| Judul | Tambang Nikel di Raja Ampat dan Ancaman "Butterfly Effect" |
| Tanggal | 09 Juni 2025 |
| Surat Kabar | Kompas |
| Halaman | - |
| Kata Kunci | |
| AKD |
- Komisi VII |
| Isi Artikel | Zat kimia berbahaya bisa dengan mudah menyebar oleh dorongan arus, gelombang, dan pasang surut. Kerusakan kecil dapat memicu kerusakan dalam skala yang lebih besar. Oleh Fransiskus Pati Herin ernyataan pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bahwa kondisi pertambangan di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, ”tidak bermasalah” dianggap sebagai kesimpulan prematur. Sebab, kerusakan lingkungan tidak dilihat secara visual semata, tetapi harus melalui penelitian ilmiah. ”Setelah mengunjungi Pulau Gag, anehnya Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) menyatakan Pulau Gag tidak tercemar. Kesimpulan prematur tanpa data ilmiah,” kata Profesor Yusthinus T Male, guru besar logam berat dari Universitas Pattimura Ambon, Maluku, Senin (8/6/2025). Pulau Gag bagian dari Raja Ampat, daerah yang dijuluki surga terumbu karang dunia. Kepulauan Raja Ampat merupakan destinasi wisata dunia yang terkenal dengan keindahan bawah laut. Pulau Gag luasnya hanya 6.060 hektar. Proses eksplorasi tambang dilakukan sejak 1998 dan poduksi dimulai 2018. Menurut Yusthinus, kesimpulan matang tidak diambil hanya berdasarkan pandangan visual semata, apalagi hanya beberapa jam saja. Pekatnya sedimen di pesisir Pulau Gag menjadi indikasi awal bahwa kondisi lingkungan sudah jauh berubah setelah hadirnya tambang nikel. Untuk menghitung kadar pencemaran, materi harus diteliti. ”Ion logam terlarut sehingga hanya bisa diketahui melalui analisis kimia (di laboratorium),” kata Yusthinus yang sering melakukan penelitian mandiri terkait dengan pencemaran logam berat di Kepulauan Maluku. Jika diteliti, ia menyarankan agar pemerintah melibatkan tim peneliti yang bekerja independen dan tidak terpengaruh oleh intervensi kekuasaan atau oligarki. Dengan begitu, hasil penelitian benar-benar obyektif. Yusthinus pernah mengingatkan bahaya penambangan nikel di Pulau Gag. Sedimen yang mengandung logam berat, khususnya nikel (Ni), sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup terumbu karang. Selain itu, nikel sangat beracun bagi anemon laut. Nikel bahkan lebih beracun dari logam tembaga (Cu) karena nikel mematikan larva karang. Menurut Yusthinus, banyak lokasi tambang di daerah tropis berada di pulau-pulau kecil yang tercemar limbah tambang seperti nikel. Padahal, penduduk setempat menjadikan laut sebagai sumber utama protein. Ia mendorong perlunya penelitian tentang risiko jangka panjang dampak polutan logam berat terhadap rantai makanan dan ekosistem perairan. Temuan berbeda Seperti diberitakan sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia melakukan kunjungan singkat ke Pulau Gag pada Sabtu (7/6/2025). Dari kunjungan itu, Kementerian ESDM menyatakan tidak menemukan masalah di wilayah tambang nikel tersebut. ”Kita lihat juga dari atas tadi bahwa sedimentasi di areal pesisir juga tidak ada. Jadi overall, sebetulnya tambang itu enggak ada masalah,” kata Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementrian ESDM Tri Winarno (Kompas.id 7/6/2025). Namun, sehari kemudian, Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) menyatakan, ada indikasi pencemaran lingkungan akibat aktivitas pertambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat. Izin lingkungan perusahaan nikel pun akan dicabut jika terbukti bahwa aktivitas pertambangan itu melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Hal itu disampaikan Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BPLH Hanif Faisol Nurofiq saat konferensi pers di Jakarta, Minggu (8/6/2025). Kata Hanif, pihaknya telah menerima laporan terkait dengan dampak kegiatan pertambangan nikel di kawasan Raja Ampat sejak Mei 2025. Laporan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan peninjauan langsung di empat lokasi utama pertambangan nikel di Raja Ampat milik PT GN, PT ASP, PT KSM, dan PT MRP (Kompas, 9/6/2025). Ilham Marasabessy, dosen Fakultas Perikanan Universitas Muhamadiyah Sorong, Papua Barat Daya, berpendapat, aktivitas penambangan di pulau kecil rentan memicu kerusakan perairan. Dalam kasus Pulau Gag bisa menimbulkan kerusakan perairan Raja Ampat secara keseluruhan. Ia menyebutnya butterfly effect. Kerusakan dalam skala kecil dapat memicu kerusakan dalam skala lebih luas. Konsep ini menggambarkan bagaimana sebuah tindakan kecil atau perubahan pada suatu sistem dapat memiliki dampak yang besar dan signifikan, bahkan tidak terduga, di tempat lain atau di kemudian hari. ”Namanya laut ini saling terkoneksi. Jika terjadi pencemaran atau kerusakan di satu titik, bisa menyebar oleh arus, gelombang, dan pasang surut,” kata Ilham. Dalam hitungannya, jarak dari lokasi tambang nikel Gag ke Piaynemo yang menjadi pusat geopark Raja Ampat, sekitar 40 kilometer. ”Dalam konektivitas perairan, jarak ini amat sangat dekat. Sangat berbahaya,” katanya. Kerusakan yang timbul akibat penambangan nikel di Gag dan beberapa pulau lain di Raja Ampat harusnya segera diakhiri. Jika tidak, kerusakan lebih besar menanti di depan sana sebagai akibat dari butterfly effect. Keindahan bawah air Raja Ampat akan tinggal nama.
|
| Kembali ke sebelumnya |