbasis pada kontribusi nyata dalam bidangnya masing-masing. Saat ini, banyak dosen merasa terbebani oleh kewajiban administratif yang menitikberatkan pada jumlah publikasi atau jam mengajar sebagai ukuran kinerja. Padahal, evaluasi seharusnya lebih memperhatikan kualitas dan dampak dari pekerjaan akademik yang dilakukan.

Dosen yang lebih berfokus pada penelitian sebaiknya dievaluasi berdasarkan kualitas risetnya, kontribusinya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, dan seberapa luas temuannya berdampak dalam skala nasional ataupun internasional. Sementara itu, dosen yang lebih banyak berkontribusi dalam pengajaran harus dinilai berdasarkan efektivitas metode pengajaran mereka, kepuasan mahasiswa, serta sejauh mana mereka mampu mencetak lulusan yang berkualitas.

Selain itu, perguruan tinggi juga harus meningkatkan dukungan institusional bagi para dosen agar mereka dapat lebih optimal dalam menjalankan tugas akademiknya. Dukungan ini bisa berupa fasilitas penelitian yang lebih memadai, alokasi anggaran yang jelas untuk proyek penelitian, serta pengurangan beban administrasi yang sering kali menyita waktu dosen secara tidak proporsional.

Dengan adanya reformasi ini, diharapkan dosen dapat bekerja dengan lebih fokus dan menghasilkan luaran yang lebih berkualitas dalam setiap aspek Tridharma. Ini bukan berarti seorang dosen hanya boleh melakukan satu aspek Tridharma sepanjang kariernya, tetapi dia tidak harus melakukan ketiganya secara simultan. Dengan sistem yang lebih fleksibel ini, akademisi dapat lebih optimal dalam memberikan kontribusi mereka baik dalam bidang pendidikan, penelitian, maupun pengabdian kepada masyarakat.

Dengan demikian, perguruan tinggi dapat tetap menjalankan perannya dalam pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat tanpa mengorbankan kualitas dalam tiap-tiap aspek.

Siti Murtiningsih, Guru Besar Filsafat Pendidikan Universitas Gadjah Mada

Iklan
 
 
  Kembali ke sebelumnya