| Judul | Kesiapsiagaan dan Mitigasi Risiko Kecelakaan di Obyek Wisata Alam |
| Tanggal | 03 Juli 2025 |
| Surat Kabar | Kompas |
| Halaman | - |
| Kata Kunci | |
| AKD |
- Komisi V |
| Isi Artikel | Luasanya bentangan pemandangan alam menjadi berkah bagi pariwisata Indonesia. Hal ini perlu disertai mitigasi risiko keselamatan bagi para pengunjungnya. Oleh Budiawan Sidik A, Zikrina Ratri Operasional evakuasi warga negara asing di Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat, yang terjatuh di lereng curam saat pendakian menarik atensi masyarakat global. Perempuan pendaki berkebangsaan Brasil, Juliana Marins, terperosok ke jurang Cemara Nunggal saat mendaki Puncak Rinjani pada Sabtu (21/6/2025). Proses evakuasi itu memakan waktu empat hari dengan status survivor telah meninggal. Peristiwa ini menuai pro dan kontra dalam perbincangan di dunia maya. Salah satu kritik yang dilontarkan warganet internasional adalah terkait kompetensi dan standar prosedur tim penyelamatan di lokasi kejadian. Di lain sisi, gelombang dukungan datang dari warganet Indonesia yang turut mengawal upaya tim SAR gabungan dalam melakukan operasi penyelamatan. Para tim rescue harus berhadapan dengan cuaca yang tidak menentu, kabut tebal, dan medan yang sulit dilewati sehingga proses penyelamatan menjadi sangat terkendala. Operasional evakuasi tersebut memicu perdebatan mengenai standar operasi penyelamatan di kawasan dengan karakteristik khas seperti halnya gunung-gunung di Indonesia. Perdebatan bukan lagi sekadar soal benar atau salah dalam satu insiden, melainkan telah bergeser pada pertanyaan mendasar tentang kesiapan dan kapabilitas sebuah negara dalam merespons insiden di medan yang tantangan alamnya sangat kompleks. Perdebatan itu secara tidak langsung turut menyinggung citra pariwisata petualangan alam yang memang menjadi salah satu keunggulan Indonesia. Dengan geografi Indonesia berupa negara kepulauan yang kaya jajaran pegunungan dan bentangan laut yang luas, membuat negeri ini berlimpah potensi keindahan alam. Hal ini menimbulkan daya tarik yang tinggi bagi para penggiat atau wisatawan olahraga alam bebas. Kegiatan pendakian gunung, menyusuri hutan, mengarungi jeram sungai, mengunjungi daerah-daerah terpencil, hingga menyelam ke lautan menjadi paket yang menarik untuk para wisatawan penjelajah. Namun, harus disadari bahwa di balik keindahan alam itu tersimpan potensi bahaya yang mengancam keselamatan para wisatawan. Topografi yang terjal, dinamika cuaca ekstrem, bencana alam, serangan hewan, ataupun risiko alam lainnya menjadi keniscayaan yang harus diantisipasi oleh setiap pegiat alam bebas. Dalam konteks keselamatan itu, eksistensi Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) beserta seluruh elemen dalam tim SAR gabungan menjadi sangat krusial. Mereka adalah representasi negara dalam upaya penyelamatan ketika muncul kasus yang mengancam jiwa manusia saat berkegiatan di alam bebas. Meskipun dibantu oleh berbagai kalangan lintas institusi dan masyarakat, Basarnas bertanggung jawab dalam penetapan prosedur hingga koordinasi dalam operasi penyelamatan. Namun, dalam mengemban tugas penyelamatan di bentang alam Indonesia yang sangat luas dan berbentuk kepulauan bukanlah tugas yang mudah. Beragam persoalan senantiasa masih dihadapi, seperti keterbatasan anggaran, distribusi peralatan dan kualitas perlengkapan operasi yang relatif minim, hingga faktor eksternal, seperti kondisi alam yang ekstrem. Kondisi tersebut terkadang tidak dipahami oleh masyarakat luas sehingga ketika operasi penyelamatan terkendala karena beragam faktor, publik relatif dengan mudah berpendapat negatif daripada berempati secara positif. Hal itulah yang terjadi dalam kasus jatuhnya pendaki Brasil di Rinjani pada Juni lalu. Audiens media sosial Brasil dengan mudahnya menilai kinerja para tim penolong yang cenderung buruk dan lambat. Padahal, dalam proses evakuasi itu, nyatanya tak mudah untuk menembus terjalnya lereng jurang yang sangat curam. Respons penyelamatan Kehadiran Basarnas di lokasi bencana atau kecelakaan merupakan bentuk representasi dari respons cepat negara dalam melindungi dan menyelamatkan para korban. Dalam operasional di lapangan, tim Basarnas biasanya juga bersinergi dari berbagai unsur lainnya, seperti dari institusi TNI, Polri, pemerintah daerah, hingga kelompok sukarelawan masyarakat yang bergerak dalam sebuah sistem komando terpadu. Pada 2023, misalnya, frekuensi operasi pencarian dan pertolongan tergolong sangat tinggi dengan jumlah operasi penyelamatan mencapai lebih dari 2.000 operasi. Angka ini relatif konsisten setiap tahun sehingga menuntut ketangguhan dan keterampilan personel di lapangan setiap saat. Untuk meningkatkan kesiapsiagaan dalam merespons insiden darurat, Basarnas membangun infrastruktur penyelamatan melalui jaringan unit pelaksana teknis. Sebanyak 43 kantor SAR yang tersebar di sejumlah provinsi menjadi pusat komando, didukung oleh 77 pos SAR dan 75 unit siaga SAR yang ditempatkan di titik-titik rawan. Sebaran posko penyelamatan dari barat hingga timur Indonesia ini untuk meningkatkan kecepatan dalam merespons laporan. Namun, dengan luasnya cakupan geografis Indonesia, tampaknya jumlah unit penyelamat jaringan Basarnas itu tampaknya masih timpang. Selain itu, institusi SAR ini menghadapi realitas keterbatasan anggaran yang dimiliki. Pagu anggaran Basaranas dalam lima tahun terakhir menunjukkan tren yang fluktuatif dan cenderung stagnan di kisaran Rp 1,7 triliun hingga Rp 2 triliun.
KOMPAS/ANDRI Infografik Nominal itu relatif minim apabila melihat cakupan wilayah operasionalnya seantero Indonesia. Belum lagi jika dikaitkan dengan pemutakhiran alat kerja dan pemeliharaan alat-alat penyelamatan yang dituntut harus selalu siap setiap saat. Tentu saja, anggaran operasional menjadi sangat terbatas karena harus berbagi dengan alokasi peningkatan mutu sumber daya manusia dan juga peralatan pendukungnya. Kontradiksi antara masifnya beban kerja dan minimnya alokasi anggaran itu langsung berimplikasi pada aspek paling krusial, yaitu ketersediaan dan kualitas sarana operasi. Hal demikian menjadi salah satu pekerjaan rumah terbesar bagi lembaga SAR ini. Pada tahun 2023, jumlah aset vital, seperti sarana udara, misalnya helikopter, baru berjumlah 12 unit untuk melayani seluruh Nusantara. Keterbatasan fasilitas ini tentu saja akan memengaruhi efektivitas dalam operasi penyelamatan, terutama di area-area ekstrem yang sulit di akses kendaraan darat ataupun perairan. Selain itu, tantangan berikutnya adalah distribusi peralatan yang memadai di antara posko-posko SAR di seluruh Indonesia. Meskipun didukung oleh lebih dari 1.000 unit sarana SAR darat dan 1.000 unit sarana SAR perairan, nyatanya belum semuanya memiliki proporsi peralatan yang berimbang. Dengan frekuensi kasus kecelakaan dan pencarian yang beragam di setiap daerah, membuat fasilitas yang tersedia juga sangat bervariasi di tiap-tiap wilayah operasi SAR. Belum lagi terkait pemeliharaan dan modernisasi alat yang tentu saja akan sangat beragam cara mengalokasikan anggarannya. Beragam kesenjangan itu harus segera diatasi dengan menyediakan anggaran yang proporsional sesuai dengan standar operasional yang ditetapkan. Hal ini untuk mendukung keterampilan para rescuer ketika bekerja di lapangan. Jangan sampai keterampilan yang tinggi itu terkendala akibat minimnya dukungan peralatan yang memadai. Mitigasi dan sinergiPotensi kekayaan nasional berupa bentangan pemandangan alam merupakan berkah bagi pengembangan dunia pariwisata Indonesia. Namun, sering kali pertumbuhan obyek wisata ini tidak sebanding dengan kesiapsiagaan dan mitigasi keselamatan para pengunjung di lokawisata bersangkutan. Banyak destinasi wisata alam tumbuh secara alamiah tanpa didahului perencanaan matang soal tata kelola risiko. Minim infrastruktur keamanan, minim informasi medan, dan belum tersedia pos evakuasi darurat apabila terjadi kecelakaan ataupun ancaman bahaya alam lainnya bagi pengunjung merupakan potret nyata yang terjadi saat ini. Banyak obyek wisata alam yang tiba-tiba viral di media sosial dan dikunjungi wisatawan yang berlimpah. Padahal, destinasi tersebut belum memiliki infrastruktur wisata yang menunjang, termasuk dari sisi keselamatan. Oleh karena itu, perlu upaya mitigasi untuk memberikan perlindungan bagi para pengunjung wisatawan alam. Sinergi antarlembaga menjadi kunci penting untuk melakukan upata preventif ini. Institusi Kementerian Pariwisata, BMKG, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, hingga pemerintah daerah perlu menyusun protokol keselamatan berbasis karakter obyek wisata bersangkutan. Selain itu, juga melibatkan komunitas lokal termasuk pemandu, warga sekitar, serta pelaku usaha wisata untuk memberikan pelayanan dan perlindungan yang terbaik bagi para pengunjung. Dengan upaya mitigasi yang optimal, pengunjung akan memiliki pemahaman yang baik terhadap obyek wisata yang didatanginya, termasuk bahaya yang mengancam setiap waktu. Misalnya, terkait dengan topografi alam yang terjal; hewan berbahaya di sekitar kawasan itu; peringatan area yang rawan, seperti zona longsor, banjir bandang, jurang curam, jalur licin, jeram sungai berbahaya; dan peringatan lain yang membuat para pengunjung waspada terhadap keselamatannya. Selain itu, untuk memperkuat langkah mitigasi tersebut, pihak pengelola juga mempersiapkan upaya penyelamatan apabila terjadi peristiwa yang mengancam jiwa para pengunjung. Kesiapsiagaan para tim penyelamat yang andal menjadi poin penting untung memberikan perlindungan yang optimal. Langkah ini memerlukan kolaborasi antara warga setempat, tim rescuer terlatih, dan didukung peralatan yang memadai. Dengan kesiapsiagaan dan sinergi itu, harapannya obyek wisata alam dan petualangan akan menjadi berkah bagi perekonomian setempat. Pengunjung merasa aman, masyarakat setempat menerima manfaat secara langsung, dan wilayah tersebut menerima citra postifnya. (LITBANG KOMPAS) |
| Kembali ke sebelumnya |