| Judul | Dengung Musik yang Bikin Bingung |
| Tanggal | 03 Agustus 2025 |
| Surat Kabar | Kompas |
| Halaman | 1 |
| Kata Kunci | Hak cipta - Musik |
| AKD |
- Komisi III |
| Isi Artikel | Konflik soal perizinan dan pembayaran royalti musik memantik kebingungan di kalangan musisi. Mereka khawatir salah langkah, lalu terseret ke meja hijau. Oleh Sekar Gandhawangi, Herlambang Jaluardi, Wisnu Dewabrata, Prayogi Dwi Sulistyo Jika selama ini musik menghidupkan suasana dan menggugah emosi, kini yang terjadi malah sebaliknya. Sengkarut soal perizinan dan pembayaran royalti membuat musik diwaspadai, tak terkecuali oleh para musisi. Ketidakpastian hukum membuat mereka bertanya-tanya, ”Jadi, apa yang boleh dan yang tidak boleh?” Sudah dua jam lebih acara Gelar Wicara Perlindungan Hak Cipta Lagu, Musik, dan Hak Terkait: Menata Performing Rights Dalam Dinamika Perkembangan Industri Lagu dan Musik berlangsung di Kompas Institute, Jakarta, Senin (28/7/2025). Para pemateri dan pemantik diskusi sudah menyampaikan unek-uneknya dengan macam-macam nada; ada yang kalem, ada yang penuh semangat, ada yang kalem tapi menyentil. Namun, titik terang yang menjadi inti permasalahan belum terlihat juga. Diskusi ini membahas bagaimana mestinya UU Hak Cipta dan peraturan turunannya dimaknai dari perspektif hukum. Belakangan, panasnya isu hak cipta dan pembayaran royalti membuat pelaku industri musik bingung. Pencipta lagu merasa tak mendapat hak ekonomi atas lagu ciptaannya yang dibawakan penyanyi. Di sisi lain, para penyanyi merasa bukan tanggung jawab mereka membayar royalti karena sudah dibayarkan penyelenggara acara melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Supaya semua jelas, sekalian saja para pemangku kepentingan dikumpulkan dalam sebuah diskusi. Akan tetapi, agaknya penyanyi Sammy Simorangkir tak kunjung melihat titik terang. Dia keluar ruangan, mencari balkon untuk menghirup udara luar. Tak berapa lama, penyanyi Bunga Citra Lestari menyusul. Sammy dan Bunga mewakili komunitas musisi Vibrasi Suara Indonesia (Visi) di diskusi ini. Raut kesal dan lelah tergambar pada muka Bunga. Mendapati temannya ada di luar, kekesalannya dia tumpahkan kepada Sammy. ”Jadi gimana, nih? Kita boleh enggak nyanyiin lagu orang? Dikira kita enggak mikir apa sebelum nyanyi?” keluh Bunga yang saking buru-burunya duduk, kepalanya terantuk pilar kayu. Pelan, tapi tambah bikin kesal. ”Gue mau ngomong lebih panjang sebenarnya tadi, tapi waktunya keburu habis. Terlalu banyak narasumber jadinya keluhan kita enggak semuanya bisa keluar,” timpal Sammy yang juga mantan vokalis band Kerispatih. Di hadapan forum yang sebagian besar praktisi hukum alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu, Sammy memaparkan, penyanyi berperan penting untuk memopulerkan lagu para pencipta. Ini karena tiap penyanyi punya ciri khas, karakter, dan teknik bernyanyi yang berbeda-beda. Musisi Satrio Yudi Wahono atau Piyu ”Padi” menyanggah. Menurut dia, gitaris dan kibordis juga punya ciri khas soal bermusik, tak hanya penyanyi. Piyu mengatakan, tidak semua pencipta lagu bisa hidup sejahtera dari karyanya. Sebagai Ketua Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), ia sering dapat laporan, ada pencipta lagu yang mau berobat saja sulit karena dompet tipis. Padahal, lagu ciptaan mereka masih kerap dinyanyikan. Pada sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (10/7/2025), Piyu menyebut, ia hanya menerima royalti Rp 200.000-Rp 300.000 pada 2024. Hal serupa kerap dirasakan pencipta-pencipta lagu lain. Piyu pun berargumen, perizinan langsung (direct licensing) diperlukan agar pencipta lagu bisa mengakses hak ekonominya secara cepat. Namun, skema ini masih didebat. Pembayaran royalti selama ini dilakukan secara kolektif melalui LMKN dan LMK dan diatur di UU Hak Cipta. Kebingungan Isu perizinan dan pembayaran royalti yang kian meruncing membuat pelaku industri hiburan bingung untuk bersikap. Mereka khawatir bila sewaktu-waktu salah langkah, lalu diproses hukum. ”Aku resahnya, lebih ke gue takut salah. Ini sudah belum? Itu sudah belum? Yang sudah lewat aja kita harus ingat-ingat lagi (supaya tidak salah langkah),” ucap penyanyi sekaligus penulis lagu Raisa Andriana di sela Konser Kubikel Kompas di Menara Kompas, Jakarta, Senin (30/6/2025). Vokalis band Kotak, Tantri Syalindri Ichlasari, juga tak luput dari keresahan. Ia dan rekan-rekannya bingung mesti izin atau tidak, serta mesti membayar royalti ke mana. ”Jadi banyak ’beban’. Lebih ke waspada ketika penyanyi harus menyanyikan sebuah lagu. Ini takut salah, ini takut apa, segala macam,” ujarnya. Penyanyi Teddy Adhitya juga menjadi takut membawakan lagu ciptaan orang lain, apalagi belum ada kejelasan soal pembayaran royalti. ”Kalau gue bawa lagu ini, gue harus bayar ke siapa? Apakah gue yang harus bayar atau penyelenggara acara?” Menurut peraturan yang berlaku, royalti mestinya dibayarkan oleh penyelenggara acara, bukan penyanyi. Hal ini ditegaskan Komisi III DPR pada Juni 2025. Royalti juga mesti dibayar oleh pemilik usaha, seperti pusat perbelanjaan, restoran, dan kafe, yang memutar lagu untuk kegiatan komersial. Akibat huru-hara ini, pekerjaan para musisi pun ikut kena batunya. Penyanyi sekaligus pencipta lagu Donne Maula mengatakan, dalam 6-8 bulan belakangan, kerja samanya dengan penyanyi dan label musik terpaksa terhenti. Penyanyi yang tadinya akan dituliskan lirik lagunya oleh Donne pun diminta untuk menyusun liriknya sendiri. Menurut Donne, isu ini tak semestinya terjadi bila LMK dan LMKN serius membenahi sistem dan mengedepankan transparansi. Tanpa itu semua, ekosistem musik akan berantakan. Hal ini sudah tampak dari polarisasi antara penyanyi dan pencipta lagu karena isu royalti. ”Menurut aku, penyanyi tuh bukan musuh kita. Aku penyanyi dan pencipta lagu, jadi ada di dua kaki. Penyanyi itu teman seperjalanan, orang yang bikin lagu-lagu kita masih hangat sampai sekarang,” jelas Donne. Sementara itu, Titi Dwi Jayati alias Titi DJ prihatin dengan perpecahan di antara para musisi. Sebagai penyanyi sekaligus penulis lagu, ia sempat terenyak dengan kegaduhan soal royalti yang berujung pada tudingan negatif. ”Kita dibilang maling lho, kita dibilang pencuri, serakah, sombong, dan sebagainya Jadi kayak pertarungan perasaan antara si kaya dan si miskin,” katanya. Belajar peduli Di sisi lain, Titi melihat isu ini sebagai penyentak kesadaran bahwa seniman mesti melek hukum dan hal administratif. Selama ini, hal tersebut diserahkan kepada tim legal atau pengacara. Namun, kini baik penyanyi dan pencipta lagu tidak bisa lagi berjarak pada hal itu. ”Dulu kan, kita berpandangan, udah lah, kita (di urusan) kreatif saja, menciptakan lagu, menghibur. Tiba-tiba sekarang kita seniman mesti dihadapkan pada hal-hal kayak gini, jadi memang kita harus tahu juga,” katanya. Setidaknya ini yang dilakukan Yuni Shara. Yuni menyebut bahwa setiap kali tampil dan membawakan lagu orang lain, dirinya selalu taat aturan, terutama soal royalti. Klausul soal pembayaran royalti selalu dicantumkan dalam setiap kontrak kerja dan biasanya yang membayar dari adalah promotor acara. Ketaatan macam itu juga dilakukan Ruth Sahanaya. Ketentuan tentang royalti lagu dan besaran yang harus dibayarkan sudah biasa mereka cantumkan di setiap kontrak kerja. ”Selama ini kami sudah biasa menaati aturan tentang itu. Terkait kewajiban pembayaran royalti ke pencipta lagu pasti selalu ada di dalam kontrak perjanjian sebelum tampil. Hal seperti itu sudah bukan hal baru, ya,” ujar Ruth. Kebingungan yang terjadi, bila dibiarkan, akan bergulir jadi bom waktu yang bisa merusak tatanan ekosistem musik. Ketidakpastian hukum juga berpotensi membuat siapa saja terseret ke meja hijau. Rasanya sah-sah saja bila publik, termasuk musisi, jadi khawatir menyanyikan atau menyetel lagu di tempat umum. Namun, hal ini bisa berdampak buruk bagi keberlanjutan ekosistem musik. Musik menjadi penyumbang subsektor ekonomi yang cukup signifikan. Pada 2021, musik menyumbang Rp 6,8 triliun terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional dan menyerap 70.000 tenaga kerja. Namun, di sisi lain, pengumpulan royalti musik di Indonesia belum optimal. Menurut laporan Wahana Musik Indonesia (Wami) pada 2023, royalti penggunaan musik nondigital dari pusat perbelanjaan, hotel, restoran, dan seterusnya adalah Rp 18 miliar. Angka ini lebih kecil dibandingkan Jepang (sekitar Rp 6,5 triliun) dan Vietnam (sekitar Rp 55 miliar) di periode yang sama. Benang kusut royalti musik mesti segera diurai. Jangan sampai keributan ini justru menghilangkan musik sebagai salah satu mata rantai kebudayaan, serta merusak relasi pencipta dengan penyanyi. Kami umat manusia yang butuh musik kalian... (SF/**) Catatan: Artikel ini berkolaborasi dengan peserta magang harian Kompas, Giofanny Sasmita, mahasiswa jurusan Jurnalistik, Universitas Multimedia Nusantara, Serpong, Banten. |
| Kembali ke sebelumnya |