| Judul | Polemik Nikel Raja Ampat, Cerminan Buruk Tata Kelola Konsesi Pertambangan |
| Tanggal | 11 Juni 2025 |
| Surat Kabar | Kompas |
| Halaman | - |
| Kata Kunci | Tambang dan Pertambangan |
| AKD |
- Komisi VII |
| Isi Artikel | Polemik pertambangan nikel di Raja Ampat memberikan ”lesson learned” bagi perbaikan tata kelola sumber daya alam, terutama dalam pembenahan konsesi tambang. Oleh Budiawan Sidik A, Nurul Intan Pertambangan nikel yang beroperasi di Kepulauan Raja Ampat menuai kecaman publik. Ekowisata alam unggulan Indonesia ini dikhawatirkan akan mengalami kerusakan, baik di wilayah daratan maupun perairan akibat pertambangan. Kini, izin usaha pertambangan atau IUP sejumlah perusahaan yang menambang di sana telah dicabut pemerintah. Polemik yang terjadi di Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat Daya, bermula ketika Greenpeace Indonesia melakukan protes dalam agenda ”Indonesia Critical Mineral Conference and Expo” di Hotel Pullman, Central Park, Jakarta, pada Selasa (3/6/2025). Dalam agenda tersebut, tiga aktivis bersama seorang perempuan asli dari Papua maju ke panggung dengan membentangkan spanduk bertuliskan, ”Nickel Mines Destroy Lives” dan ”What’s the true cost of your nickel?” Kempat aktivis tersebut diamankan pihak kepolisian ke Markas Polsek Grogol, Petamburan. Melalui akun Instagram Greenpeace Indonesia, mereka menyebutkan bahwa Raja Ampat merupakan surga terakhir dunia (the last paradise) yang sedang berada di tengah ancaman eksploitasi sumber daya berupa penambangan nikel. Pada Senin (9/6/2025), video di akun Instagram Greenpeace Indonesia telah ditonton lebih dari 18,7 juta orang dengan jumlah suka mencapai lebih dari 543.000. Dalam kajian dan penelusuran yang dilakukan oleh Greenpeace Indonesia, aktivitas penambangan di pulau-pulau kecil Raja Ampat telah menyebabkan kerusakan ekologis dan mengancam keberlangsungan ekosistem maupun biota laut. Pasalnya, aktivitas pertambangan di tiga pulau, yaitu Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran, telah menyebabkan adanya limpasan tanah sehingga memicu sedimentasi yang turut berpotensi merusak karang. Selain itu, proses pertambangan itu juga membabat lebih dari 500 hektar hutan dan vegetasi alami yang ada di tanah Papua. Sejak 24 Mei 2023, Kepulauan Raja Ampat telah ditetapkan sebagai Global Geopark oleh UNESCO. Utamanya, Pulau Waigeo, Pulau Batanta, Pulau Salawati, dan Pulau Misool dengan total luas mencapai lebih dari 36.000 kilometer persegi. Bahkan, Kepulauan Raja Ampat mendapatkan julukan sebagai ”The Emerald Karst of the Equator” karena keindahan laut, vegetasi, dan geologi. Hal tersebut turut dibuktikan kekayaan biota Raja Ampat yang merupakan Coral Triangle karena menguasai 75 persen spesies terumbu karang global dengan lebih dari 1.400 spesies ikan. Oleh karena itu, sudah seharusnya Raja Ampat dikenal sebagai ikon pariwisata dan keanekaragaman hayati, bukan sebagai ikon pertambangan. Perizinan Fenomena yang terjadi di Raja Ampat merupakan bukti bahwa kapitalisasi sumber daya saat ini telah merambah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang sering kali luput dari perhatian publik. Kondisi tersebut semakin meningkatkan kerentanan terhadap keberlangsungan hidup masyarakat ataupun berbagai flora dan fauna endemik yang ada di kawasan tersebut. Padahal, dalam UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Pasal 23 Ayat 2 menegaskan bahwa pulau-pulau kecil dan perairan sekitar diprioritaskan untuk kepentingan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan, pertanian organik, peternakan, serta pertahanan-keamanan negara. Hal tersebut turut diperkuat Putusan MK Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang menetapkan bahwa pertambangan di pulau kecil termasuk aktivitas yang sangat berbahaya (abnormally dangerous activity) dan peruntukan pulau kecil sebagai konservasi sesuai undang-undang yang berlaku. Seharusnya, kedua regulasi tersebut dapat menjadi dasar perlindungan untuk pulau kecil di Raja Ampat, yakni Pulau Gag, Manuran, dan Kawe yang menjadi sasaran eksploitasi sumber daya berupa nikel.
Di samping itu, fenomena yang terjadi di Raja Ampat jelas bertolak belakang dengan semangat hilirisasi yang digaungkan pemerintah. Di mana, idealnya proses hilirisasi tidak hanya berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam semata, tetapi juga menjamin keberlanjutan ekologis dan kesejahteraan masyarakat lokal. Lebih lanjut, dari aspek tata kelola, fenomena pemberian izin kelola atau konsesi nikel di Kepulauan Raja Ampat menggambarkan tumpang tindih kebijakan (overlapping). Utamanya, melibatkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan (sebelumnya digabung menjadi satu di KLHK), serta pemerintah daerah setempat. Dari hasil penelusuran berbagai sumber, saat ini, setidaknya terdapat lima (lima) perusahaan penerima konsesi nikel di Kepulauan Raja Ampat, yaitu PT GAG Nikel, PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), dan PT Nurham. Sejumlah perusahaan tersebut beroperasi di beberapa pulau-pulau kecil Raja Ampat, seperti Gag, Manuran, Kawe, Batang Pele (Manyaifun), dan Waigeo. Namun, hasil investigasi KLHK menemukan sejumlah pelanggaran yang dilakukan beberapa korporasi tersebut. Salah satunya ditemukan bahwa PT MRP belum mengantongi persetujuan penggunaan kawasan hutan (PPKH). Selain itu, PT ASP juga ditemukan tidak memiliki skema manajemen lingkungan dan tata kelola air limbah, serta PT KSM telah melakukan pembukaan tambang ilegal di luar IUP dan di luar PPKH seluas 5 hektar di Pulau Kawe. Terakhir, PT GAG yang membuka lahan di pulau kecil yang sangat berisiko pada keberlanjutkan ekosistem di kawasan tersebut. Pada dasarnya, jika merujuk pada sejumlah regulasi terkait, seperti UU No 1/2014 dan PP No 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, maka seharusnya izin tambang di pulau-pulau kecil Raja Ampat sulit diterbitkan. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan terkait koordinasi dan sinkronisasi tata kelola perizinan melibatkan sejumlah kementerian/lembaga, termasuk KESDM, KLHK, dan pemda. Pasalnya, ketiga lembaga tersebut seharusnya terlibat dalam penerbitan izin karena saling terkait, terutama pada konteks pemenuhan studi kelayakan, Amdal, sampai audit lingkungan untuk perpanjangan. Kondisi tersebut jelas menimbulkan kecurigaan publik terkait tata kelola yang buruk dalam pemberian konsesi di Raja Ampat sehingga berimbas pada ”saling lempar” tanggung jawab antarkementerian-lembaga, termasuk birokrat pusat dan daerah. Sebagai contoh, saham PT GAG yang dikuasai sepenuhnya oleh PT Antam Tbk jelas-jelas memiliki akses yang ”dekat” terhadap pemerintah. Utamanya, jika dilihat dari komposisi salah satu komisaris PT GAG yang merupakan mantan staf Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia. Ditambah, ada pula komisaris lainnya yang merupakan sosok dekat dengan pemerintahan sebelumnya. Namun, perlu disadari bahwa secara politik, proses tersebut jelas bersifat unseen, bagaikan proses di dalam kotak hitam (black box). Oleh karena itu, menjadi tugas penegak hukum untuk melakukan investigasi mendalam terkait jaringan penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) milik sejumlah perusahaan, terutama di tengah beragam pelanggaran lingkungan yang dilakukan. Lesson-learnedSejak periode pertama kepemimpinan Presiden Joko Widodo, hilirisasi nikel telah menjadi prioritas. Hal tersebut sejalan dari temuan komposisi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) SDA yang dinilai masih sangat kecil dan tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang dihasilkan. Padahal, Indonesia adalah negara dengan produksi nikel terbesar di dunia dengan total produksi 1,72 juta ton pada tahun 2023. Namun, polemik tata kelola yang terjadi di Kepulauan Raja Ampat perlu menjadi warning bahwa ada urgensi untuk mendorong perbaikan tata kelola perizinan atau konsesi tambang. Hal ini mencerminkan masih adanya celah regulasi yang memungkinkan terbitnya izin tambang tanpa pemenuhan komponen-komponen administratif, seperti studi kelayakan dan izin lingkungan yang memadai. Di samping itu, diperlukan harmonisasi regulasi terkait dengan pemberian konsesi pertambangan. Utamanya, penegasan larangan aktivitas pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil karena sumber daya yang sangat rentan dan sulit dipulihkan pascapelaksanaan penambangan. Artinya, harmonisasi diperlukan antara PP No 23/2021 dan UU No 1/2014 yang turut dipertegas Putusan MK Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang menetapkan bahwa pertambangan di pulau kecil termasuk aktivitas yang sangat berbahaya (abnormally dangerous activity). Terakhir, diperlukan penegasan kembali tentang konsepsi otonomi daerah dalam tata kelola pertambangan. Dalam hal ini, pemerintah daerah seharusnya memiliki power yang cukup kuat untuk tidak hanya memberikan rekomendasi teknis, tetapi juga mencabut atau menolak konsesi tambang yang bertentangan dengan kepentingan ekologis, tata ruang, dan keselamatan masyarakat lokal. Pasalnya, selama ini, desentralisasi dalam sektor pertambangan sering kali bersifat semu karena kewenangan utama tetap terpusat di pemerintah pusat, yakni Kementerian ESDM. Sejatinya, polemik pertambangan nikel di Raja Ampat memberikan sejumlah lesson learned penting bagi perbaikan tata kelola sumber daya alam di Indonesia, terutama dengan memberikan ruang untuk kembali meluruskan benang kusut perizinan. Jangan sampai, kekayaan sumber daya di Raja Ampat justru menjadi kutukan sumber daya (resource curse) yang membawa kerusakan lingkungan dan konflik. (LITBANG KOMPAS) |
| Kembali ke sebelumnya |