| Judul | Rumah 18 Meter Persegi dan Paradoks Hunian Kosong |
| Tanggal | 01 Juli 2025 |
| Surat Kabar | Kompas |
| Halaman | 7 |
| Kata Kunci | Perumahan |
| AKD |
- Komisi V |
| Isi Artikel | Negara membangun rumah, tetapi kota-kota justru penuh rumah yang tidak dihuni Oleh Rusli Cahyadi Pemerintah mencanangkan target ambisius: membangun 3 juta rumah per tahun. Salah satu strategi utama untuk mengejar target ini adalah pembangunan rumah subsidi yang berukuran sangat kecil—hanya 18 meter persegi per unit. Rumah seluas satu kamar kos ini dianggap cukup untuk keluarga berpenghasilan rendah di perkotaan. Namun, kebijakan ini justru menyoroti paradoks besar dalam sistem perumahan kita: negara membangun rumah, tetapi kota-kota justru penuh rumah yang tidak dihuni. Data terbaru dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS tahun 2023 menunjukkan backlog atau kekurangan rumah di Indonesia masih berkisar 9,9 juta unit. Namun, dalam waktu yang hampir bersamaan, berbagai sumber menyebutkan bahwa lebih dari 16 juta unit rumah di Indonesia kosong, sebagian besar berada di kawasan perkotaan. Artinya, masalah utama perumahan kita hari ini bukan lagi soal kekurangan rumah secara absolut, tetapi soal kesenjangan antara rumah yang dibangun dan rumah yang dibutuhkan. Rumah dibangun, tetapi tidak dihuni Fenomena ini mencerminkan dua krisis yang terjadi secara bersamaan: backlog dan oversupply. Di satu sisi, jutaan keluarga—terutama di kota-kota besar—tidak memiliki hunian layak atau masih tinggal menumpang. Di sisi lain, jutaan rumah, baik subsidi maupun komersial, dibiarkan kosong karena tidak sesuai kebutuhan, lokasi, atau daya beli masyarakat. Rumah 18 meter persegi menjadi simbol paling nyata dari pendekatan kebijakan yang terlalu terfokus pada kuantitas. Ukuran ini bahkan lebih kecil dari sebagian garasi mobil, tetapi disebut sebagai ”solusi” untuk mengatasi backlog. Dalam praktiknya, rumah-rumah kecil ini sering dibangun di wilayah pinggiran kota, jauh dari pusat aktivitas ekonomi dan sosial. Akses transportasi terbatas, biaya hidup tinggi, dan kualitas lingkungan rendah membuat hunian seperti ini tidak diminati oleh kelompok yang justru menjadi target subsidi. Konsep built but not livable yang dikemukakan oleh John Turner pada awal 1970-an masih relevan hingga hari ini. Ia menyebut bahwa rumah tidak bisa hanya dinilai dari keberadaannya secara fisik, tetapi dari kemampuannya menjadi tempat tinggal yang layak dalam konteks kehidupan sehari-hari. Dalam banyak kasus, rumah subsidi berukuran kecil tersebut gagal memenuhi fungsi dasar itu. Logika pasar dan spekulasi Di sisi lain, rumah-rumah mewah, apartemen, dan perumahan klaster di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya juga banyak yang kosong. Alasannya berbeda: unit-unit ini tidak dibangun untuk dihuni, melainkan dibeli sebagai investasi. Pemiliknya bukan pencari tempat tinggal, melainkan investor yang berharap pada kenaikan nilai properti. David Madden dan Peter Marcuse dalam buku In Defense of Housing (2016) menyebut gejala ini sebagai bagian dari financialization of housing—ketika rumah tidak lagi diperlakukan sebagai kebutuhan sosial, tetapi sebagai komoditas finansial. Dalam konteks inilah kita melihat rumah kosong dan backlog bukan sebagai dua masalah yang terpisah, tetapi sebagai gejala dari sistem perumahan yang dikuasai logika pasar, bukan logika keadilan sosial. Siapa yang bisa tinggal? Masalahnya semakin pelik karena kelompok yang paling membutuhkan rumah, yakni masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), justru paling sulit menjangkau rumah yang dibangun oleh negara. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia dalam laporan tahun 2024 mencatat bahwa mayoritas backlog terjadi pada segmen MBR, bukan karena jumlah rumah kurang, tetapi karena rumah yang ada tidak terjangkau atau tidak relevan. Susan Fainstein, dalam The Just City (2010), menekankan bahwa keadilan dalam perencanaan kota bukan hanya soal pemerataan pembangunan, melainkan tentang siapa yang benar-benar bisa menikmati hasil pembangunan itu. Dalam konteks Indonesia hari ini, rumah memang dibangun untuk semua, tetapi hanya sebagian yang bisa tinggal. Dari kuantitas ke keadilan Kita tidak dapat terus-menerus mengejar angka pembangunan rumah tanpa memikirkan kualitas hunian, keterjangkauan lokasi, dan kesesuaian dengan kebutuhan masyarakat. Pemerintah harus mulai menggeser pendekatan perumahan dari sekadar ”berapa banyak dibangun” ke ”siapa yang bisa tinggal”. Beberapa langkah konkret dapat ditempuh: Pertama, pemutakhiran data rumah kosong dan backlog secara berkala dan spasial sangat penting untuk menentukan lokasi dan bentuk intervensi yang tepat. Kedua, pemerintah perlu memberikan insentif kepada pengembang untuk membangun hunian terjangkau di lokasi strategis, bukan hanya di kawasan pinggiran. Ketiga, perlu pajak progresif untuk rumah kosong di kota-kota besar agar praktik spekulasi bisa ditekan. Keempat, libatkan masyarakat dalam perencanaan hunian, agar pembangunan tidak tercerabut dari realitas sosial. Rumah 18 meter persegi mungkin mudah dibangun dan secara administratif dapat diklaim sebagai pencapaian. Namun, tanpa evaluasi kritis terhadap fungsi sosial, spasial, dan ekonominya, rumah semacam itu berisiko menambah panjang daftar bangunan kosong yang sudah terlalu banyak di kota-kota kita. Pembangunan 3 juta rumah per tahun hanya akan berarti jika rumah-rumah itu benar-benar dihuni oleh mereka yang membutuhkan, bukan sekadar berdiri sebagai monumen kesenjangan. Rusli Cahyadi Peneliti pada Kelompok Riset Dinamika Kota-Desa, PR Kependudukan-BRIN |
| Kembali ke sebelumnya |