| Judul | Royalti untuk Apa? Untuk Menuju Kesadaran Kolektif |
| Tanggal | 14 Juni 2025 |
| Surat Kabar | Kompas |
| Halaman | - |
| Kata Kunci | Hak cipta - Musik |
| AKD |
- Komisi III |
| Isi Artikel | Semoga ini bukan sekadar riuh sesaat. Untuk apa? Untuk jadi awal dari kesadaran kolektif yang lebih matang tentang ekosistem musik yang sehat. Oleh Dzulfikri Putra Malawi Mendengarkan lagu Hindia dengan judul ”Untuk Apa/Untuk Apa?” memantik ide tulisan ini. Karut-marut royalti musik bukan sekadar kekacauan administratif. Hal ini menjadi jejak perjalanan sebuah industri yang sedang bertumbuh, mencari bentuk, dan menegosiasikan ulang makna keadilan di antara para pelakunya. Kita menyaksikan pencipta lagu yang menggugat, penyanyi yang terseret, lembaga yang dituding, dan publik yang bertanya-tanya: siapa sebenarnya yang bertanggung jawab? Namun, justru dari fenomena inilah kepedulian (seharusnya) mulai tumbuh. Tak hanya dari pencipta lagu yang merasa haknya tak terpenuhi, tapi juga dari promotor, manajer, media, hingga para pendengar yang kian memahami bahwa mendengarkan musik bukan hanya soal selera, melainkan juga regulasi, etika, dan keadilan. Royalti bukan sekadar angka. Tapi, bentuk ”pengakuan” atas kerja kreatif. Semakin kuat kebutuhan untuk menjadikan tata kelola royalti lebih transparan dan akuntabel, semakin tinggi pula tingkat kesadaran kolektif kita: bahwa musik tidak hadir begitu saja seperti buah jatuh dari pohon. Ia lahir dari proses panjang, dari rasa yang diolah, pengalaman yang diramu, dan relasi yang dibangun oleh para pencipta dengan lingkungan serta orang-orang terdekat dan dipercaya. Barangkali inilah fase paling menyebalkan sekaligus penting dalam pertumbuhan industri musik Indonesia: fase ketika konflik menjadi cermin, dan cermin menjadi pemantik perubahan. Kita memang belum sampai pada sistem yang ideal, barangkali masih jauh. Tapi, setidaknya, kita mulai berbagi kegelisahan yang sama. Walaupun dengan tafsiran yang berbeda-beda. Baru-baru ini, musisi senior, seperti Rhoma Irama dan Charly Van Houten, ramai diperbincangkan karena sikap mereka yang membebaskan lagunya digunakan oleh publik tanpa meminta royalti. Padahal, bisa jadi ini bentuk satir mereka terhadap situasi yang terjadi. Ini menjadi menarik ketika disandingkan dengan sikap musisi lain yang lebih protektif dan agresif melarang serta menuntut penyanyi terhadap hak cipta. Bahkan, menggunakan narasi populis, ”pencipta miskin dan penyanyi kaya”. Perbedaan ini menunjukkan adanya dua kutub pendekatan terhadap hak cipta: perlindungan eksklusif (proteksionisme) versus akses terbuka (open culture). Untuk memahami fenomena ini lebih dalam, beberapa teori hak cipta dan budaya digital dapat dijadikan rujukan: Pertama, Teori Utilitarianisme dalam Hak Cipta. Hak cipta dianggap sebagai insentif bagi pencipta demi mendorong kemajuan masyarakat. Mereka yang menuntut royalti memandang kompensasi finansial sebagai bagian wajar dari ekosistem penciptaan. Sebaliknya, pencipta yang membebaskan karyanya menilai bahwa nilai sosial dari penyebaran karya lebih penting ketimbang keuntungan finansial pribadi. Kedua, Commons-Based Peer Production (Yochai Benkler). Benkler menjelaskan bahwa penciptaan di era digital bisa terjadi tanpa motif komersial, melainkan kolaborasi dan kontribusi sukarela. Dalam konteks ini, karya dilihat sebagai bagian dari commons budaya bersama. Membebaskan lagu bisa dimaknai sebagai perlawanan terhadap sistem royalti yang dirasa tidak adil atau terlalu birokratis. Ketiga, Copyleft dan Creative Commons. Gerakan ini menawarkan model hukum dan etik alternatif yang memungkinkan penggunaan ulang karya dengan lisensi terbuka. Pencipta yang merasa sistem royalti tidak transparan bisa memilih Creative Commons sebagai wujud misi personal mereka. Keempat, Hak Moral versus Hak Ekonomi. Hak moral menekankan pada pengakuan pencipta, sementara hak ekonomi berfokus pada keuntungan finansial. Beberapa pencipta mungkin hanya ingin disebut namanya, tanpa menuntut imbalan ekonomi. Yang lain menginginkan keduanya: pengakuan dan kompensasi. Kelima, Teori Resistensi Budaya. Membebaskan lagu dapat dibaca sebagai kritik terhadap sistem industri yang dianggap korup atau tidak berpihak kepada pencipta. Pilihan ini bukan bentuk ketidakpedulian terhadap hak cipta, melainkan strategi perlawanan terhadap tatanan dominan. Keenam, Teori Agensi Individu. Setiap pencipta memiliki kebebasan untuk memaknai dan mengelola karyanya sendiri. Ketika sistem tidak bisa mengakomodasi keragaman nilai dan motivasi pencipta, maka pilihan individu menjadi penting dan sah secara sosial ataupun filosofis. Dalam satu konflik royalti, perbedaan sikap di antara para pencipta, antara yang menuntut hak dan yang membebaskan karyanya, mencerminkan keragaman orientasi dalam memahami fungsi karya seni; sebagai komoditas ekonomi, sebagai ekspresi budaya, atau sebagai warisan publik. Sikap membebaskan bukan berarti menolak hak cipta, tapi bisa jadi bentuk lain dari klaim kuasa atas karya-karya para pencipta dengan memilih untuk tidak tunduk pada sistem yang dianggap tidak adil. Atau memang sedang melontarkan satir kepada pemerintah yang meregulasi hingga stakeholder musik dengan tafsiran mereka. Semoga ini bukan sekadar riuh sesaat. Untuk apa? Untuk jadi awal dari kesadaran kolektif yang lebih matang tentang ekosistem musik yang sehat bukan dibangun oleh satu pihak saja, melainkan oleh kita semua; pencipta, penyanyi, lembaga, regulator, media, dan para pendengar yang terus memilih untuk peduli. Dzulfikri Putra Malawi, Pengamat Musik; Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Kreatif; Direktur Komunikasi Federasi Serikat Musisi Indonesia (Fesmi) |
| Kembali ke sebelumnya |