| Judul | Fenomena Bandung Bondowoso di Perguruan Tinggi |
| Tanggal | 17 Juli 2025 |
| Surat Kabar | Kompas |
| Halaman | - |
| Kata Kunci | Perguruan Tinggi |
| AKD |
- Komisi X |
| Isi Artikel | Beberapa hari ini dunia akademis diguncang oleh artikel Profesor Lokman Meho dari American University of Beirut yang menguak praktik-praktik manipulasi publikasi yang marak di kalangan sebagian akademisi secara global. Meho mempertanyakan bagaimana pemeringkatan universitas pada tataran global telah mendorong banyak institusi pendidikan tinggi untuk memprioritaskan indikator bibliometrik dengan mengorbankan integritas penelitian melalui alokasi anggaran dan sistem insentif. Meho mengembangkan Research Integrity Risk Index (RI²), metrik profil yang menggabungkan tingkat retraksi artikel jurnal dan ketergantungan pada jurnal yang kemudian dicoret dari daftar Scopus dan Web of Science. Metrik RI² ini kemudian menghasilkan skor dan peringkat terhadap 1.000 universitas paling produktif (dalam publikasi) pada kurun waktu 2023-2024. Ada lima peringkat: merah (berbahaya), oranye (berisiko tinggi), kuning (daftar pengawasan), hijau (variasi normal), dan putih (berisiko rendah). Sayangnya, 13 perguruan tinggi besar di Indonesia (12 PTN dan 1 PTS) masuk RI² dalam kategori merah, oranye, dan kuning (https://sites.aub.edu.lb/lmeho/ri2/). Studi Meho menyoroti bagaimana tekanan kinerja dan insentif berbasis bibliometrik membentuk perilaku institusional dengan praktik-praktik sistemik yang justru bertentangan dengan nilai-nilai keunggulan dan keluhuran akademis. Besarnya dan kecepatan pertumbuhan publikasi di antara universitas dalam studi Meho yang melebihi 400 persen dalam waktu lima tahun menimbulkan pertanyaan penting tentang sejauh mana pemeringkatan universitas global, melalui penekanannya pada indikator bibliometrik, dapat secara tidak sengaja, tapi sistemik mendorong perilaku yang justru merusak integritas akademis. Lonjakan publikasi dan perolehan sitasi publikasi yang dianalisis di antara universitas dalam studi Meho menunjukkan fenomena Bandung Bondowoso di perguruan tinggi. Tegangan dan disonansiAda tegangan dalam tujuan, sistem, dan budaya pada sebagian kalangan akademis yang sudah terperangkap dalam perlombaan tikus mengejar capaian peringkat global. Candi yang seyogianya dibangun untuk peribadatan menuju kemuliaan dan kebaikan bersama dikebut oleh Bandung Bondowoso untuk mencapai tujuan jangka pendek, memenuhi dorongan ego dan syarat menikahi Roro Jonggrang. Pada awalnya, mungkin berbagai model pemeringkatan global dibuat untuk memetakan kinerja perguruan tinggi dan mendorong upaya peningkatan mutu. Publikasi juga semestinya bertujuan untuk mendiseminasikan konsep dan temuan yang dianggap perlu diketahui oleh pihak lain demi kebaikan bersama. Seorang akademisi dipanggil untuk berproses dan membawa dampak baik bagi mahasiswa, rekan kerja, dan masyarakat. Sayangnya, fenomena kegilaan mengejar h-index dan impact-factor sudah sampai pada titik menyesatkan dan mengaburkan makna dampak. Ironisnya, impact factor hanya diukur dari jumlah publikasi dan sitasi, bukannya dampak sosial yang nyata. Situasi ini sudah menciptakan ilusi dan fatamorgana peran dan capaian-capaian lembaga pendidikan tinggi. Hukum Goodhart menyatakan bahwa ”ketika suatu ukuran menjadi target, maka ukuran tersebut tidak lagi menjadi ukuran yang baik”. Ini berarti bahwa ketika suatu metrik tertentu digunakan sebagai indikator utama keberhasilan atau kinerja, orang akan berusaha dengan segala cara memenuhi metrik tersebut, sering kali dengan cara yang merusak tujuan awal pengukuran tersebut. Pada dasarnya, metrik tersebut menjadi target, dan keandalannya sebagai ukuran yang baik menurun karena orang memanipulasinya untuk mencapai target. Perlombaan tikus world ranking (pemeringkatan universitas) sudah menciptakan sistem yang mendorong pimpinan untuk membuat kebijakan yang memacu para dosen bermegah diri dalam prestasi-prestasi semu. Selanjutnya kebijakan-kebijakan yang menjanjikan insentif dan iming-iming finansial ini sudah mengaburkan sebagian dosen untuk mengambil jalan pintas meraih skor dan indeks dengan cara-cara yang justru melanggar etika dan integritas akademik. Seperti Bandung Bondowoso yang menggunakan kekuatan jin untuk membangun seribu candi, sebagian dosen sudah terperangkap dalam fenomena titip nama tanpa berkontribusi nyata, menggunakan ghost writer, manipulasi data, berani membayar APC mahal demi menembus penerbitan di jurnal, menyalahgunakan kecerdasan buatan, dan banyak penyimpangan lain. Berita marak beberapa akademisi yang sudah terperosok dalam jalan pintas menorehkan prestasi semu sungguh memprihatinkan. Yang lebih memprihatinkan adalah kerusakan budaya di perguruan tinggi. Paus Fransiskus dalam pidatonya di Universitas Gregoriana, Roma, pada 5 November 2024 mengingatkan tentang ”spiritualitas Coca-Cola”, di mana institusi pendidikan dikelola dengan lebih mementingkan kinerja administratif, prestise, dan peringkat bergengsi daripada memberikan dampak pada masyarakat secara relevan dan kontekstual. Capaian dan keunggulan yang langgeng dan berdampak membutuhkan proses pencarian kebenaran melalui ilmu pengetahuan dengan komitmen kerja keras dan ketekunan. Perguruan tinggi tidak hanya bertujuan menghasilkan peringkat dan indeks yang membanggakan, tetapi juga membentuk pribadi-pribadi yang memiliki komitmen moral dan spiritual untuk berdampak bagi masyarakat dan peradaban melalui cara dan mekanisme yang benar. Tujuan ini membutuhkan proses dan pembudayaan yang tidak bisa dikebut dalam sekejap. Selain itu, tindakan para dosen menjadi asupan pemodelan sikap dan perilaku bagi mahasiswa. Belum terlambat bagi perguruan tinggi di Indonesia untuk merefleksikan kembali dampak apa yang seharusnya dihasilkan oleh setiap individu ataupun secara kolektif bagi masyarakat dan bangsa serta merumuskan ulang bagaimana strategi pencapaiannya. Tulisan ini tidak mengajak para dosen untuk mengabaikan tuntutan-tuntutan duniawi. Selain mengajar dan membimbing mahasiswa, seorang dosen tetap berkewajiban melakukan penelitian dan mendiseminasi hasil penelitiannya dalam forum dan media yang sesuai. Hal ini merupakan pertanggungjawaban seorang intelektual untuk melakukan tugas dengan sebaik-baiknya untuk mencari dan melangkah semakin mendekati kebenaran agar bisa berkontribusi kepada pengembangan ilmu pengetahuan atau menawarkan solusi praktis bagi permasalahan di masyarakat, bukan demi pemeringkatan semata. Anita Lie, Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya |
| Kembali ke sebelumnya |