Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Hilirisasi Nikel di Raja Ampat dan Dampak Global
Tanggal 10 Juni 2025
Surat Kabar Kompas
Halaman 6
Kata Kunci
AKD - Komisi VII
Isi Artikel

Pemerintah harus memutuskan dengan bijaksana apakah akan membangun masa depan yang berkelanjutan, atau menghancurkan semua demi keuntungan sesaat?

Oleh Sawqi Saad El Hasan

enteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia akhirnya buka suara. Menurut dia, tambang nikel di Raja Ampat ditangguhkan. Namun, PT Gag Nikel dan PT Kawei Sejahtera Mining masih memegang izin. Artinya, kegiatan tambangnya tidak benar-benar berhenti.

Keputusan Menteri ESDM menghentikan sementara tambang nikel di Raja Ampat (5 Juni 2025) adalah langkah tepat, tapi belum cukup. 

Kebijakan tersebut lahir setelah adanya tekanan global dan bukti pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, persis seperti yang terjadi di Pulau Gebe.

Jika Indonesia gagal belajar dari sejarah, dampaknya akan merambat ke Timor Leste, Filipina, dan Australia.

Pemerintah terkesan terburu-buru membangun pabrik, tetapi lupa memastikan siapa yang akan menjaga lingkungan? Siapa yang akan memantau limbah? Apakah warga lokal hanya diberikan janji-janji, tanpa jaminan? 

Dampak ekonomi

Raja Ampat bukan sekadar surga bawah laut untuk wisatawan. Tempat itu adalah pusat kehidupan. Ibaratnya, tempat itu merupakan jantungnya Segitiga Terumbu Karang, wilayah laut yang juga tersambung langsung ke Filipina, Timor Leste, sampai ke Australia.

Namun, sekarang jantung ini mulai sesak. Tambang nikel terus digali dan yang keluar bukan hanya logam. Zat beracun untuk ekosistem juga ikut keluar. Laut yang dahulunya jernih kini mulai keruh. Arusnya membawa lumpur dan logam berat, dan alirannya tak hanya berhenti di sekitar Raja Ampat.

Mereka terbawa sampai Tawi-Tawi di Filipina. Bahkan bisa merambat sampai Great Barrier Reef di Australia, yang telah menginvestasikan 500 juta dollar Australia untuk rehabilitasi tempat tersebut pada tahun 2024. 

Apa yang akan terjadi dengan nelayan? Nelayan yang dulu bisa hidup dari laut sekarang semakin sengit bersaing satu sama lain. Bukan hanya nelayan di Papua, melainkan juga nelayan dari Timor Leste dan Filipina. Mereka makin jauh melautnya. Hal ini akan memicu perilaku nelayan untuk semakin nekat dan bisa memicu kemarahan para nelayan yang terdampak. Krisis ikan bukan sekadar isapan jempol. Hal ini merupakan awal dari ketegangan antarnegara.

Kondisi di darat juga tidak kalah gawat. Hutan di pulau-pulau kecil ditebang habis. Tanah jadi telanjang, dan ketika kemudian hujan datang, lumpur meluncur, terus mengendap di laut. Terumbu karang makin tertekan.

Mari kita melihat kondisi Pulau Gebe di Maluku Utara. Sejak tambang berjalan, air laut di sekitarnya teracuni. Racunnya menyebar sampai Halmahera. Nelayan di dekat perbatasan Filipina mulai kehilangan hasil tangkapannya. 

Dampak sosial-politik

Kalau hasil laut tidak lagi bisa diandalkan, banyak orang pasti akan pergi karena kehilangan mata pencahariannya. Nelayan yang selama ini hidup dari hasil tangkapan mungkin terpaksa meninggalkan kampungnya untuk mencari makan. Ke mana mereka akan pergi?

Timor Leste atau Australia Utara. Kota-kota seperti Darwin bisa jadi tujuan. Suatu migrasi yang terjadi karena terdesak oleh kondisi.

Sumber air bersih juga ikut terancam. Limbah tambang dari Raja Ampat tidak berhenti di sana. Air yang tercemar bisa mengalir sampai ke wilayah Papua Niugini. Bahkan, Selat Torres di Australia bisa terkena imbasnya. Padahal, di sana, air bersih merupakan barang mahal. Kalau sampai rusak, siapa yang akan bertanggung jawab?

Situasi ini mulai memunculkan sorotan tajam di luar negeri. Aktivis lingkungan di Filipina dan Australia juga sudah angkat suara. Mereka tidak tinggal diam. Mereka tahu, perkara ini bukan hanya urusan domestik.

Kalau dampak kerusakannya makin meluas, Indonesia bisa mendapat tekanan diplomatik. Tekanan bukan hanya berasal dari negara-negara ASEAN, melainkan juga Konvensi Hukum Laut (UNCLOS). Kita bisa jadi sorotan dunia.  

Dampak iklim

Cerita mengenai nikel tidak berhenti hanya sampai pada tambangnya. Apabila kita melihat kondisi di Maluku Utara, tempat smelter-smelter besar seperti IWIP berdiri, untuk menjalankan smelter-smelter itu dibangun PLTU batubara yang setiap tahunnya menghasilkan hampir 4 gigawatt emisi ke udara.

Besarnya emisi ini setara dengan setengah tahun emisi dari konsumsi energi satu negara seperti Filipina.

Asapnya tidak berhenti di atas pabrik. Angin akan membawa asapnya jauh menembus batas negara. Timor Leste dan Australia bagian utara yang sudah sering berurusan dengan masalah kebakaran hutan akan makin rentan. Udara makin kotor dan napas makin sesak, dan ini juga berdampak pada keresahan warga.

Laporan Greenpeace, Juni 2025, membuktikan 500 hektar hutan Raja Ampat dibabat, mirip polanya dengan di Pulau Gebe. Mangrove di Raja Ampat, yang sebelumnya menjadi pelindung alami garis pantai dan berperan sebagai penyangga karena menyerap karbon, sekarang banyak ditebangi untuk membuka lahan proyek.

Kondisi air laut juga makin naik. Masyarakat Dili di Timor Leste dan masyarakat Darwin di Australia mulai khawatir karena air semakin dekat dan waktu semakin sempit. 

Solusi: moratorium dan kerja sama regional

Raja Ampat bukan tempat untuk ”dijual” kepada industri. UU No 1/2014 sudah sangat gamblang menegaskan pulau-pulau kecil seperti Raja Ampat harus dilindungi. Wilayah yang seharusnya menjadi kawasan konservasi justru disulap menjadi kawasan tambang.

Dibutuhkan pengawasan dari luar secara independen dan audit ekologis yang benar-benar netral. Bukan dari lembaga yang terikat kontrak dengan pemerintah, melainkan dari lembaga internasional yang berani menyampaikan fakta apa adanya. Supaya kita tahu seberapa rusaknya wilayah itu, agar situasi tidak terus berjalan dalam kondisi ”gelap”.

Apabila Indonesia serius hendak menjaga harga diri di kawasan, seharusnya tidak bekerja sendiri. Lautan di wilayah kita tersambung ke wilayah negara lain. Jadi harus bekerja sama. Filipina dan Australia adalah dua negara yang terkena dampak. Perlu ada sistem pemantauan bersama dan menemukan cara supaya bisa saling menjaga.

Sedimentasi dan logam berat itu mengalir pelan tapi pasti sehingga dibutuhkan tindakan pencegahan yang konkret. Smelter nikel juga tidak bisa terus-terusan mengandalkan energi batubara. Kalau kita bicara soal transisi energi, maka mulailah dari sini.

Ganti sumber energi menjadi tenaga surya, angin, atau sumber energi bersih lainnya. Jika tetap menggunakan batubara, kita tidak hanya membuat kotor udara, tapi juga ikut mempercepat krisis iklim. Apabila iklim berubah, dampaknya akan kembali ke kita semua.

Sekali lagi, Raja Ampat bukan sekadar halaman belakang Indonesia. Raja Ampat merupakan warisan dunia. Lautnya, karangnya, dan kehidupan yang ada di dalamnya. Di luar itu, semua itu juga berkaitan dengan negara lain seperti Filipina, Timor Leste, dan Australia.

Jika kita gagal menjaga tempat wilayah tersebut, bukan hanya negara kita yang rugi. Dunia ikut kena imbasnya.

Apabila hilirisasi nikel secara ugal-ugalan terus dipaksakan, maka yang terdampak kerusakan bukan hanya alam. Hubungan dengan negara tetangga bisa ikut retak. Konflik soal laut, ikan, dan air bisa meledak kapan saja.

Belum lagi perubahan iklim yang makin ekstrem karena emisi dan rusaknya ekosistem. Udara makin panas, air laut semakin naik, dan kehidupan warga terkena dampaknya, termasuk kota-kota di negara-negara tetangga seperti Dili, Manila, dan Darwin.

Kunjungan Menteri ESDM ke Raja Ampat harus menuntun pada audit ekologis yang independen dan bukan sekadar verifikasi administratif. Dari pengalaman Pulau Gebe, pola ”peninjauan lapangan” hanya mengubah status ilegal menjadi legal melalui revisi perizinan. Kita sudah pernah melihat dampaknya seperti apa pada Pulau Gebe.

Waktu itu pemerintah kita berpikir bisa mengendalikan risikonya. Ternyata, limbahnya jalan terus, racun menyebar dan nelayan kehilangan harapan. 

Jangan sampai Raja Ampat menjadi cerita sedih berikutnya. Pemerintah harus memutuskan dengan bijaksana apakah akan membangun masa depan yang berkelanjutan, atau menghancurkan semua demi keuntungan sesaat?

Sawqi Saad El Hasan, Dosen Tetap Manajemen Bisnis Syari’ah STEBIS Bina Mandiri Cileungsi

 
  Kembali ke sebelumnya