Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Bom Waktu Itu Bernama Sengketa Batas Wilayah
Tanggal 21 Juni 2025
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi II
Isi Artikel

Setelah rebutan kepemilikan empat pulau antara Aceh dan Sumut selesai, muncul sengketa batas wilayah di daerah lain.  Jika tak ditangani serius, bisa jadi bom waktu.

Oleh Dian Dewi Purnamasari

Panasnya sengketa kepemilikan empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara baru saja reda. Namun, ternyata masalah itu hanya membuka kotak pandora kemunculan masalah serupa lainnya. Terbaru, Pulau Kawi-Kawia ternyata juga menjadi sengketa antara Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan sejak lama, lebih dari satu dekade terakhir.

Polemik kepemilikan itu pun berimbas panjang pada tata ruang wilayah. Hingga kini, penyelesaian sengketa pulau habitat berbagai burung endemik ini masih menunggu keputusan pemerintah pusat.

Serupa empat pulau yang menjadi pusat seteru Aceh dan Sumatera Utara, Kawi-Kawia atau Kakabia—satu pulau kecil di tengah lautan Teluk Bone—menjadi rebutan Kabupaten Buton Selatan di Sultra dengan Kabupaten Selayar di Sulsel. Pulau ini berjarak 342 kilometer garis lurus dari Kendari.

Fenomena rebutan pulau antardaerah ini pun membuka mata publik bahwa garis batas wilayah belum sepenuhnya clean and clear. Peneliti Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Mardyanto Wahyu Tryatmoko, saat dihubungi, Rabu (18/6/2025), menuturkan, tapal batas atau batas wilayah di sejumlah daerah memang belum jelas sehingga memicu konflik.

Dalam diskusi BRIN dan DPR, setidaknya masih ada lima provinsi yang belum tuntas masalah batas wilayahnya. ”Catatan terakhir kami saat berdiskusi dengan teman-teman DPR, ada lima provinsi yang masih bersengketa batas wilayah. Di kabupaten dan kota kalau tidak salah ada 26 (sengketa). Semua itu masih dalam proses fasilitasi yang menyisakan bom waktu jika tidak ditangani dengan benar dan serius,” ujar Mardyanto.

Mengapa ia mengibaratkan dengan fenomena bom waktu? Sebab, jika setiap daerah saling gugat seperti Aceh dan Sumut, isu akan kembali memanas di publik. Oleh sebab itu, menurut dia, pembentuk undang-undang (UU), yaitu pemerintah dan DPR, harus segera merevisi UU pembentukan daerah otonom.

UU tersebut harus dilengkapi dengan batas wilayah yang jelas dilengkapi dengan titik koordinatnya. Selama ini, tidak semua UU pembentukan daerah—baik provinsi, kabupaten, maupun kota—dilengkapi dengan batas wilayah.

”Yang sudah selesai mengenai batas wilayahnya seperti Aceh dan Sumut, itu perlu segera diundangkan atau dengan merevisi UU pembentukan daerah yang lama. Jangan sampai, misalnya, UU Pemerintah Aceh atau UU Pemerintah Sumut hanya menyebutkan jumlah kabupaten, kota saja. Tetapi, justru harus menyebutkan mengenai letak koordinatnya. Itu yang harus dilakukan segera,” katanya.

Berkaca pada konflik antara Jakarta dan Banten pada 1999-2007 atas kepemilikan 22 pulau, UU Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Negara RI pada Pasal 5 Ayat (1) hanya menyebutkan batas-batas sebelah utara dengan Laut Jawa, sebelah timur dengan Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi, sebelah selatan dengan Kota Depok, dan sebelah barat dengan Kabupaten Tangerang. Batas tidak dilengkapi dengan deskripsi yang jelas dan letak koordinatnya. Padahal, di sebelah utara Jakarta ada banyak pulau di gugusan Kepulauan Seribu.

Ketidakjelasan itu pun pernah membuat Pemerintah Provinsi Banten menginginkan 22 pulau di wilayah Kepulauan Seribu, yang kini masuk wilayah DKI Jakarta. Banten pernah meminta pembentuk UU merevisi UU Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemprov DKI Jakarta.

Ke-22 pulau itu adalah Pulau Cipir Kayangan, Pulau Bidadari, Pulau Kapal, Pulau Kelor, Pulau Ubi Besar, Pulau Laki, Pulau Untung Jawa, Pulau Rambut, Pulau Bokor, Pulau Ayer, dan Pulau Lancang Kecil. Berikutnya, Pulau Lancang Besar, Pulau Gosong Lancang, Pulau Pari, Pulau Tikus, Pulau Kongsi, Pulau Burung, Pulau Tengah, Pulau Payung Kecil, Pulau Payung Besar, Pulau Tidung Kecil, dan Pulau Tidung Besar. 

Tim penetapan batas daerah

Mardyanto mengatakan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebenarnya sudah mempunyai tim penetapan batas daerah. Tim harus bekerja serius dan intensif untuk menyesuaikan beberapa batas wilayah yang belum jelas. Sembari pekerjaan itu simultan dilakukan, DPR pun bisa merevisi atau mengundangkan UU pembentukan daerah. Hal ini terutama untuk daerah yang sudah selesai sengketanya, seperti Aceh dan Sumut.

Infografik peta sengketa pulau antara Aceh dan Sumatera Utara. Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.
 

KOMPAS/GUNAWAN

Infografik peta sengketa pulau antara Aceh dan Sumatera Utara

”Tim penetapan batas daerah bekerja secara teknis melengkapi batas wilayah dengan titik koordinatnya secara akurat. Setelah itu, DPR mengundangkan revisi UU pembentukan daerah. Karena, kalau tidak begitu, nanti semakin lama menunggu. Akhirnya jadi repot dan menjadi bom waktu masalah,” katanya.

Tim penetapan batas daerah ini bekerja bersama kementerian dan lembaga sektoral, seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Badan Informasi Geospasial (BIG), untuk segera menyelesaikan batas wilayah, baik di kabupaten, kota, maupun provinsi.

Menurut Mardyanto, bahkan batas desa pun sebenarnya juga kerap menjadi masalah di daerah yang berpotensi menjadi sumber konflik. Jika ingin menyelesaikan masalah secara menyeluruh dan komprehensif, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi pun perlu dilibatkan untuk membahas penetapan batas wilayah desa.

Hal itu kemudian perlu dimasukkan dalam one map policy atau kebijakan satu peta di BIG. Data itu harus terkoneksi dengan batas sektoral lainnya, seperti data kehutanan, kelautan, dan perairan. 

Efek pemekaran wilayah

Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan berpandangan, masalah sengketa batas wilayah adalah konsekuensi dari pembentukan daerah otonomi baru pascareformasi. Dimulai pada tahun 1999, saat itu teknologi dan perangkat kementerian/lembaga masih terbatas. Batas wilayah kemudian hanya mengandalkan topografi dari data TNI Angkatan Darat.

”Batas kemudian menjadi tidak jelas, banyak yang mengklaim dari aspek historis, klaim pengelolaan yang sudah dilakukan, penduduk atau etniknya, dan sebagainya. Ketika keran otonomi daerah dibuka seluas-luasnya, terjadilah ledakan pemekaran daerah yang memicu masalah sengketa batas wilayah,” ujar Djohermansyah.

Dari yang sebelumnya pada awal kemerdekaan hanya ada delapan provinsi se-Indonesia, pada tahun 1999-2009 terbentuk 205 daerah otonom. Kini, jumlah daerah otonom di Indonesia mencapai 546 daerah, yaitu 38 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.

Saat pemekaran wilayah itu terjadi ketidakcermatan dan ketidakakuratan batas wilayah. Bahkan, di tingkat pemerintahan level terkecil desa pun terjadi konflik batas wilayah desa. Saat itu, lembaga seperti BIG belum memiliki teknologi yang cukup canggih. Oleh sebab itu, ada daerah otonom baru yang terbentuk hanya dengan bukti sketsa tanpa peta.

”Ketidakjelasan batas wilayah inilah yang akhirnya membuat dispute (sengketa) antara daerah satu dan daerah lain. Masalah itu bertumpuk hingga sekarang dan tidak bisa diselesaikan secara musyawarah. Oleh sebab itu, diselesaikan di tingkat pusat oleh Kemendagri,” katanya.

Jika ingin mengatasi agar masalah serupa tak terjadi di masa depan, menurut Djohermansyah, di daerah otonom yang sudah terbentuk, peta batas wilayahnya harus dibuat terang benderang dengan teknologi peta digital. Pemerintah pusat perlu menyusun program pembuatan peta daerah di seluruh Indonesia. Kemudian, dilakukan revisi UU pembentukan daerah otonom yang dilengkapi peta baru berbasis digital. Selain itu, diperkuat dengan faktor sejarah dan dokumen pelengkap yang ada.

Dalam pembuatan peta batas wilayah berbasis digital itu, Kemendagri tidak hanya bisa melibatkan pihak internal kementerian/lembaga, tetapi juga pihak ekstrenal, seperti masyarakat sipil dan kampus. Bahkan, dokumen lampau, seperti peta kolonial yang ada di Leiden, Belanda, juga bisa menjadi rujukan. Tim harus bekerja bersama untuk mendapatkan dokumen atau data yang akan menjadi dasar penentuan batas wilayah agar lebih akurat. 

Kepastian hukum

Terpisah, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Golkar, Ahmad Irawan, juga sepakat bahwa ke depan memang harus ada satu peta, satu data, dan satu kebijakan terkait batas wilayah. Dengan data yang akurat, penyelesaian berbagai sengketa batas wilayah akan semakin mudah. Setelah itu, baru dibuat penguatan kerangka hukum perbatasan wilayah.

”Lebih baik punya suatu UU batas wilayah yang mengatur kriteria, hak-hak di daerah perbatasan, cara penetapan batas, mekanisme penyelesaian sengketa, dan lain-lain,” kata Irawan.

Kerangka hukum tersebut, misalnya, dibuat dalam kerangka pembentukan daerah otonom yang bersangkutan. Sebab, selama ini UU pembentukan daerah otonom masih ada yang hanya menyebutkan secara umum batas wilayah. Ada pula yang sudah spesifik dilengkapi dengan titik koordinat.

Masalah-masalah tersebut harus disisir kembali untuk dilakukan harmonisasi data. Jika sudah selesai secara teknis, baru aturan perundang-undangannya direvisi untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.

”Solusi masalah sengketa batas wilayah harus segera diselesaikan dan disepakati. Jangan sampai ditunda karena pembangunan di daerah harus berjalan,” ujarnya.

  Kembali ke sebelumnya