Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Royalti dan Keheningan yang Janggal
Tanggal 03 Agustus 2025
Surat Kabar Kompas
Halaman 6
Kata Kunci Hak cipta - Musik
AKD - Komisi III
Isi Artikel

Kalau sampai ada pemboikotan musik Indonesia, senimannya yang rugi. Polemik royalti sudah saatnya menelurkan solusi.

Oleh Herlambang Jaluardi, Prayogi Dwi Sulistyo, Sekar Gandhawangi

Polemik royalti musik beberapa bulan terakhir rasanya mulai mengusik. Sejak bos Mie Gacoan di Bali dipidana karena menunggak pembayaran royalti bertahun-tahun, sejumlah tempat nongkrong enggan memutar lagu. Ada kebingungan yang menggantung mengiringi kedai-kedai yang hening dari lagu.

Jumat (1/8/2025) malam, di tempat nongkrong Q Food & Music di daerah Grogol, Jakarta Barat, terasa janggal. Meja dan kursi tak sepenuh biasanya. Menjelang akhir pekan seperti malam itu, biasanya muda-mudi menongkrong; bercengkrama mengudap makan dan minum sambil menikmati pertunjukan musik.

Namun, tidak malam itu. Seperangkat instrumen band dibiarkan teronggok di panggung, seperti pajangan saja. Entah kapan alat itu dimainkan lagi. Pengelola tempat itu memilih menyajikan musik besutan disjoki, yang diaransemen ulang dari lagu-lagu luar negeri. Sepertinya pelanggan tak terlalu suka dengan perubahan itu. Beberapa pengunjung segera pergi setelah makanan habis. Ini di luar kebiasaan.

”Bingung, mau sampai kapan (persoalan royalti) seperti ini? Rasanya makin sepi saja ini,” kata Edo (33), penanggung jawab tempat itu. Dia sudah 11 tahun kerja di situ. Akhir pekan yang senyap seperti ini baru dirasakannya belakangan setelah tak lagi memanggungkan pertunjukan musik live. Mungkin sepinya seperti masa pandemi Covid-19 lalu.

Edo bilang, tempat makan itu tak hanya memuaskan perut saja, tetapi juga indera pendengaran. Pengalaman mencecap makanan dilengkapi asupan dengaran. Kebutuhan raga dan jiwa terpenuhi sekaligus. Makanya, alunan musik live bikin betah pengunjung sehingga orderan berlipat.

Edo mempertanyakan akar masalah ini. Dia sulit memahami polemik yang terjadi, sampai berdampak pada tempat kerjanya. Untuk sementara ini, disjokinya tidak ia perkenankan meracik lagu-lagu Indonesia. Namun, dia juga tidak yakin apakah ”aman” memutarkan lagu luar negeri. ”Apa enggak boleh juga?” tanyanya balik.

Keheningan serupa juga terasa di gerai Mie Gacoan di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Tak ada musik yang mengiringi pelanggan yang menyeruput mi pedas itu. Ruangan besar itu hanya diisi dengungan pengunjung saling mengobrol, atau sahut-sahutan antarpegawai melayani pelanggan.

Tiara, salah satu pekerja di sana, cukup sibuk memenuhi pesanan pengunjung tempat makan murah-meriah itu. Kesibukan antarpekerja mendominasi suara yang terdengar pada malam itu. Biasanya, kehebohan mereka tersamarkan oleh lagu-lagu terkini.

”Di sini memang tidak boleh (pakai musik). Takutnya entar kena (hukum) kayak yang di Bali. Hak cipta. Di sini ramai suara anak-anaknya doang,” kata Tiara. Dia enggan menghubungkan Kompas dengan manajemen gerai tempatnya bekerja. Tak apa, dia sepertinya waswas juga dengan imbas kasus di Bali itu karena mengusung merek dagang yang sama. 

Tak sesederhana itu

Merek Mie Gacoan sedang jadi sorotan publik setelah Polda Bali menetapkan direktur PT Mitra Bali Sukses (Mie Gacoan) sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelanggaran tindak pidana hak cipta. Perusahaan itu disebut tidak mengurus izin penggunaan lagu dan/atau musik yang diputar di gerainya.

Aturan penggunaan musik atau lagu di tempat komersial seperti restoran dan hotel diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Tata cara itu dipertajam dalam Peraturan Pemerintah No 56/2021 tentang Pengelolaan Lagu dan/atau Musik. Royalti atas penggunaan lagu seharusnya dibayarkan kepada lembaga manajemen kolektif (LMK). Lembaga ini pula yang mendistribusikan hasil pungutannya kepada pihak terkait yang berhak atas lagu; entah itu pencipta, penulis, penyanyi, atau keluarga mereka.

Sentra Lisensi Musik Indonesia (Selmi) adalah satu dari 15 lembaga pemungut royalti di Indonesia. Pihak Selmi yang melaporkan tunggakan royalti perusahaan Mie Gacoan kepada Polda Bali. Perusahaan itu diduga menunggak sejak 2022 hingga 2025 dengan nilai sekitar Rp 7 miliar dari sekitar 60 gerai yang ada di luar Jawa. Nilai kerugian dari gerai di Pulau Jawa belum dihitung.

Angka tunggakan itu fantastis. Ini pemicu keresahan pekerja tempat makan seperti Edo dan Tiara. Publik juga dibikin bingung. Spekulasi dan pemahaman yang tidak selalu tepat malah membuat isu ini juga bergulir liar di jagat maya.

”Mau putar lagu luar negeri, mau lagu (dalam negeri) itu sama (membayar royalti), karena itu ketentuan internasional. Kita ini (Indonesia) tergabung dalam World Intellectual Property Organization,” ucap Menteri Hukum Supratman Andi Agtas pada Selasa (29/7/2025) di Jakarta.

Sebelumnya, Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional Dharma Oratmangun meyakinkan, pembayaran royalti tidak akan membuat usaha bangkrut. Jalur hukum ditempuh untuk memberi efek jera. ”Kalau tidak mau bayar lagu, tidak usah pakai lagu. Simple saja,” ucapnya, Senin (21/7/2025).

Nyatanya, urusan dengaran yang semestinya pelipur lara ini tidak sesederhana yang dikatakan Dharma. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengakui kerumitan yang membingungkan itu. Menurut dia, ada ketidakpercayaan pada akuntabilitas lembaga manajemen kolektif.

”Kepastian mengenai transparansi menjadi isu utama yang diharapkan mampu mencatat seluruh penggunaan lagu secara akurat. Di lain sisi, tidak semua lagu, seperti lagu tradisional yang sering diputar di hotel, terdaftar di LMKN. Ini menimbulkan pertanyaan mengenai mekanisme pembayaran royaltinya,” kata Yusran, awal pekan lalu.

Soal penetapan tarif royalti juga disebut Maulana membingungkan. Kesepahaman antara PHRI dan LMK selama ini menghitung nilai royalti berdasarkan tingkat okupansi. ”Namun, perhitungan ini tak selalu mencerminkan kondisi sebenarnya. Sebab, belum tentu semua kamar atau kursi terisi penuh setiap saat,” lanjutnya. 

Promotor repot

Itu baru kutipan royalti di ranah hotel, restoran, dan tempat usaha sejenisnya. Urusan royalti juga membelit penyelenggara konser atau festival musik. Adi Adrian, Ketua Wahana Musik Indonesia (Wami)—salah satu LMK—bilang masih banyak promotor atau pengelola acara yang enggan menunaikan kewajiban membayar royalti performing rights.

Dino Hamid menanggapi hal itu. Para penyelenggara acara, kata dia, kurang terpapar perihal kewajiban membayar royalti. ”Hal performing rights itu masih membingungkan bagi kami para promotor karena kurang sosialisasi,” kata ketua Asosiasi Promotor Indonesia (Apmi) ini dalam diskusi gelar wicara Perlindungan Hak Cipta Lagu, Musik, dan Hak Terkait yang diselenggarakan oleh Harian Kompas, Perfilman, dan Iluni Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Kompas Institute, Senin (28/7/2025).

Selain itu, banyak promotor yang sudah kerepotan mengurus izin acara di sejumlah tempat. ”Kadang, kami harus mengurus izin ke 21 instansi berbeda untuk menyelenggarakan sebuah acara. Kalau ditambah lagi dengan (mengurus) izin lagu, bisa-bisa mati acaranya,” lanjut Dino.

Akan tetapi, ada juga promotor yang tertib mengurusi tetek-bengek perizinan itu, termasuk urusan royalti. Promotor Boss Creator yang menghelat festival musik besar tahunan Pestapora adalah salah satunya. ”Sejak Pestapora pertama tahun 2022, gue selalu bayar royalti performing rights,” kata Kiki Aulia, atau Ucup, salah satu pendiri Boss Creator.

Festival musik helatan dia berskala besar. Tahun lalu saja festival ini memanggungkan 287 penampil. Kalau tiap-tiap penampil memainkan 10 lagu, tak kurang ada 2.800-an lagu yang berdengung selama tiga hari di arena Gambir Expo, Kemayoran, Jakarta, itu.

Namun, penghitungan nilai royalti tidak berdasarkan jumlah lagu. Sesuai aturannya, nilai itu sebesar 2 persen dari angka penjualan karcis. Tahun lalu, pengunjungnya mencapai 100.000 orang. Harga karcis masuk per orang terentang dari Rp 225.000 sampai Rp 725.000.

Ucup enggan menyebut nilai royalti yang dia bayar. Akan tetapi, umumnya ratusan juta rupiah. Nilai itu dia setorkan ke LMK Wami sesegera mungkin—biasanya setelah hitungan pendapatan karcis terdata yang kurang dari sebulan pasca-acara.

”Kalau udah gue setorin (ke Wami), gue tinggal tutup mata. Dari daftar lagu nanti biar Wami yang mencari siapa pemegang haknya dan berapa nilainya. Bagaimana pendistribusiannya biar jadi urusan Wami aja. Yang penting gue bayar performing rights sesuai undang-undang,” kata Ucup.

Meski dia sudah berusaha mengikuti aturan, ada saja hal yang dia rasa masih membingungkan. Dia mengaku sering ditagih langsung oleh pencipta lagu yang ditampilkan di acaranya meski sudah bayar ke Wami. Istilahnya direct licensing. ”Harusnya ada sistem pembayaran yang disepakati bareng biar enggak terjadi penagihan ganda,” usulnya. 

Riuh di media sosial

Kegamangan polemik royalti merambat ke ranah masyarakat awam di media sosial. Mereka berdebat siapa yang semestinya bayar royalti; pengusaha, promotor, penyanyi, atau justru konsumen. Kebingungan ini mencerminkan kecemasan sosial, seperti jangan-jangan harga karcis konser makin mahal demi menutupi kewajiban bayar royalti lagu.

Ini terungkap dalam survei opini publik mengenai royalti yang dilakukan lembaga survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai KOPI) pada 27 Maret hingga 4 April 2025. Tanggapan dari 1.065 responden berbeda-beda perihal pihak mana yang bertanggung jawab memikul nilai royalti.

Ada juga yang khawatir harga jajanan naik demi menutup kutipan duit royalti. Puncak kegagapan adalah kampanye sembrono memboikot lagu Indonesia. Dan yang lebih keblinger lagi adalah ajakan untuk tidak memutar musik sama sekali. Duh!

”Ini bisa membahayakan budaya musik Indonesia. Salah satu budaya penting di Indonesia adalah kolaborasi antara pencipta lagu dan penampil (performer),” kata Anindyo Baskoro atau Nino, personel grup musik RAN.

”Kalau sampai ada boikot itu, kita semua (seniman musik) yang rugi, kan,” kata penyanyi Samuel Simorangkir, awal pekan lalu. Ah, jangan sampai ini terjadi. Hidup orang kota bisa makin sepi jika musik berhenti. Dan epidemi kesepian bisa-bisa menyergap kita semua dalam kehampaan yang janggal.

Catatan: Artikel ini turut berkolaborasi dengan peserta program magang Harian Kompas, Giofanny Sasmita, mahasiswa jurusan Jurnalistik, Universitas Multimedia Nusantara, Serpong, Banten.

  Kembali ke sebelumnya