Isi Artikel |
Wajah Baru Subsidi Energi 2017
Pemerintah dan DPR akhirnya menyepakati besaran subsidi energi 2017. Sedikit berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, semangat efisiensi justru menguat dalam pembahasan. Dari usulan dalam Rancangan APBN (R-APBN) 2017 sebesar Rp92,21 triliun, disepakati menjadi Rp75,08 triliun.
Dampaknya, hampir semua pos belanja subsidi mengalami penurunan. Subsidi BBM jenis tertentu dari usulan Rp10,33 triliun turun menjadi Rp10,10 triliun. Subsidi listrik dari Rp48,60 triliun dipangkas menjadi Rp44,98 triliun. Pemotongan yang paling drastis terjadi di pos subsidi LPG 3kg dari usulan Rp31,98 triliun menjadi Rp11,98 triliun.
Inisiatif baru pemerintah untuk mengalokasikan subsidi energi baru terbarukan (EBT) sebesar Rp1,3 triliun juga mengalami penolakan yang sama. DPR merasa bahwa mekanisme subsidi EBT justru berpotensi untuk tidak tepat sasaran karena pihak yang nantinya akan menerima adalah korporasi bukan masyarakat secara langsung dan hanya akan mengulang kasus subsidi pupuk. Pemerintah justru dituntut untuk lebih banyak menciptakan mekanisme insentif dan disinsentif ketimbang mengalokasikan subsidi secara langsung.
Menilik sejarahnya, subsidi energi ini pernah menjadi momok menakutkan bagi APBN setiap tahunnya. Bukan hanya dari besarannya yang terus membelenggu karena bersifat mengikat, tetapi juga tekanan politik yang begitu besar. Tak jarang subsidi energi ini, khususnya BBM dan listrik menjadi barometer utama kinerja presiden. Pemerintah via presiden yang berani mengotak-atik subsidi BBM dan listrik, akan langsung dicap liberal atau tidak pro masyarakat miskin. Meskipun data Susenas dan penelitian World Bank justru membuktikan bahwa penerima terbesar subsidi BBM adalah masyarakat menengah-kaya pemiliki kendaraan bermotor pribadi yang tinggal di Jawa dan Bali. Artinya jargon subsidi BBM pro masyarakat miskin jelas salah alamat.
Untungnya pemerintah mampu mengambil kebijakan radikal, menghapus subsidi premium serta menjalankan mekanisme subsidi tetap untuk solar. Subsidi listrik yang awalnya masih menjadi persoalan, secara perlahan juga sudah diperbaiki. Per 1 Januari 2016 kemarin, pemerintah awalnya akan mencabut subsidi listrik secara proporsional, sehingga yang berhak menerima subsidi listrik hanyalah kelompok masyarakat miskin dan rentan miskin.
Sayangnya, kebijakan yang akan berdampak menghapuskan sekitar 23,3 juta pelanggan PLN dari total 48 juta pelanggan rumah tangga R1/450 VA dan R1/900 VA masih belum disetujui. Untungnya, di pembahasan APBN 2017 ini pemerintah dan DPR sepakat meninjau ulang tarif 450 VA dan 900 VA yang sudah hampir satu dasawarsa lebih tidak pernah disesuaikan. Rencananya kenaikan tarif pelanggan 450 VA akan dilakukan dalam empat tahapan melalui periodisasi triwulanan untuk menghindari terjadinya gejolak. Sementara itu, pelanggan 900 VA akan dikenakan tarif normal dalam tiga tahap.
Buah dari seluruh kebijakan yang radikal tersebut mulai menunjukkan hasil yang signifikan. Jika di 2008 misalnya, pemerintah dalam APBN masih mengalokasikan besaran subsidi energi Rp223 triliun kemudian mencapai puncaknya di 2014 sebesar Rp341,8 triliun, maka pada 2015 besarannya sudah mulai turun menjadi Rp119,1 triliun hingga di 2017 ini cuma Rp75,08 triliun. Sungguh suatu penurunan yang sangat dahsyat dan sangat wajib untuk diapresiasi setinggi-tingginya. Di sinilah kemudian pemerintah dirasakan ada dan bekerja untuk masyarakat.
PELONGGARAN FISKAL
Fantastisnya lagi, besaran subsidi BBM, LPG 3kg dan LGV yang terus merangkak naik dan mencapai puncaknya di 2014 hingga Rp240 triliun sedangkan subsidi listrik membengkak hingga Rp101,8 triliun, sejak 2015 mampu ditekan hingga Rp60,8 triliun dan Rp58,3 triliun. Puncaknya untuk 2017, besaran subsidi BBM, LPG 3kg dan LGV hanya sebesar Rp30,10 triliun dan subsidi listrik Rp44,98 triliun.
Pelonggaran ruang fiskal yang didapat oleh pemerintah, pada gilirannya dapat digunakan untuk melakukan banyak terobosan sosial dan infrastruktur pembangunan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Subsidi non-energi (pertanian, pangan dan PSO) misalnya, mendapatkan kenaikan alokasi dari Rp50,2 triliun di 2014 menjadi Rp83,4 triliun dalam APBN-P 2016. Belanja infrastruktur juga melonjak dari Rp154,6 trilun di 2014 menjadi Rp313,5 triliun dalam APBN-P 2016.
Kewajiban alokasi minimal 20% anggaran pendidikan juga berhasil dipenuhi di APBN-P 2016 sebesar Rp416,6 triliun serta Rp414,5 triliun di R-APBN 2017. Kewajiban minimal alokasi anggaran kesehatan sebesar 5% juga mampu dipenuhi di APBN-P 2016 sebesar Rp104,1 triliun dan Rp103,5 triliun di R-APBN 2017. Tak ketinggalan, belanja kemiskinan meningkat tajam dari Rp131,2 triliun di 2014 menjadi Rp214,4 triliun di APBN-P 2016. Pemerintah juga mempertimbangkan sinergi antara penerima beras sejahtera (Rastra), Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) serta berbagai skema kesejahteraan lainnya.
Terakhir, dukungan pelaksanaan desentralisasi fiskal melalui peningkatan alokasi Dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa juga terimbas. Jika di 2014, pemerintah hanya mengalokasikan Rp573,7 triliun transfer ke daerah maka sejak 2015, besaran tersebut sudah melonjak menjadi Rp623,1 triliun di 2015 serta Rp776,3 triliun dalam APBN-P 2016.
Jika sudah demikian adanya, pekerjaan utama ke depan adalah bagaimana mengawal seluruh anggaran yang sudah dialokasikan agar lebih efisien, efektif dan tepat sasaran. Dan itu merupakan agenda bersama seluruh pihak di tanah air tercinta.
*) JOKO TRI HARYANTO, Peneliti Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu
|