| Judul | Mirip Sengketa Empat Pulau Aceh-Sumut, 43 Pulau Menunggu Penyelesaian |
| Tanggal | 23 Juni 2025 |
| Surat Kabar | Kompas |
| Halaman | - |
| Kata Kunci | |
| AKD |
- Komisi II |
| Isi Artikel | Pola sengketa yang terjadi mirip dengan kasus yang pernah dialami di Aceh dan Sumatera Utara. Sengketa terbanyak ada di Jawa Timur dan Kepulauan Riau. Oleh Fabio Maria Lopes Costa SUMEDANG, KOMPAS — Kementerian Dalam Negeri mengungkap terdapat 43 pulau di Indonesia yang tercatat masih dalam status sengketa yang mirip masalah antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Pulau-pulau bersengketa ini tersebar paling banyak di Jawa dan Sumatera. Hal ini disampaikan Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto dalam sela-sela kegiatan retret kepala daerah gelombang kedua yang digelar di kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Senin (23/6/2025). Bima memaparkan, sengketa pulau tersebut terbagi dalam dua jenis, yaitu sengketa di dalam wilayah provinsi dan sengketa antarprovinsi. Untuk sengketa dalam provinsi, tercatat 21 pulau dengan konsentrasi terbanyak berada di Jatim. ”Sementara untuk sengketa antarprovinsi, 22 pulau. Semuanya berada di wilayah Kepulauan Riau,” ujar Bima. Menurut Bima, pola sengketa yang terjadi mirip dengan kasus yang pernah dialami di Aceh dan Sumatera Utara. Dalam situasi ini ada satu pihak mendaftarkan titik koordinat pulau terlebih dahulu, sementara pihak lain belum mendaftarkan atau terdapat kesalahan dalam koordinat dan penamaan.
Kedua pihak biasanya menyertakan bukti-bukti historis sebagai dasar klaimnya. ”Jadi agak mirip polanya dan proses penyelesaiannya cukup panjang. Bagi yang belum tuntas, maka sengketa itu akan diserahkan ke tingkat provinsi,” ujar Bima. Ia pun menegaskan, tidak ada pulau di Indonesia yang dapat dimiliki secara penuh oleh individu atau pribadi. Hal ini sesuai dengan ketentuan undang-undang yang mengatur kepemilikan wilayah. Diketahui dalam Pasal 9 Ayat 1 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10 Tahun 2024 tentang Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil, batas lahan yang dapat dimanfaatkan pelaku usaha hanya 70 persen dan 30 persen sisanya dikuasai negara.
Bima menambahkan, seluruh pencatatan kepemilikan pulau menjadi kewenangan instansi pemerintahan, khususnya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). ”Kami akan berkoordinasi dengan Kementerian ATR/BPN serta pemerintah daerah agar tidak ada wilayah yang lepas tanpa prosedur hukum yang benar. Selain itu, pencatatan kepemilikan pulau harus rapi dan sesuai dengan peraturan yang berlaku,” katanya. Memicu konflik Seperti diberitakan Kompas.id (18 Juni 2025), Peneliti Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Mardyanto Wahyu Tryatmoko, berpendapat, tapal batas atau batas wilayah di sejumlah daerah memang belum jelas sehingga memicu konflik. ”Kemendagri sebenarnya sudah mempunyai tim penetapan batas daerah. Tim harus bekerja serius dan intensif untuk menyesuaikan beberapa batas wilayah yang belum jelas,” ujarnya. Guru Besar IPDN Djohermansyah Djohan menilai, masalah sengketa batas wilayah adalah konsekuensi dari pembentukan daerah otonomi baru pascareformasi. Dimulai pada tahun 1999, saat itu teknologi dan perangkat kementerian/lembaga masih terbatas. Batas wilayah kemudian hanya mengandalkan topografi dari data TNI Angkatan Darat. ”Batas kemudian menjadi tidak jelas, banyak yang mengklaim dari aspek historis, klaim pengelolaan yang sudah dilakukan, penduduk atau etniknya, dan sebagainya. Ketika keran otonomi daerah dibuka seluas-luasnya, terjadilah ledakan pemekaran daerah yang memicu masalah sengketa batas wilayah,” ujar Djohermansyah.
|
| Kembali ke sebelumnya |