| Judul | Perempuan dalam Struktur Parlemen |
| Tanggal | 01 September 2025 |
| Surat Kabar | Kompas |
| Halaman | 7 |
| Kata Kunci | Wanita dalam Politik |
| AKD |
- Komisi II - Komisi VIII |
| Isi Artikel | Jika perkara ini dikabulkan oleh MK, hal ini akan menjadi pesan yang sangat kuat bahwa "affirmative action" adalah bagian vital dari demokrasi yang berkeadilan jender. Oleh Titi Anggraini Sejak awal reformasi, keterwakilan perempuan di parlemen menjadi salah satu agenda demokratisasi yang tak pernah lepas dari tarik-menarik politik. Konstitusi dengan jelas menegaskan perlakuan khusus bagi kelompok yang mengalami ketimpangan sosial, termasuk perempuan, sebagaimana termuat dalam Pasal 28H Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Perlakuan khusus terhadap kelompok yang mengalami ketimpangan sosial tersebut bukanlah kemewahan, melainkan bentuk koreksi struktural atas ketidaksetaraan yang telah lama mengakar. Namun, dalam praktik legislasi, prinsip tersebut kerap dipinggirkan, bahkan dihapus begitu saja, seperti yang terjadi pada pengaturan keterwakilan perempuan dalam kepemimpinan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) DPR. Fenomena penghapusan itu menjadi pangkal gugatan uji materi yang diajukan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Perludem, Kalyanamitra, dan Titi Anggraini ke Mahkamah Konstitusi (MK) melalui perkara No 169/PUU-XXII/2024. Para Pemohon mempersoalkan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang menghapus ketentuan afirmatif jender dalam pengisian pimpinan dan keanggotaan AKD. Bagi pemohon, hal itu bukan sekadar kemunduran kebijakan, tetapi juga bentuk pembangkangan terhadap Putusan MK No. 82/PUU-XII/2014 yang sebelumnya telah memulihkan klausul afirmatif tersebut. Pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, frasa ”memperhatikan keterwakilan perempuan” secara eksplisit tercantum dalam pengisian pimpinan AKD. Kehadiran frasa itu menandai pengakuan negara atas pentingnya perspektif perempuan di posisi strategis struktur parlemen. Namun, saat UU MD3 disusun ulang pada 2014, frasa itu dihapus begitu saja tanpa penjelasan yang dapat ditemukan dalam naskah akademik ataupun risalah pembahasan. Putusan MK No 82/PUU-XII/2014 kemudian mengoreksi langkah itu dan memerintahkan agar keterwakilan perempuan ”diutamakan” dalam pengisian pimpinan AKD sebagai bentuk perlindungan konstitusional. Ironisnya, pada 2017, melalui perubahan UU MD3, ketentuan afirmatif tersebut tetap dihapus. Padahal, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, mengikat, dan berlaku untuk semua pihak (erga omnes). Penghapusan itu mencerminkan constitutional disobedience, yakni sikap pembentuk undang-undang yang secara sadar mengabaikan kewajiban konstitusionalnya. Sikap yang bukan saja melemahkan posisi perempuan di parlemen, tetapi juga menggerus kewibawaan Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi. Meritokrasi semu Fakta persidangan perkara No 169/PUU-XXII/2024 di Mahkamah Konstitusi memperlihatkan bahwa partai politik memegang peran dominan dalam penunjukan pimpinan AKD. Akan tetapi, komitmen partai-partai politik terhadap kesetaraan jender masih rendah. Tanpa norma hukum yang memaksa, perempuan kerap hanya hadir secara simbolis, tidak memiliki akses substantif terhadap proses pengambilan keputusan. Data yang pemohon ajukan menunjukkan empat komisi di DPR periode 2024-2029 (Komisi I, II, V, dan VIII) sama sekali tidak memiliki pimpinan perempuan. Bahkan, terdapat praktik ”domestikasi politik” dengan menempatkan perempuan di komisi yang dianggap ”urusan perempuan” semata. Lebih memprihatinkan, DPR sebagai pembentuk undang-undang tidak pernah hadir memberikan klarifikasi di persidangan meski telah diundang tiga kali oleh Mahkamah Konstitusi. Sikap ini menambah kesan bahwa lembaga legislatif tidak menempatkan isu kesetaraan jender sebagai bagian integral dari kepatuhan konstitusional. Sementara pemerintah dalam keterangannya berpegang pada prinsip meritokrasi, menyatakan bahwa jabatan seharusnya diberikan kepada yang paling kompeten, bukan berdasarkan kuota jender. Prinsip itu tampak ideal, tetapi gagal melihat realitas ketimpangan yang dihadapi perempuan dalam politik. Meritokrasi di ruang yang tidak setara justru melanggengkan diskriminasi. Penelitian dan pengalaman menunjukkan adanya glass ceiling, hambatan tak kasat mata yang membatasi perempuan untuk naik ke posisi puncak meskipun mereka memiliki kualifikasi dan pengalaman memadai. Perempuan politisi di Indonesia memulai ”perlombaan” dari garis start yang lebih jauh di belakang dibandingkan dengan laki-laki. Ketimpangan modal sosial, beban ganda antara ranah domestik dan publik, bias budaya, serta minimnya dukungan dari partai politik membentuk rintangan berlapis bagi perempuan politik. Dalam situasi itu, kebijakan afirmasi (affirmative action) bukanlah pengistimewaan yang menyalahi prinsip keadilan, melainkan koreksi yang diperlukan untuk menciptakan titik berangkat yang setara. Dari perspektif pemohon, ada dua bentuk masalah yang menghalangi perempuan masuk ke dalam posisi strategis AKD. Pertama, selected meritocracy. Meritokrasi yang diterapkan secara selektif, hanya pada tahap tertentu tanpa membongkar ketidaksetaraan yang sudah terjadi di tahap awal. Kedua, pseudo meritocracy. Meritokrasi semu yang dipakai sebagai retorika untuk menutupi bias struktural yang masih sangat kuat. Saksi Eva Kusuma Sundari dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi mengungkapkan bahwa aspirasi penunjukan dirinya sebagai pimpinan AKD di DPR bukan berasal dari partainya, melainkan dari desakan lintas fraksi. Hal itu memperlihatkan lemahnya inisiatif partai untuk mendorong kader perempuan yang sebenarnya berkapasitas. Lebih ironis lagi, banyak anggota AKD yang memimpin komisi tanpa latar belakang keahlian sesuai dengan bidangnya. Dalam kondisi seperti ini, meritokrasi sering kali sekadar dijadikan tameng untuk menolak afirmasi jender, padahal praktiknya tidak konsisten. Budaya patriarki memang masih menjadi faktor yang menghambat, tetapi tidak bisa dijadikan alasan untuk menolak pengaturan kuota perempuan di AKD. Data Cakra Wikara Indonesia (CWI) menunjukkan tren positif bahwa jumlah kursi DPR yang dimenangi perempuan terus meningkat, meski pencalonan mereka fluktuatif. Tren itu mengindikasikan adanya penerimaan publik yang lebih besar terhadap perempuan di politik, meskipun akses struktural di internal partai masih sangat terbatas. Proses verifikasi partai peserta Pemilu 2024 juga memperkuat fakta bahwa banyak partai mengabaikan aturan kuota minimal 30 persen perempuan di kepengurusan provinsi dan kabupaten/kota. Jika pun dipenuhi, posisi yang diberikan biasanya nonstrategis, yaitu kebanyakan sekretariat, bidang perempuan, atau keluarga. Sementara, kursi penting seperti ketua umum, sekretaris jenderal, dan bendahara, tetap didominasi laki-laki. Praktik yang mempertahankan status quo dan membatasi pengaruh perempuan dalam pengambilan keputusan politik strategis. Kuota pimpinan Posisi pimpinan AKD sangat menentukan arah kerja parlemen. Pimpinan AKD memegang kewenangan menetapkan agenda, menyusun rencana kerja, dan memimpin pembahasan rancangan undang-undang. Catatan sejarah menunjukkan bahwa kehadiran perempuan dalam posisi strategis AKD berkontribusi pada lahirnya kebijakan penting. Antara lain Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Pemilu dengan pasal afirmasi yang lebih kuat, hingga Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Sebaliknya, absennya pimpinan perempuan di Komisi VIII pada 2020 berkontribusi pada tersendatnya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual, yang bahkan sempat dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas. Bagi para pemohon, frasa ”mengutamakan keterwakilan perempuan” dalam putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya sudah tidak lagi memadai. Mekanisme pemilihan pimpinan AKD kini tidak lagi berbentuk paket yang diusulkan fraksi, membuat penerapan prinsip itu sulit diukur dan mudah diabaikan melalui musyawarah mufakat yang tidak berpihak pada perempuan. Oleh karena itu, pemohon perkara No 169/PUU-XXII/2024 mengusulkan norma yang lebih tegas, yakni kuota minimal 30 persen perempuan di pimpinan AKD serta distribusi proporsional di setiap AKD. Secara matematis, kebijakan itu sangat mungkin dilaksanakan. Dengan 127 dari 580 anggota DPR periode 2024–2029 adalah perempuan, maka kuota 30 persen di 18 AKD berarti 36 kursi pimpinan diisi perempuan. Ini memungkinkan setiap AKD memiliki dua pimpinan perempuan dan total sembilan anggota perempuan, termasuk pimpinan dan anggota. Simulasi ini menunjukkan bahwa afirmasi jender tidak hanya realistis, tetapi juga strategis untuk memperkuat pengarusutamaan jender di parlemen. Pemohon dalam petitumnya meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal-pasal pengaturan keanggotaan dan pimpinan AKD di Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 inkonstitusional sepanjang tidak memuat ketentuan keterwakilan perempuan minimal 30 persen di pimpinan dan distribusi proporsional di keanggotaan AKD. Namun, perkara ini bagi pemohon melampaui sekadar perebutan kursi di AKD. Ini juga ujian bagi kesetiaan negara terhadap mandat konstitusi, dan pengingat bahwa pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi adalah pelanggaran serius terhadap supremasi hukum. Dalam iklim politik yang kerap stagnan, apabila perkara ini dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka hal ini akan menjadi pesan yang sangat kuat bahwa affirmative action adalah bagian vital dari demokrasi yang berkeadilan jender. Bukan konsesi yang diberikan dengan setengah hati. Pada akhirnya, putusan Mahkamah Konstitusi juga akan menjadi penanda apakah prinsip kesetaraan jender di parlemen hanya sebatas slogan politik yang hampa, atau benar-benar diangkat sebagai norma hukum yang terukur, mengikat, dan dijalankan dengan komitmen penuh oleh lembaga-lembaga negara. Karena itu, kita nantikan bersama kabar baik dari MK. Semoga! Titi Anggraini, Pengajar Bidang Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI |
| Kembali ke sebelumnya |