| Judul | Kewajiban Royalti untuk Pemutaran Lagu di Usaha Komersial Dinilai Sudah Tepat |
| Tanggal | 31 Juli 2025 |
| Surat Kabar | Kompas |
| Halaman | - |
| Kata Kunci | Hak cipta - Musik |
| AKD |
- Komisi III |
| Isi Artikel | Imbauan kewajiban membayar royalti di tempat usaha komersial bisa jadi momentum membangun kesadaran hukum terkait hak cipta dan HAKI. Oleh Dian Dewi Purnamasari JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemerintah terkait kewajiban pembayaran royalti untuk lagu yang diputar di tempat komersial dinilai sudah tepat. Pelaku usaha diharapkan sadar akan hak cipta yang merupakan bagian dari hak kekayaan intelektual. Peneliti Pusat Kajian Hak Kekayaan Intelektual, Persaingan Usaha, dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Dina Widyaputri Kariodimedjo, menyampaikan hal itu saat dihubungi, Kamis (31/7/2025). Ia menanggapi kebijakan pemerintah terkait kewajiban pelaku usaha membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait saat memutar musik lokal maupun internasional di ruang komersial. ”Menurut saya, pemerintah dengan semua pihak sudah berada di jalur yang benar, dan harus terus mengupayakan keseimbangan antara hak kekayaan intelektual sebagai hak privat dan hak masyarakat dalam wujud hak akses kepada kreasi kekayaan intelektual dan keterjangkauannya,” ujar Dina. Sebelumnya, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan, pelaku usaha yang memutar musik lokal maupun internasional di ruang komersial wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait. ”Ya, kalau memang di tempat (komersial), itu, kan ketentuan undang-undang. Sama nanti itu, mau putar lagu luar negeri, mau putar lagu lokal, itu sama nanti. Karena itu, ketentuan internasional,” ujar Supratman. Politikus Partai Gerindra itu menjelaskan bahwa Indonesia sudah tergabung dalam World Intellectual Property Organization. Ia bersama sejumlah pihak terkait pun baru sama menghadiri majelis umum (general assembly) di Geneva, Swiss. Di forum itu, Kemenkum mengusulkan protokol Jakarta yang merupakan aturan agar platform-platform internasional juga membayar royalti kepada pencipta. Kekayaan intelektual, baik ciptaan maupun yang lain, ada nilai ekonomi yang harus dihargai. ”Tapi intinya, sekarang kita, kan, lagi berjuang. Bagaimana orang, namanya kekayaan intelektual. Jadi kalau kekayaan intelektual itu kan, baik itu ciptaan maupun yang lain, itu bisa ada nilai keekonomiannya. Dan itu harus kita hargai. Ya, kan? Kita harus hargai,” ujarnya. Menurut Dina, royalti termasuk untuk musik, wajib dibayarkan untuk memenuhi hak ekonomi pencipta dan pemegang hak cipta, baik penggunaan ciptaan secara komersial maupun hak pemilik dari pihak terkait. Secara prinsip, pelindungan hak cipta tidak ada yang berbeda. Justru, yang membuatnya berbeda adalah kesadaran hukum (legal awareness) para pelaku yang kini terus meningkat. Akibatnya, penerapan hukum baik secara preventif maupun represif juga meningkat. ”Pemangku kepentingan hak cipta semakin sadar sehingga banyak melakukan upaya pemenuhan hak cipta sebagaimana yang kita lihat dalam beberapa waktu terakhir,” jelasnya. Imbauan dari Kementerian Hukum bahwa pengusaha komersial harus membayar royalti apabila memutar musik di tempat usaha komersil pun dinilai sudah ada di jalur yang benar. Momentum ini dinilainya justru bisa meningkatkan kesadaran hukun pelaku usaha bahwa hak cipta merupakan bagian dari hak kekayaan intelektual. ”Itulah fungsi utama sistem hak kekayaan intelektual sebagai insentif untuk berkarya (to create), promosi dari kompetisi (promotion of competition), dan memastikan keseimbangan di antara keduanya,” tegasnya. Kewajiban bayar royaltiDalam keterangan tertulis, Senin (28/7/2025), Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Kementerian Hukum Agung Damarsasongko menyampaikan, setiap pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik, termasuk restoran, kafe, toko, pusat kebugaran, dan hotel, wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait. Aturan tersebut berlaku meskipun pelaku usaha telah berlangganan layanan seperti Spotify, Youtube Premium, Apple Music, atau layanan streaming lainnya. Langganan pribadi seperti Spotify dan Youtube Premium tidak mencakup hak pemutaran musik untuk tujuan komersial di ruang publik. ”Layanan streaming bersifat personal. Ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, itu sudah masuk kategori penggunaan komersial sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah,” kata Agung. Agung mengatakan, pembayaran royalti dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sesuai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Agung juga menanggapi kekhawatiran sebagian pelaku usaha yang menyatakan akan memboikot pemutaran lagu-lagu Indonesia demi menghindari pembayaran royalti. ”Itu justru akan melemahkan ekosistem musik lokal dan tidak memberikan apresiasi kepada pencipta/pemegang hak cipta. Musik adalah bagian dari identitas budaya. Ketika pelaku usaha enggan memberikan apresiasi yang layak kepada pencipta lagu Indonesia, yang dirugikan bukan hanya seniman, melainkan juga konsumen dan iklim kreatif nasional secara keseluruhan,” tuturnya.
Penerimaan Royalti oleh LMKN Menanggapi alternatif lain seperti pemutaran musik instrumental bebas lisensi atau lagu dari luar negeri, Agung menyampaikan bahwa pelaku usaha tetap perlu berhati-hati. ”Tidak semua musik instrumental bebas dari perlindungan hak cipta. Beberapa lagu yang diklaim no copyright justru bisa menjerat pelaku usaha dalam pelanggaran apabila digunakan tanpa verifikasi sumber. Termasuk lagu luar negeri jika mereka dilindungi hak cipta, kewajiban royalti tetap berlaku,” katanya. Agung mengatakan, jika pelaku usaha tidak memiliki anggaran untuk membayar royalti musik, alternatif yang dapat dipilih adalah menggunakan musik bebas lisensi (royalty free) atau musik dengan lisensi Creative Commons yang memperbolehkan penggunaan komersial, memutar musik ciptaan sendiri, menggunakan suara alam/ambience, atau bekerja sama langsung dengan musisi independen yang bersedia memberikan izin tanpa biaya.
Daftar besaran tarif royalti pemutaran lagu dan musik di sejumlah area komersial menurut ketentuan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional. Mengenai skema pembayaran, pelaku usaha dapat mendaftarkan usahanya melalui sistem digital LMKN dan membayar royalti sesuai klasifikasi usaha dan luas ruang pemutaran musik. Di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Jepang, Inggris, dan Korea Selatan, sistem serupa sudah diberlakukan sejak lama. ”Namun, tujuan Indonesia bukan untuk menambah pemasukan negara, melainkan memberikan kepastian hukum serta memastikan bahwa pelaku industri kreatif mendapatkan hak ekonominya secara adil,” jelas Agung. DJKI juga memastikan bahwa usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tidak dipukul rata. Terdapat mekanisme keringanan atau pembebasan tarif royalti sesuai ketentuan yang diatur oleh LMKN, berdasarkan ukuran ruang usaha, kapasitas pengunjung, serta tingkat pemanfaatan musik dalam operasional harian. ”Kami mengimbau pelaku UMKM untuk mengajukan permohonan keringanan secara resmi agar mendapatkan perlindungan hukum sekaligus mendukung ekosistem musik nasional,” ujarnya. Terakhir, Agung mengingatkan bahwa pelanggaran terhadap kewajiban pembayaran royalti dapat dikenai sanksi hukum, namun sesuai Pasal 95 Ayat 4 UU Hak Cipta untuk melakukan mediasi terlebih dahulu. ”Pelindungan hak cipta bukan semata soal kewajiban hukum, tapi bentuk penghargaan nyata terhadap kerja keras para pencipta yang memberi nilai tambah pada pengalaman usaha Anda,” katanya.
|
| Kembali ke sebelumnya |