Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Raja Ampat Jadi Momentum Evaluasi Menyeluruh Tambang Nikel
Tanggal 09 Juni 2025
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci Tambang dan Pertambangan
AKD - Komisi VII
Isi Artikel

Maraknya penolakan publik terhadap aktivitas penambangan di Raja Ampat mesti jadi momentum evaluasi bagi pemerintah. Ada banyak aspek yang mesti dibenahi.

Oleh Erika Kurnia

JAKARTA, KOMPAS — Dampak pencemaran lingkungan akibat aktivitas penambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, mendorong perlunya evaluasi tata kelola pertambangan secara menyeluruh. Pembiaran terhadap isu keberlanjutan dapat menurunkan nilai ekonomi dari industri komoditas strategis nasional tersebut.

Masalah pertambangan nikel di Raja Ampat kembali diadukan masyarakat dan dengan cepat menjadi sorotan publik. Pemerintah pusat diwakili Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup pun telah menurunkan tim evaluasi di kawasan pariwisata tersebut.

Hasil sementara yang disampaikan kedua kementerian itu berbeda. Pada hari pertama kunjungan, Kementerian ESDM mengklaim tidak menemukan masalah di wilayah tambang Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat. Salah satunya, dari hasil pantauan, tim tidak menemukan sedimentasi di area pesisir (Kompas.id, 7 Juni 2025).

Namun, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengakui adanya indikasi pencemaran lingkungan akibat aktivitas penambangan nikel di lokasi Raja Ampat. KLH melakukan peninjauan langsung ke empat lokasi utama pertambangan nikel di Raja Ampat, milik PT Gag Nikel, PT Anugerah Surya Pratama, PT Kawei Sejahtera Mining, dan PT Mulia Raymond.

Hasil pengawasan menunjukkan berbagai pelanggaran serius terhadap peraturan lingkungan hidup dan tata kelola pulau kecil. PT Gag Nikel, misalnya, beroperasi di Pulau Gag yang termasuk pulau kecil sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Sementara itu, PT Anugerah Surya Pratama melakukan kegiatan penambangan nikel di Pulau Manuran seluas 746 hektar tanpa sistem manajemen lingkungan dan tanpa pengelolaan air limbah harian. Pengawasan sedang dilakukan, mulai dari pengambilan sampel di laboratorium hingga melibatkan ahli untuk memproyeksikan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan (Kompas.id, 8 Juni 2025).

Saat dihubungi Kompas, Minggu (8/6/2025), Ketua Badan Kejuruan Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia Rizal Kasli berpendapat, pemerintah harus melakukan pengawasan yang lebih ketat dan memberi teguran jika terbukti ada penyimpangan dari aktivitas penambangan di Kabupaten Raja Ampat, terutama menyangkut pencemaran lingkungan.

 

”Bahkan, apabila (perusahaan) tidak mengindahkan teguran atau peringatan dari pemerintah, izin tersebut dapat dicabut oleh pemerintah,” kata Rizal.

Ia mengingatkan, aktivitas penambangan dengan menerapkan prinsip kaidah teknik pertambangan yang baik (good mining practices) penting dijalankan agar operasional pertambangan dapat memberikan perlindungan terhadap karyawan, masyarakat, dan lingkungan.

Selain aspek kepatuhan petambang akan tata kelola pertambangan yang baik, pemerintah juga dinilai perlu mengevaluasi pemanfaatan kawasan-kawasan yang bisa ditetapkan untuk aktivitas penambangan sesuai zonanya. Dalam hal ini, kegiatan penambangan hanya boleh dilaksanakan di luar kawasan konservasi.

”Khusus kasus tambang di Raja Ampat, pemerintah dapat melakukan evaluasi menyeluruh agar kawasan konservasi dapat dijaga dengan baik untuk pariwisata. Ada juga izin tambang di luar kawasan pariwisata yang dikeluarkan pemerintah yang harus diawasi ketat agar tidak mengganggu kawasan konservasi tersebut,” ujarnya.

Selain untuk mencegah pencemaran lingkungan terjadi lagi, langkah evaluasi menyeluruh ini dinilai penting untuk menjawab anggapan dirty nickel atau cap ”nikel kotor” yang dapat menghalangi upaya Indonesia mengembangkan hilirisasi nikel untuk kemajuan ekonomi nasional.

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, dalam keterangan tertulisnya, menilai, meskipun perusahaan tambang sudah melakukan kegiatan pemulihan lingkungan, aktivitas penambangan sudah pasti akan merusak ekosistem di destinasi wisata Raja Ampat dan sekitarnya.

Ia pun meragukan izin pertambangan yang dikeluarkan pemerintah untuk perusahaan tambang yang ada. Oleh karena itu, ia mendukung pengusutan izin tambang hingga penghentian aktivitas tambang nikel.

”Saya menduga ada kongkalikong alias konspirasi antara oknum pemerintah pusat dan pengusaha tambang sehingga diizinkan penambangan di Raja Ampat, yang merupakan strong oligarchy (oligarki yang kuat). Kejaksaan Agung perlu mengusut dugaan konspirasi tersebut. Kalau terbukti, siapa pun harus ditindak secara hukum,” ujarnya. 

Benahi berbagai aspek

Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), Akmaluddin Rachim, juga mendukung penutupan tambang karena melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. Pelanggaran itu terjadi di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran.

Menurut dia, undang-undang tersebut tidak membolehkan aktivitas pertambangan dilakukan, sehingga membuat keberadaan tambang nikel di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi persoalan. Kegiatan penambangan dipandang hanya akan merusak keindahan dan ekosistem Raja Ampat yang keragaman hayatinya telah diakui dunia.

”Jadi, semestinya sejak awal, Kawasan Raja Ampat tidak didedikasikan untuk kegiatan pengelolaan pertambangan. Oleh sebab itu, perlu sekiranya aktivitas penambangan di kawasan Raja Ampat dibekukan secara permanen,” ujarnya saat dihubungi secara terpisah.

Ia menegaskan, sebagai industri yang tengah menjadi primadona dunia, tambang nikel selayaknya tidak dibarengi dengan kerusakan lingkungan dan ekosistem akibat aktivitas penambangan yang tidak bertanggung jawab. Risiko lingkungan itu membuat beberapa negara perlahan mulai meninggalkan nikel sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik.

”Berbagai faktor tersebut saya kira menjadi variabel (penyebab) sehingga saat ini perkembangan industri nikel cenderung mengalami kelesuan,” kata Rachim.

Oleh sebab itu, banyak pihak berharap agar maraknya penolakan publik terhadap aktivitas tambang di Raja Ampat menjadi momentum evaluasi bagi pemerintah. Ada banyak aspek yang mesti dibenahi, mulai dari tata kelola izin pertambangan hingga meninjau ulang peruntukan pengelolaan pulau-pulau kecil.

”Ini demi menjaga agar keindahan alam Indonesia tidak dirusak oleh nafsu kebijakan dengan dalih peningkatan nilai tambah,” pesannya.

Infografik Deforestasi Di Kawasan Potensi Sumber Daya Nikel
 

Infografik Deforestasi Di Kawasan Potensi Sumber Daya Nikel

Kritik terhadap tambang nikel di Raja Ampat juga disuarakan Perkumpulan Usaha Wisata Selam Indonesia atau Indonesia Divetourism Company Association (IDCA). Mereka bahkan melayangkan surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto untuk menyuarakan kekhawatiran akan dampak aktivitas pernambangan nikel di kawasan Raja Ampat sebagai salah satu destinasi selam kelas dunia.

Dalam surat tersebut, mereka menuntut pencabutan izin tambang di Raja Ampat, perluasan zona perlindungan laut, penguatan ekonomi hijau berbasis masyarakat, dan pelibatan aktif komunitas lokal dalam pengelolaan kawasan. 

Kunjungan Menteri ESDM

Di sisi lain, kepada pemerintah, sebagian warga lokal menyatakan mendukung keberadaan tambang nikel di tempat tinggal mereka. Fathah Abanovo (33), salah satu nelayan yang tinggal di Pulau Gag, menyebut tidak ada kerusakaan lingkungan yang mengganggu matapencarian mereka.

”Aktivitas penangkapan ikan berjalan seperti biasa, air tetap jernih, kualitas air juga bagus,” kata Fathah seperti tertulis dalam rilis Kementerian ESDM terkait kunjungan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia di Pulau Gag, Sabtu (7/6/2025).

Menurut dia, pihak perusahaan juga membantu mereka membeli BBM dan alat pancing untuk bekerja. Hal senada juga disampaikan oleh Lukman Harun (34), nelayan lain yang merasakan bahwa kualitas dan warna air sekitar pantai tidak berubah dan menyebabkan hasil tangkapan menurun, seperti pemberitaan di media.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang meninjau lokasi tambang PT Gag Nikel, milik BUMN, bersama Gubernur Papua Barat Daya Elisa Kambu dan Bupati Raja Ampat Orideko Iriano Burdam, mengungkapkan, ia tetap menyeriusi laporan warga dan akan melakukan evaluasi lanjutan.

”Kami menghargai semuanya, pemberitaan itu kami menghargai dan bentuk penghargaan itu kami terus cek, supaya lebih obyektif dengan kondisi yang ada,” ujar Bahlil saat temu media di hotel Swiss Bell Sorong.

Sebelumnya, Menteri ESDM menghentikan sementara kegiatan operasi PT Gag Nikel, satu dari lima pemegang izin tambang nikel di Raja Ampat yang aktif. Perusahaan itu memegang Kontrak Karya Generasi VII No B53/Pres/I/1998, resmi berdiri pada 19 Januari 1998 setelah ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia.

Sejak 2008, PT Aneka Tambang (Antam) Tbk berhasil mengakuisisi seluruh saham APN Pty Ltd, sehingga kendali penuh PT Gag Nikel saat ini berada di tangan PT Antam. Perusahaan itu pun telah aktif beroperasi sejak 2018 dan mengantongi amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) serta melaksanakan beberapa kegiatan pemulihan lingkungan.

  Kembali ke sebelumnya