Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Memperkuat Lembaga Komisi Penyiaran
Tanggal 04 September 2025
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci Penyiaran - Undang-undang dan Peraturan
AKD - Komisi I
Isi Artikel

Senin, 25 Agustus 2025, Komisi I DPR memanggil Majelis Ulama Indonesia (MUI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dan Koordinator Komite Nasional Pengendalian Tembakau membahas rancangan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (RUU Penyiaran).

Sebelumnya, Juli lalu, Komisi I sudah lebih dulu mendengarkan pendapat para pakar/akademisi, seperti Ahmad M Ramli, Masduki, dan Ignatius Haryanto Djoewanto.

Tema yang diusung lebih banyak membahas pengawasan platform new media, apakah perlu diawasi secara spesifik atau sudah cukup dengan Peraturan Pemerintah No 17/2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas).

Kemudian, jika platform new media perlu diawasi, lembaga mana yang layak mengawasinya? Apakah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) atau negara perlu membuat lembaga independen baru yang bekerja khusus dalam menjaga moral dan jati diri bangsa?

Pembahasan secara serius terkait hal di atas tentu sangat penting. Ikatan Psikolog Klinis Indonesia menyebutkan dampak negatif akibat media baru, berupa tekanan psikologis signifikan, pada 40 persen remaja. BPS menemukan, 53 persen remaja Indonesia mengaku pernah merasa cemas atau stres karena penggunaan media sosial berlebihan.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Intenet Indonesia (APJII) menyebutkan, 70 persen remaja aktif di medsos cenderung mengalami tekanan psikologis lebih tinggi dibandingkan yang jarang menggunakan medsos.

Di dunia, WHO mencatat penggunaan medsos yang bermasalah di kalangan remaja, naik dari 7 persen (2018) ke 11 persen (2022). Indikator kecanduan berupa kehilangan kontrol dan gejala penarikan.

Artinya, apa yang dilakukan Komisi I DPR sudah sesuai dengan kebutuhan publik. Namun, RUU Penyiaran yang sudah dibahas sejak periode DPR 2009-2014 hingga periode sekarang (2024-2029) belum juga selesai. Padahal, problematika dunia penyiaran bukan hanya isu media baru, melainkan juga pada lembaga independen KPI.

Platform new media saat ini mudah diakses oleh siapa saja asalkan ada jaringan internet yang berpusat di luar Indonesia. Saat ini, negara belum mampu mendikte atau mengendalikannya secara penuh. Negara hanya bisa melindungi anak dan remaja dengan cara memberikan notifikasi kepada orangtua/wali untuk mengonfirmasi (vide PP Tunas).

 

Dilemahkan oleh regulasi

Menurut penulis, ada baiknya Komisi I DPR terlebih dulu memperkuat KPI yang saat ini sudah mulai dilemahkan oleh beberapa regulasi.

Pertama terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Lewat PP yang merupakan peraturan pelaksana dari UU No 23/2014 tentang Pemda ini, pemerintah ingin perangkat daerah lebih efisien dan efektif. Namun, ini berefek negatif bagi lembaga independen KPI, khususnya di daerah (KPID).

Dalam PP No 18/2016, pemda tak mengakui adanya KPID. Pemda menyamakannya dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau OPD. Bahkan, ada gubernur yang mengira KPID sebagai ormas.

Alhasil, anggaran KPID kerap dipangkas atau tak dialokasikan secara jelas.

Regulasi kedua adalah UU Cipta Kerja yang mengamputasi kewenangan KPI perihal mekanisme perizinan penyiaran. Sebelumnya, dalam UU No 32/2002, KPI berwenang memberikan rekomendasi kelayakan penyiaran. Kini, izin penyiaran dikeluarkan langsung oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) tanpa harus ada rekomendasi dari KPI lebih dulu.

Menurut pakar komunikasi UI, Ade Armando, jika izin diberikan tanpa keterlibatan KPI, penilaian kelayakan siaran akan lebih bersifat administratif dan business oriented. Frekuensi tidak lagi milik publik, tetapi milik pelaku usaha yang kuat secara modal. Penyiaran yang edukatif dan informatif hanyalah utopis.

Oleh karena itu, sangat penting memperkuat komisi penyiaran melalui RUU Penyiaran. Dampak dari penyiaran yang disiarkan secara serentak dan diterima secara bersamaan oleh masyarakat melalui spektrum frekuensi radio sangatlah signifikan.

George Gerbner dalam teori kultivasi mengatakan, menonton televisi terus-menerus membentuk persepsi jangka panjang tentang realitas sosial dan media penyiaran membentuk realitas versi media.

Ada dua hal untuk memperkuat lembaga independen komisi penyiaran. Pertama, KPI dan KPID harus bersifat hierarkis, bukan koordinatif. Dari sejumlah pasal di UU No 32/2002, KPI dan KPID sama-sama diberi kewenangan mengawasi media penyiaran—KPI khusus lembaga penyiaran yang bersifat nasional dan KPID lembaga penyiaran yang bersifat lokal— tetapi dari segi perolehan anggaran dan pemilihannya berbeda.

Akibatnya, KPI tak bisa berbagi anggaran kepada KPID yang membutuhkan. KPID di setiap daerah memiliki anggaran yang beragam, bahkan ada yang tidak memiliki anggaran sama sekali.

Kedua, struktur sekretariatan KPI harus sekretaris jenderal, bukan sekretaris seperti saat ini. Ini agar KPI dapat mengelola anggaran sendiri tanpa harus ”mengemis” ke Kemenkomdigi layaknya lembaga negara lain, seperti KPU dan Bawaslu.

Harapannya. pembahasan RUU Penyiaran bisa segera dirampungkan. Selama itu belum rampung, pemerintah setidaknya bisa mengeluarkan PP untuk penguatan komisi penyiaran.

Ahmad Halim, Asistensi Komisioner KPI Pusat 

  Kembali ke sebelumnya