| Judul | Ekonomika Parlemen |
| Tanggal | 12 September 2025 |
| Surat Kabar | Kompas |
| Halaman | 6 |
| Kata Kunci | Dewan Perwakilan Rakyat |
| AKD |
- Ketua |
| Isi Artikel | DPR RI menghasilkan 225 undang-undang dalam satu periode dengan anggaran 663 juta dollar AS. Di Polandia, dengan anggaran seperempatnya menghasilkan 640 UU. Oleh Anggoro B Nugroho Kita perlu menilik analisis empirik tingkat kemahalan biaya parlemen kita dan produktivitasnya dalam merenungi kerusuhan di berbagai lapisan masyarakat di Indonesia pada akhir Agustus lalu. Anggaran parlemen kita adalah termasuk yang termahal pada kelasnya. Kelas yang dimaksud adalah negara-negara dengan gross national income (GNI) atau pendapatan per kapita yang sepadan untuk 2024, yaitu sebesar 4.000-5.000 dollar AS per tahun. Data dari DPR menunjukkan bahwa pada tahun 2024, jumlah total anggaran DPR yang diminta kepada pemerintah (eksekutif) untuk tahun berjalan adalah sebesar 663 juta dollar AS (kurs rupiah Rp 15.000 per dollar AS, wave level pascapandemi) atau setara lebih kurang Rp 10 triliun dalam satu tahun (Kontan, 4/4/2023). Sementara untuk negara-negara lain dengan tingkat kemjuan ekonomi yang sama di lingkup regional terdekat, seperti Vietnam dan Filipina, anggaran parlemennya masing-masing hanyalah berkisar 150 juta-300 juta dollar AS per tahun. Bila kita menggunakan basis komparasi kedua yang lain, yaitu jumlah populasi total (untuk menggambarkan derajat representasi, seperti daerah pemilihan/dapil di Indonesia), kita pun tak beranjak jauh dalam potret ini. Republik Rakyat China (RRC), dengan populasi lebih dari 1 miliar jiwa, anggaran parlemennya hanya kurang dari 200 juta dollar AS setahun, sepertiga dari kita. Sementara GNI per kapitanya sudah tiga kali lipat lebih dibandingkan Indonesia. India, Nigeria, dan Pakistan, yang jumlah penduduknya lebih kurang hampir setara dengan Indonesia, anggaran parlemennya per tahun hanya berkisar masing-masing 50 juta-300 juta dollar AS. Kita, Indonesia, tiga kali lebih dari itu. Lebih jauh lagi, bila menggunakan perspektif kejauhan pelipatgandaan dari upah minimum regional di tiap negara, anggaran parlemen (DPR) kita setara dengan Rp 18,7 miliar per tahun untuk setiap anggota. Angka itu setara 288 kali dari upah minimum regional (UMR) rata-rata Indonesia, yang saat ini adalah Rp 5,4 juta per bulan dengan Kota Bekasi yang tertinggi. Atau 718 kali bila menggunakan UMR rakyat Kabupaten Banjarnegara, yang adalah terendah di Indonesia saat ini, yaitu hanya Rp 2,2 juta per bulan. Angka pengganda ini jauh lebih besar dibandingkan dengan China yang GNI per kapitanya sudah di atas 12.000 dollar AS per tahun dan jumlah penduduknya 1,4 miliar jiwa juga Vietnam. Masing-masing hanya 19 kali dan 185 kali dibandingkan upah terendah masyarakatnya. Niscaya secara etika ekonomi atau ekonomika normatif, kita bisa terusik dengan kenyataan ini. Bila China yang telah sedemikian makmur atau kaya, anggota parlemennya mau hidup sederhana dan sebatas pantas saja. Perspektif produktivitas Dari segi produktivitas, anggota-anggota parlemen (DPR RI) kita yang jumlahnya 580 orang itu, tetap lebih kalah dari beberapa negara yang angaran parlemennya lebih rendah atau murah dari kita. India, dengan parlemen disebut Lok Sabha dan Rajya Sabha, menghasilkan 331 undang-undang dalam jangka waktu lima tahun, selama 2019-2024, dengan merujuk data pada International Parliamentary Union (IPU) yang berbasis di Geneva, Swiss. Anggaran mereka per tahun hanya kurang dari 300 juta dollar AS per tahun (kita sebesar 663 juta dollar AS di atas). Di Polandia dengan parlemen yang disebut Sejm, Nigeria dengan National Assembly, menghasilkan masing-masing 640 dan 331 undang-undang di dalam kurun waktu yang sama. Indonesia (DPR RI) hanya 225 undang-undang dalam satu periode atau setara dengan rata-rata 45 undang-undang per tahun dengan anggaran 663 juta dollar AS. Polandia dan Nigeria masing-masing hanya menghabiskan 160 juta dollar AS dan 300 jutadollar AS per tahun. Setengah atau bahkan seperempat dari anggaran DPR kita dan jauh lebih produktif. Apabila kita membuat nisbah produktivitas untuk kinerja anggota parlemen negara-negara di atas, dibandingkan dengan DPR RI kita, maka kita akan memperoleh angka 4 untuk Polandia, 0,11 untuk Nigeria, dan 0,07 untuk Indonesia. Dalam konteks, biaya produksi undang-undang, untuk setiap 1 unit undang-undang sebagai keluaran (semakin besar angkanya akan semakin produktif). Maka, kita akan dapat membandingkan bahwa kita relatif tidak produktif (produktivitas DPR kita rendah) dan mahal. Tentu ini ongkos bagi rakyat, mengingat mereka dibiayai dengan uang pajak di APBN, yang penggunaannya atau pengalokasiannya disetujui oleh pemerintah (presiden dan wakil) selaku eksekutif. Aksiologi etik Maka, melihat data IPU tahun 2019-2024 dan berbagai kenyataan analitik di atas, tentu nurani kita sebagai publik kembali terusik. ”Parlemen Indonesia sudah mahal, produktivitasnya pun masih di bawah negara-negara yang lain”. Barangkali inilah ungkapan perasaan yang akan muncul di kalangan rakyat bawah yang tidak mengerti hal-hal tersebut. Demonstrasi akibat kemarahan rakyat pada akhir Agustus 2025 harus dimaknai dengan komtemplatif dan sikap reformis. Pertama, bersikap adil kepada rakyat. Kepada profesi-profesi yang selama ini seharusnya menjadi yang paling krusial untuk membangun negeri, tetapi bergaji rendah. Misalnya guru, bahkan yang masih berstatus honorer. Berhentilah menganggap guru sebagai profesi yang bergaji rendah, sementara anggota parlemen dibayar lebih dari 58 kali lipat. Di Korea Selatan, Jepang, dan Singapura, yang merdeka lebih lambat dari kita, sadar bahwa manusia adalah satu-satunya sumber daya yang dimiliki sehingga mereka menggaji guru dengan tarif mahal, dan digarap serius dengan kewajiban mengikuti SAT (Scholastic Aptitude Test) sebagaimana layaknya di Amerika Serikat sehingga akhirnya mampu menyalip kita lewat produktivitas. Untuk itu, masih menganggap guru sebagai profesi yang tak perlu dihargai layak adalah sebuah kesalahan serius. Kedua, DPR sebagai parlemen, mengalami defisit orang-orang bijaksana. Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), filsuf kenegaraan dan sejarawan Roma, menyebut bahwa ada tiga profesi yang setidaknya diduduki oleh orang-orang bestari di masyarakat, yaitu 1) guru/pengajar, 2) agamawan, dan 3) senator, anggota perwakilan rakyat. Maka, berhentilah merekrut orang-orang yang hanya sekadar dikenal luas (terkenal) sebagai anggota parlemen, hanya untuk kepentingan perolehan suara sempit semata. Hal tersebut akan berdampak pada budaya organisasi parlemen, maupun nilai-nilai individu yang terbawa saat mereka bertugas di hadapan rakyat. Seperti menari-nari di tengah suasana sendu masyarakat menikmati kenaikan tunjangan, miskinnya kapasitas empati, keberpihakan, dan lain sebagainya. Ketiga, hampir semua revolusi di dunia dalam sejarah terjadi karena ketidakadilan anggaran, bahkan diikuti keculasan dari anggota penguasa. Misalnya di Perancis pada abad ke-18. Maka, berhentilah mempermainkan rakyat dengan pajak, sementara elite menggunakannya secara tidak akuntabel, adil, dan transparan. Engels (1820-1895) mengingatkan: ”hungry people, are angry people”. Bila pemerintah selaku eksekutif dan DPR RI selaku legislatif tidak segera mengindahkan ini, bukan tidak mungkin gejolak yang lebih buruk akan terjadi di masyarakat. Keempat, bagi eksekutif, jaga moral kebijakan. GNI rakyat hanya tumbuh pada kisaran rata-rata 4.000-5.000 dollar AS per tahun selama hampir enam tahun terakhir, setara Maroko dan Iran. GNI ini tak kunjung naik dalam hampir lima tahun pascapandemi, sementara tunjangan anggota DPR naik 20-75 persen. Pilihan kebijakan yang menguntungkan sekelompok elite jelas sangat melukai perasaan publik. Hentikanlah. Alirkan likuiditas APBN sebagai insentif pembangunan. Yang memiliki daya ungkit bagi pertumbuhan dan minimalisasi ketimpangan kelompok bawah. Dalam lima tahun terakhir, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik sebesar 57,2 persen. Namun, hal itu diikuti dengan penurunan daya beli masyarakat melalui inflasi kumulatif 2019-2024 sebesar 16,99 persen, perlambatan sumbangan konsumsi ke PDB sebesar 8,33 persen, dan pengangguran melalui PHK sebesar 24.000 orang lebih hanya dalam kurun waktu Januari-April 2025 (sepertiga dari total PHK 2024). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa keadilan yang seharusnya diterima oleh sebagian besar masyarakat lewat efek tetesan (trickle-down) yang selama ini menjadi primadona utama dalam pembacaan moral pembangunan sebagai sarana utama pendorong keadilan ekonomi masyarakat lewat pembangunan (Bank Dunia, 2006, 2022) tidak terjadi. Apakah ini adil? Anggoro B Nugroho, Akademisi, School of Business and Management Institut Teknologi Bandung |
| Kembali ke sebelumnya |