Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Mengurai Masalah dalam Haji 2025
Tanggal 15 Juni 2025
Surat Kabar Kompas
Halaman 6
Kata Kunci Haji
AKD - Komisi VIII
Isi Artikel

Kompas edisi Sabtu (7/6/2025) menulis, jemaah haji Indonesia 2025 terpaksa berjalan kaki berjam-jam selepas mabit di Muzdalifah menuju Mina. Sehari berselang, Ketua Petugas Penyelenggara Ibadah Haji atau PPIH Arab Saudi Muchlis M Hanafi meminta maaf atas keterbatasan kapasitas tenda di Mina. Sebelum rukun haji dilaksanakan, jemaah vokal mengeluhkan penempatan hotel Mekkah yang memisahkan suami istri, pendamping lansia, dan seterusnya.

Sekalipun pelaksanaan haji 2025 telah selesai dari sisi rukun dan wajib haji, mengapa muncul masalah krusial yang tahun sebelumnya relatif tidak ada? Mengapa akhir pelaksanaan haji oleh Kementerian Agama tahun ini tidak berjalan soft landing?

Sebelum tahun 2025 ini, pelaksanaan operasional haji ditangani PPIH, baik Indonesia dan Arab Saudi, bermitra dengan syarikah (perusahaan) mitra asli Arab Saudi yang tunggal. Syarikah bertugas terutama dalam penyediaan logistik jemaah, baik hotel Mekkah dan Madinah serta tenda Arafah/Mina, katering, kartu akses ibadah (nusuk), maupun transportasi.

Tahun ini, syarikah berkembang jadi delapan perusahaan dengan niat menghadirkan kompetisi layanan. Dalam contoh kecil, hal ini terbukti dengan adanya penyediaan fasilitas semacam lounge di tenda Arafah. Akan tetapi, pengembangan layanan ini tidak diawali dengan kesatuan integrasi data sedari Tanah Air.

Kemenag dalam amatan penulis membuat pramanifes data per kloter merujuk kecepatan pembayaran bea haji, bukan akurasi data. Semisal, untuk Kloter 1 dari Kota Bogor telah dilakukan pelunasan pembayaran 348 jemaah dari kuota 442 jemaah. Agar memenuhi kuota yang disetorkan dalam proses visa yang nantinya diberikan kepada syarikah, maka diambil acak sisa 94 orang dari kota lain yang sudah lunas.

Sekalipun niatnya agar visa jemaah cepat rampung, hal ini menjadi bom waktu. Sebab, data satu kloter yang awalnya akan ditangani 1-2 syarikah, dengan mengambil acak tadi, akhirnya membuat satu kloter harus digarap banyak syarikah. Sekalipun data ini diatur ulang Kemenag, yang sudah disetor adalah data random tadi.

Alhasil, masalah awal muncul menguat ketika gelombang pertama haji (tiba di Madinah lanjut ke Mekkah) sampai di Mekkah dan mengalami kenyataan harus terpisah hotel dengan pasangan hingga koper tak kunjung tiba. Bahkan, ada beberapa kloter yang tersebar hingga puluhan hotel dan memunculkan gelombang protes di lapangan.

PPIH Arab Saudi dan syarikah kemudian berusaha ”mendinginkan” situasi ini—tetapi tak sampai ke jantung masalah—dengan memperbolehkan satu hotel kembali. Kerumitan terjadi karena PPIH dan syarikah akhirnya menemukan isian kamar hotel lebih dari kapasitas dan kurangnya katering atas opsi tersebut.

Puncaknya adalah saat pemberangkatan ke puncak haji Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina). Dengan basis pemberangkatan per kloter, tetapi faktanya lokasi tercerai-berai, maka penjemputan dengan bus dari Mekkah ke Arafah ada yang mencapai 24 jam! Di Arafah pun akhirnya menjadi cepat-cepatan memperoleh tenda, sesuatu yang tidak terjadi dalam pelaksanaan haji 2023 dan 2024.

Solusi mendatang

Atas peralihan pengelola haji tahun 2026 dari Kemenag ke Badan Penyelenggara Haji (BPH), ada beberapa pelajaran yang dipetik dari tahun ini. Pertama, perubahan drastis sistem syarikah adalah akar persoalannya. Maka, sebaiknya hal ini jadi konsideran utama tahun mendatang.

Dengan perubahan signifikan tanpa ada simulasi intensif, padahal jemaah Indonesia adalah kafilah haji terbesar dunia, eksesnya kita saksikan bersama. Sekira tetap berjumlah banyak, idealnya tidak langsung delapan syarikah, tetapi berkisar 2-4 syarikah sehingga alur koordinasi lebih mudah.

Pada dasarnya, transformasi sistem adalah hal normal demi efisiensi dan kompetisi layanan. Namun, BPH sepantasnya mengambil jalan moderat dengan simulasi lebih matang jauh sebelum jemaah tiba. Sekiranya pihak Arab Saudi bersikukuh, kiranya Presiden Prabowo Subianto bisa melakukan pendekatan langsung kepada otoritas Kerajaan Arab Saudi di bawah pimpinan Pangeran Mohammed bin Salman, bahwa syarikah yang terpilih adalah yang paling profesional dan responsif.

Bagaimanapun, Indonesia bukan sekadar partisipan biasa, melainkan mitra strategis penyelenggaraan haji bagi Kerajaan Arab Saudi sekaligus pelaksana amanah besar umat Islam Indonesia. Ini sesuai dengan yang tersurat dalam Al Quran Surat An-Nisa ayat 58, yaitu perintah agar umat Islam untuk memenuhi amanah dan berbuat adil dalam memberikan keputusan.

Kedua, proses revisi Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah serta Undang-Undang Pengelolaan Keuangan Haji, yang sedang berlangsung di DPR, harus dalam koridor pelayanan lebih baik. Tidak ada agenda politik di belakangnya, semata memastikan layanan bisa prima setidaknya seperti haji 2024. Saat itu, jumlah jemaah Indonesia terbesar (241.000 orang), tetapi relatif minim masalah di lapangan. 

Terakhir, BPH khususnya dan Pemerintah Indonesia umumnya harus mampu mengimbangi volatilitas kebijakan haji yang tak pernah ajek setiap tahun. Dengan visi besar Neom 2030, Pangeran Mohammed bin Salman punya target ambisius jumlah jemaah haji tahun 2030 mencapai 5 juta orang, naik 150 persen dari jumlah rerata 2 juta orang sedunia pada beberapa tahun terakhir. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan memprediksi regulasi dan terutama lobi serta diplomasi terhadap aturan tersebut.

BPH harus selalu menyadari bahwa urusan haji bukanlah sekadar logistik massal, melainkan soal ibadah utama yang langka serta keselamatan rakyat (30 persen dari 221.000 anggota jemaah adalah warga lansia risiko tinggi), juga martabat bangsa di dunia, sehingga jangan lagi jemaah menjadi korban mismanajemen.

Muhammad Sufyan AbdPengurus IPHI Jawa Barat, Petugas Haji 2024, Dosen Telkom University

  Kembali ke sebelumnya