Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Wawonii Juga Bukan Tanah Kosong
Tanggal 09 Juni 2025
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci Tambang dan Pertambangan
AKD - Komisi VII
Isi Artikel

Pertumbuhan ekonomi yang mengorbankan lingkungan hidup selain hanya akan dinikmati segelintir elite juga merupakan pertumbuhan ekonomi yang rapuh.

Oleh Firdaus Cahyadi

Papua bukan tanah kosong,” ujar demonstran dari organisasi lingkungan hidup Greenpeace dalam sebuah aksinya memprotes tambang nikel di Raja Ampat, Papua, beberapa waktu yang lalu.

Aksi itu membuka mata publik bahwa selama ini para pengambil kebijakan di negeri ini telah menganggap pulau-pulau kecil di Indonesia sebagai tanah kosong sehingga dengan mudahnya dijadikan area konsesi tambang. Selain kawasan Raja Ampat, Wawonii di Sulawesi Tenggara adalah pulau kecil yang juga terancam tambang nikel.

Sebagian besar penduduk di pulau kecil Wawonii berkebun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Hasil bumi mereka berupa cengkeh, pala, kelapa, dan kacang mete. Dari hasil berkebun itu, mereka tidak hanya bisa mencukupi kebutuhannya sehari-hari, tetapi juga membiayai sekolah anak-anaknya.

Tidak hanya berkebun, mereka juga menjadi nelayan. Ikan segar bagi mereka tidak hanya dijual di pasar, tetapi juga untuk lauk bergizi  makan sehari-hari. Ikan-ikan, yang apabila sudah sampai di restoran berharga mahal, begitu mudah didapatkan di Pulau Wawonii. Penduduk Wawonii pun hampir setiap hari menyantap ikan-ikan itu. Pendek kata, penduduk Wawonii sejatera secara ekonomi.

Namun, setelah tambang nikel masuk di Wawonii, kesejahteraan mereka menurun. Penurunan kesejahteraan itu akibat rusaknya alam yang berdampak pada hasil bumi mereka. Salah satu kerusakan alam itu adalah tercemarnya mata air di Wawonii. Sebelum perusahaan tambang nikel beroperasi di pulau kecil itu, penduduk bisa menikmati air bersih untuk kegiatan mereka sehari-hari, dari minum, mandi, hingga mencuci.

Setelah tambang nikel beroperasi di kawasan itu, mereka menjadi kesulitan menggunakan air bersih. Sebagian mereka mulai menggali sumur, menggunakan air hujan, hingga harus berjalan jauh mencari air bersih untuk kehidupan sehari-hari.

Bukan hanya air bersih yang langka di Wawonii, udara bersih juga menjadi persoalan serius setelah perusahaan tambang nikel beroperasi di pulau kecil itu. Debu-debu yang dihasilkan dari operasionalisasi tambang tidak hanya telah mencemari udara, tetapi juga telah merusak tanaman-tanaman penduduk lokal.

Kerusakan tanaman-tanaman ini berujung pada penurunan produksi dari kebun-kebun mereka. Akibatnya, pendapatan mereka menurun drastis apabila dibandingkan dengan sebelum tambang beroperasi di pulau tersebut.

Beberapa infrastruktur yang dibuat untuk memfasilitasi operasionalisasi tambang juga telah merusak wilayah pesisir. Ikan-ikan tertentu yang bernilai mahal sudah semakin sulit ditemukan. Apabila ingin menangkap ikan-ikan tersebut, para nelayan harus melaut lebih jauh lagi. Artinya, biaya produksi mereka untuk sekali melaut akan meningkat.

Tambang nikel di pulau-pulau kecil seperti Wawonii tidak menyejahterakan penduduknya, tapi justru menciptakan kemiskinan baru. Dengan kata lain, kebijakan pemerintah yang mengizinkan masuknya tambang di Pulau Wawonii menjadi penyebab utama terjadinya kemiskinan struktural bagi penduduk setempat.

Bukan hanya kemiskinan, relasi sosial penduduk Wawonii yang tadinya harmonis pun menjadi terusik. Terjadi polarisasi antara pendukung dan penolak tambang nikel. Penduduk yang mendukung tambang nikel tidak lagi saling membantu dan menyapa dengan penduduk yang menolak tambang. Modal sosial gotong royong yang sebelumnya lekat dalam kehidupan penduduk Wawonii menjadi hancur.

Persoalan kehancuran alam, ekonomi, dan juga relasi sosial ini tampaknya tidak dianggap sebagai sesuatu yang serius bagi pengambil kebijakan di tingkat lokal dan nasional. Para pengambil kebijakan menganggap bahwa Wawonii baik-baik saja, meskipun perusahaan tambang nikel telah menghancurkan alamnya.

Pada Maret 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) secara tegas telah menolak permohonan perusahaan nikel yang beroperasi di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, untuk menghapus larangan menambang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) juga mengabulkan semua gugatan warga dan membatalkan sejumlah pasal dalam Perda Nomor 2/2021 tentang RTRW Konawe Kepulauan 2021-2041 terkait dengan pertambangan di Wawonii.

Sementara itu, pada awal Oktober tahun ini, MA kembali mengabulkan upaya kasasi warga Wawonii dalam perkara gugatan pembatalan dan pencabutan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) milik sebuah perusahaan tambang nikel.

Dengan kemenangan beruntun penduduk Wawonii di ranah hukum itu, seharusnya perusahaan tambang nikel segera menghentikan operasinya. Dengan demikian, mata air di Wawonii pun dapat segera dipulihkan. Namun, perusahaan nikel tetap beroperasi di pulau kecil Wawonii.

Hilirisasi nikel telah membutakan mata dan hati para pengambil kebijakan di negeri ini, baik dari tingkat pusat hingga daerah. Hilirisasi nikel telah menjadi program andalan Indonesia. Program itu dimulai di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan dilanjutkan di era Presiden Prabowo Subianto.

Dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden ke-8 Indonesia beberapa waktu yang lalu, Prabowo Subianto mengungkapkan akan melanjutkan hilirisasi nikel yang sudah dimulai pemerintahan sebelumnya. Beberapa pihak mengungkapkan bahwa hilirisasi nikel ini diharapkan mampu berkontribusi terhadap target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen.

Elite politik negeri ini berharap nikel dapat mendorong capaian target pertumbuhan ekonomi karena semakin meningkatnya permintaan mineral kritis seiring dengan menguatnya transisi energi. Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), permintaan nikel terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan mobil listrik. Pada 2020 kebutuhan nikel untuk baterai kendaraan listrik dan power bank atau energy storage system (ESS) mencapai 154.000 ton. Kemudian, naik pada 2025 menjadi 372.000 ton. Dan, pada 2030 diperkirakan akan melonjak menjadi 795.000 ton.

Cadangan nikel di dunia sebesar 139.409.000 ton. Dari jumlah cadangan nikel di dunia itu, sebesar 52 persen atau 72 juta ton nikel ada di Indonesia. Angka-angka ini tentu menggiurkan para pebisnis tambang nikel. Sebaliknya, bagi masyarakat lokal, angka-angka itu tak lebih sebagai malapetaka bagi kehidupan mereka. 

Angka-angka itu secara jangka pendek mungkin bisa menyumbang angka pertumbuhan ekonomi, tetapi dalam jangka panjang justru menjadi jalan bagi bunuh diri ekologi. Kehancuran alam akibat bunuh diri ekologi itu pada akhirnya akan menggerus angka-angka dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang mengorbankan lingkungan hidup selain hanya akan dinikmati oleh segelintir elite juga merupakan pertumbuhan ekonomi yang rapuh dan tidak berkualitas.

Celakanya, para pengambil kebijakan di negeri ini adalah elite-elite politik yang hanya berpikiran jangka pendek. Mereka hanya peduli dengan kepentingan ekonomi dan politik di sekitar lingkaran kekuasaan, bukan masa depan rakyat secara keseluruhan. Aksi aktivis Greenpeace seperti mengingatkan bahwa rakyat tidak boleh diam. Rakyat harus semakin keras bersuara di bawah kekuasaan elite politik yang tak berkualitas seperti saat ini.

Firdaus Cahyadi, Mahasiswa Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB University

  Kembali ke sebelumnya