| Judul | Menteri Kehutanan Minta Bantuan Kapolri Selidiki Asal Kayu Gelondongan di Banjir Sumatera |
| Tanggal | 05 Desember 2025 |
| Surat Kabar | Kompas |
| Halaman | - |
| Kata Kunci | Banjir dan Hutan |
| AKD |
- Komisi V |
| Isi Artikel | Sementara ini tim sudah mendapatkan berbagai jenis kayu. Dari kayu-kayu itu, tim menemukan adanya bekas potongan gergaji mesin. Oleh Norbertus Arya Dwiangga Martiar JAKARTA, KOMPAS — Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni meminta bantuan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo untuk menelusuri asal-usul kayu gelondongan yang hanyut di banjir yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Kayu tersebut diduga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kerusakan infrastruktur dan jatuhnya korban jiwa. Raja Juli Antoni mendatangi Mabes Polri dan bertemu dengan Sigit pada Kamis (4/12/2025) malam. Pertemuan tersebut membahas kayu-kayu yang hanyut terbawa banjir dan diduga menjadi salah satu faktor terjadinya kerusakan infrastruktur dan korban jiwa di Sumatera. ”Kami minta bantuan kepada Kapolri untuk menjaga hutan kita. Kami berharap, concern publik yang sekarang muncul beberapa hari ini pascabanjir, yaitu keingintahuan publik tentang asal-usul dari mana material kayu yang terbawa banjir itu berasal,” tutur Raja. Menurut Raja, saat ini, pihaknya telah memiliki data awal berupa kondisi daerah-daerah terdampak bencana yang dihimpun berdasarkan pantauan drone. Di sisi lain, katanya, saat ini sudah ada teknologi untuk mengidentifikasi anatomi kayu bernama Aiko. Dengan itu, Raja berharap dapat mengidentidikasi asal muasal kayu-kayu gelondongan yang terbawa air. Berdasarkan hal itu, kata Raja, pihaknya akan bekerja sama dengan Polri untuk sesegera mungkin mengungkap asal muasal kayu tersebut. Bila di kemudian hari ditemukan unsur pidana, pihaknya mendukung dilakukannya penegakan hukum. Menurut Raja, hingga saat ini tim dari Kemenhut dan kepolisian telah diturunkan ke dua daerah aliran sungai, yakni Garuga dan Agoli yang berada di Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumut. Saat ini, pihaknya masih pada tahap identifikasi terhadap subyek hukum yang mungkin terlibat. Namun, Kemenhut belum bisa memastikan kayu tersebut berasal dari illegal logging atau dari pembukaan lahan sawit yang kayunya kemudian ditumpuk dan hanyut ketika terjadi banjir. Yang jelas, Kemenhut telah mengambil sampel kayu untuk diidentifikasi anatominya. ”Kalau ditebang dengan rapi berarti kira-kira di mana. Jadi, ada indikasi-indikasi awal yang belum konklusif. Nanti kami sampaikan kepada publik,” kata Raja. Pada kesempatan itu, Sigit mengatakan bahwa temuan kayu yang diduga ilegal tersebut menjadi atensi Presiden. Oleh karena itu, Polri bersama Kemenhut sepakat untuk membentuk Satuan Tugas Gabungan untuk melakukan penyelidikan secara menyeluruh. ”Kami menyambut baik dan akan melakukan kerja sama dengan Menteri Kehutanan dan tim untuk membentuk Satgas Gabungan guna melakukan penyelidikan terkait temuan-temuan kayu yang diduga berdampak terhadap kerusakan, jembatan rusak, rumah terdampak, hingga adanya korban jiwa,” kata Sigit. Langkah pertama yang dilakukan, kata Sigit, adalah mendalami secara bersama-sama dalam tim gabungan tersebut. Saat ini, kepolisian telah menurunkan tim untuk bergabung dengan tim dari Kemenhut yang telah lebih dulu diturunkan. Sigit tidak menampik kemungkinan untuk menyertakan Satgas Penertiban Kawasan Hutan dan Pertambangan (PKH) ke depan agar proses itu menjadi lebih cepat.
”Saya minta untuk tim juga segera bergerak dari hulu sampai dengan hilir, khususnya di lokasi-lokasi yang memang kita dapati ada potensi-potensi yang harus kita tindaklanjuti karena memang ada dugaan-dugaan pelanggaran,” tutur Sigit. Menurut Sigit, sementara tim sudah mendapatkan berbagai jenis kayu. Dari kayu-kayu itu, tim menemukan adanya bekas potongan gergaji mesin (chainsaw). Terhadap temuan itu, Sigit memastikan akan mendalaminya secara komprehensif dan hasilnya akan segera diinformasikan kepada publik. ”Yang jelas sementara itu yang bisa kami sampaikan. Kita akan pastikan kerja tim berjalan cepat,” kata Sigit. Secara terpisah, beberapa kelompok masyarakat sipil melalui pernyataan tertulis menyatakan, bencana banjir yang terjadi merupakan sinyal darurat atas krisis agraria dan ekologis yang semakin parah. Kelompok masyarakat sipil tersebut yakni Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI), Perempuan Rakyat Penunggu (PARAP), Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Serikat Tani Aceh (Setia), Yayasan Rumpun Bambu Indonesia (YRBI), dan Sarekat Pengorganisasian Rakyat (SPR). Menurut mereka, penyelenggara negara dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab akibat praktik bagi-bagi izin dan konsesi untuk perkebunan, tambang, dan kehutanan. Padahal, yang mestinya dilakukan adalah membenahi krisis agraria dan ekologis yang telah lama berlangsung. Mengutip data KSPPM yang melakukan analisis terhadap perubahan tutupan hutan di Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah sejak 1990 sampai 2024 menunjukkan penurunan tutupan hutan alam secara signifikan. Di Tapanuli Selatan, selama tiga dekade terakhir, wilayah itu kehilangan 46.640 hektar hutan alam. Kehilangan terbesar terjadi pada periode 1990-2000, yakni 26.223 hektar, dan berlanjut pada 2000-2010 dengan kehilangan 10.672 hektar. Kondisi serupa juga terjadi di Tapanuli Tengah. Sejak 1990 hingga 2024, wilayah tersebut kehilangan sekitar 16.137 hektar hutan alam. ”Kami mengingatkan pemerintah untuk segera melakukan evaluasi dan moratorium terhadap izin dan konsesi yang telah memonopoli wilayah adat masyarakat dan hutan di Indonesia, khususnya di tiga provinsi tersebut,” demikian dikutip dari keterangan tertulis.
|
| Kembali ke sebelumnya |