| Judul | Revisi UU MK untuk Siapa |
| Tanggal | 13 Juli 2025 |
| Surat Kabar | Kompas |
| Halaman | 6 |
| Kata Kunci | Mahkamah Konstitusi |
| AKD |
- Komisi III |
| Isi Artikel | Isu bakal dilakukannya kembali revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menjadi pembahasan hangat akhir-akhir ini. Terutama setelah MK mengabulkan permohonan 135/PUU-XXII/2024 soal pemisahan pemilu nasional dan lokal. Akibat putusan tersebut, terdapat beberapa anggota DPR yang sudah mulai menggulirkan kembali rancangan Undang-Undang (UU) Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana dilansir Kompas (6/7/2025). Sejatinya, wacana untuk kembali digulirkannya revisi terhadap UU MK sudah muncul sejak akhir periode DPR 2019/2024. Kendati demikian, ide itu mendapatkan penolakan dari sejumlah ahli hukum tata negara dan masyarakat sipil. Alasannya, beberapa pasal dalam rancangan UU itu dinilai berpotensi mengganggu independensi hakim MK. Alhasil, pembahasan revisi UU MK pun dihentikan bersamaan dengan berakhirnya periode DPR 2019/2024. Namun, pada periode 2024/2029, materi revisi terhadap UU MK itu kembali dimasukkan dalam program legislasi nasional (prolegnas) terbuka 2024/2029. Artinya, pembahasan revisi UU MK bisa sewaktu-waktu digulirkan kembali. Jejak sejarah revisi UU MKSepanjang sejarahnya, sudah tiga kali pernah dilakukan revisi terhadap UU MK oleh pembentuk UU (presiden dan DPR). Dari ketiga revisi tersebut, MK pernah sekali membatalkannya, yakni pada tahun 2014. Waktu itu, peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2013 dan telah disahkan oleh DPR pada awal 2014 dinyatakan inkonstitusional oleh MK melalui putusan No 1-2/PUU-XII/2014. Artinya, pada saat itu MK membatalkan produk legislasi yang mengatur tentang dirinya sendiri. Oleh karena itu, pada saat itu sempat terjadi diskursus ketatanegaraan mengenai hal ini, terutama ketika membahas mengenai asas nemo judex in causa sua. Asas nemo judex in causa sua bermakna ”tidak ada satu orang pun yang dapat mengadili dirinya sendiri”, atau ”tidak ada seorang pun menjadi hakim yang cakap untuk perkaranya”. Terkhusus dalam konteks saat itu, diskursus yang terjadi adalah: apakah tindakan dari MK untuk mengadili UU yang mengatur dirinya sendiri sudah tepat? Upaya revisi terhadap UU MK tidak berhenti sampai di situ. Pada 2020, saat pandemi Covid-19 tengah merebak, pembentuk UU justru mengesahkan kembali revisi UU MK. Namun, hasil revisi terhadap UU MK tersebut dinilai oleh masyarakat sipil sebagai produk yang bermasalah. Mengapa demikian? Setidaknya terdapat dua hal. Secara substansi, produk ini dinilai berpotensi menyebabkan terjadinya court capture; dan secara proses, dinilai bermasalah dan terburu-buru. Pertama, secara substansi, potensi terjadinya court capture muncul karena hal yang diatur oleh UU MK tahun 2020 mengatur mengenai masa jabatan hakim MK yang sedang menjabat dan syarat untuk menjadi hakim MK. Hal ini menjadikan pembentuk undang-undang seperti memosisikan hakim MK menjadi tidak independen, dengan terus mengubah masa jabatan dan cara pemberhentian hakim MK. Dalam hal ini, pembentuk UU seolah-olah mengisyaratkan kepada para hakim MK, ”Anda jangan macam-macam dalam membuat putusan, nanti sewaktu-waktu bisa kami berhentikan melalui fitur evaluasi”. Sinyal ancaman itu sepertinya menemui kebenarannya dalam proses pergantian hakim MK Aswanto tahun 2022. Pada saat itu, Aswanto dievaluasi oleh DPR—sebagai lembaga yang menunjuk dirinya menjadi hakim MK—karena yang bersangkutan dinilai sering membatalkan produk UU yang telah dibuat oleh DPR (Kompas, 30/9/2022). Kedua, secara prosedur, UU ini merupakan UU yang prosesnya terjadi secara kilat. Proses pembahasannya dilakukan dengan cepat sehingga tidak terjadi partisipasi yang bermakna. Terlebih, pada rentang 2020 itu dunia baru saja dikagetkan dengan merebaknya Covid-19 sehingga seluruh pihak—tanpa terkecuali praktisi hukum, akademisi, dan masyarakat sipil—juga tengah disibukkan dengan transisi dan penyesuaian dengan cara kerja baru. Momen inilah yang dimanfaatkan DPR untuk segera mengegolkan revisi UU MK dengan tanpa melibatkan partisipasi publik yang bermakna. Belum menyentuh hal substantifMeskipun telah tiga kali kita mengotak-atik ketentuan UU MK, dalam kenyataannya, proses otak-atik tersebut belum menyentuh hal-hal yang benar-benar substantif, khususnya dalam rangka memperkuat proses mencapai keadilan di MK atau lebih jauh lagi untuk memperkuat sistem hukum dan ketatanegaraan di Indonesia. Sejauh ini, revisi terhadap UU MK lebih banyak berkutat pada urusan syarat untuk bisa menjadi hakim MK, prosedur pencalonan hakim MK, dan masa jabatan hakim MK. Kendati demikian, kita juga perlu adil untuk mengapresiasi para pembentuk UU yang pada 2011 melakukan revisi terhadap UU MK yang mulai menyentuh pada hal yang lebih substantif, seperti kewajiban hakim untuk menaati kode etik hakim, alat bukti di MK, batu uji dalam proses pengujian undang-undang, dan sifat dari putusan MK. Ke depan, revisi terhadap UU MK, menurut penulis, memang diperlukan, tetapi jangan sampai ini membuka kotak pandora, yakni mengotak-atik MK yang arahnya justru menghilangkan independensi hakim MK. Jangan sampai revisi ini menyebabkan hakim MK menjadi tersandera, baik secara hukum maupun moril, dalam menilai, mengadili, dan memutus perkara yang mereka tangani. Jika pun UU MK kembali direvisi, hal-hal yang harus dipikirkan hendaknya adalah hal-hal yang berkaitan langsung dengan proses pembuktian MK dalam menangani kasus sengketa hasil pemilu dan pilkada, proses dan beban pembuktian dalam proses uji materiil dan uji formil, serta kompensasi kerugian akibat berlakunya UU yang dinyatakan inkonstitusional melalui putusan MK. Terkait proses pembuktian pemilu dan pilkada di MK, jangan sampai membuka diskresi yang terlalu besar bagi MK untuk mengadili. Perlu ada panduan yang jelas mengenai hal ini agar tidak terjadi disparitas antarproses dan putusan yang diadili. Hal ini penting untuk memberi kepastian hukum yang jelas bagi para pihak yang berperkara dalam sengketa hasil pemilihan presiden, pemilihan legislatif, maupun pilkada. Terkait proses dan beban pembuktian, acapkali posisi pemohon berada pada pihak yang lebih sulit untuk membuktikan perihal validitas dari norma atau pembentukan suatu UU. Hal ini karena dalam proses pembuktian, pemohon perlu memaparkan perihal apa saja yang menjadi kerugian dalam suatu norma, mengapa proses pembentukan UU dinilai sebagai cacat prosedur, dan apakah benar-benar ada partisipasi bermakna dalam perumusannya? Seyogianya dalam hal ini perlu ada perimbangan dalam beban pembuktian. Selama ini, hal tersebut tidak pernah diatur dan secara praktik pun pembentuk UU hanya berada pada posisi untuk memberikan jawaban terhadap permohonan yang diajukan, bukan bertindak secara aktif untuk membuktikan ada tidaknya proses dan materi yang dinilai inkonstitusional. Untuk siapa?Terkait kompensasi kerugian konstitusional akibat pemberlakuan suatu norma, apabila suatu UU telah diundangkan, berarti sudah terdapat kekuatan untuk segera melakukan eksekusi terhadap apa yang diatur oleh UU tersebut. Dalam ilmu hukum administrasi dikenal asas presumptio iustae causa yang bermakna suatu produk masih akan terus berlaku sampai ada produk lain yang membatalkan. Artinya, suatu UU akan berlaku setelah diundangkan sampai ada UU lain yang mengubah materi UU tersebut atau ada putusan pengadilan yang membatalkan UU tersebut. Pertanyaannya, bagaimana jika UU yang sudah disahkan itu justru merugikan hak konstitusional suatu pihak? Selama ini tidak pernah ada aturan yang mengatur mengenai hal ini. Padahal, konsep ganti rugi sudah sering diterapkan dalam hukum acara. Dalam proses peradilan pidana, misalnya, terdapat mekanisme ganti rugi terhadap kesalahan negara ketika negara melakukan proses penangguhan hak asasi warga negaranya. Mengapa hal ini tidak diberlakukan dalam proses pengadilan di MK? Padahal, dalam beberapa kasus, apabila suatu produk sudah dinyatakan oleh MK sebagai inkonstitusional, itu juga berarti secara hukum ada kesalahan yang dilakukan oleh pembentuk UU. Lantas apa konsekuensi terhadap kesalahan dalam proses pembentukan UU yang dilakukan oleh pembentuk UU? Lebih jauh lagi, bagaimana bentuk perlindungan konstitusional terhadap pihak yang sudah dirugikan dengan keberlakuan suatu UU? Tentu kita berharap proses ketatanegaraan kita menjadi lebih stabil dan kokoh agar ada mekanisme check and balances sehingga kita bisa lebih fokus pada masalah kenegaraan lainnya, seperti masalah sosial-ekonomi, pertumbuhan ekonomi 8 persen, Generasi Emas 2045, dan berbagai target penting lain. Kembali lagi, akhirnya, gugatannya adalah: untuk siapa revisi UU MK dilakukan? Nur Fauzi Ramadhan, Peneliti dan Co-Founder Asah Kebijakan Universitas Indonesia |
| Kembali ke sebelumnya |