Isi Artikel |
Mendongkrak Kinerja Ekonomi
Dalam pertemuan dengan para ekonom dan pengusaha pekan lalu, Presiden Joko Widodo mengajukan pertanyaan lugas yang menantang. Bagaimana perekonomian Indonesia bisa seperti India yang terus melejit di tengah kelesuan global? Impian ini bukan tanpa alasan.
Kompas/Heru Sri KumoroPrasetyantoko
Hampir semua negara maju tengah terperangkap dalam pola pertumbuhan rendah yang diperkirakan akan berlangsung lama. Namun, bersama Tiongkok dan India, perekonomian Indonesia masih bisa tumbuh di atas 5 persen.
Optimisme bertambah dengan indikasi keberhasilan program pengampunan pajak. Barron's Asia menyebut program pengampunan pajak di Indonesia bisa menjadi salah satu yang tersukses di dunia. Hingga Minggu malam, total pelaporan harta mencapai Rp 1.768 triliun dengan uang tebusan sekitar Rp 53,6 triliun. Namun, secara umum, kita masih punya aneka persoalan struktural yang memerlukan perhatian agar pertumbuhan maksimal.
Pertama, meski menjanjikan, program pengampunan pajak tetap sulit mencapai target. Kementerian Keuangan menaksir hingga akhir program Maret 2017 akan ada Rp 4.000 triliun aset yang berpartisipasi. Sementara JP Morgan memperkirakan maksimum Rp 2.000 triliun. Perkiraan moderat jumlah uang tebusan berkisar Rp 60 triliun- Rp 80 triliun dari target Rp 165 triliun.
Kedua, melebarnya defisit fiskal akan menekan pertumbuhan di paruh kedua tahun ini. Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan memangkas anggaran 2016 sebesar Rp 137,6 triliun. Dengan tidak tercapainya target pemasukan uang tebusan dari program pengampunan pajak, ada kemungkinan fiskal dipangkas kembali. Pemangkasan anggaran akan menekan pertumbuhan.
Ketiga, ekspor ke negara maju dan investasi asing langsung diperkirakan menurun seturut dengan kinerja perekonomian global yang terus direvisi ke bawah. Sejumlah lembaga memperkirakan pertumbuhan global hanya 2,4-2,7 persen pada tahun ini.
Keempat, pertumbuhan investasi swasta domestik terus merosot. Sektor usaha yang masih bergerak hanya usaha kecil dan menengah (UKM), sementara sektor usaha besar tumbuh negatif. Situasi akan terus memburuk hingga akhir tahun. Kelima, peran konsumsi domestik semakin terbatas meski masih dominan.
Dari berbagai indikator dini itu, diperkirakan pertumbuhan ekonomi semester II tahun ini akan lebih rendah daripada semester I. Kelesuan sektor perbankan bisa menjadi indikator. Pada Juli lalu, kredit hanya tumbuh 7,7 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sepanjang 2016, kredit diperkirakan hanya 7-9 persen. Kredit macet industri perbankan sebesar 3,11 persen juga menandakan perlambatan sektor riil.
Berbagai upaya merelaksasi dunia usaha dilakukan dengan cara mendorong fungsi intermediasi perbankan. Tiga otoritas sektor keuangan secara simultan melakukan relaksasi. Lembaga Penjamin Simpanan pada awal September menurunkan tingkat bunga penjaminan dalam rupiah di bank umum sebesar 50 poin menjadi 6,25 persen. Sebelumnya Otoritas Jasa Keuangan menurunkan aturan uang muka terhadap aset dalam pembelian properti (loan to value). Terakhir, minggu lalu Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuannya menjadi 5 persen.
Mempertimbangkan berbagai situasi itu, mampukah kita tumbuh seperti India? Tentu dalam besaran yang sama tak mungkin. Namun, polanya tetap bisa diikuti. Dua hal yang tak dimiliki Indonesia, yaitu kondisi fiskal yang solid dan arus investasi asing langsung yang deras. Selebihnya, ada banyak kemiripan, baik secara ekonomi maupun politik.
Perdana Menteri India Narendra Modi tak berasal dari kaum elite dan kebijakannya dikenal sangat menyentuh lapisan bawah. Sejumlah program pemberdayaan petani dianggap berhasil. Ditambah dengan dukungan politik di parlemen yang solid, Modi praktis bisa melakukan apa pun demi mendorong perekonomian.
Perekonomian India pada dasarnya ditopang investasi pemerintah. Itulah mengapa saat dunia lesu, pada kuartal I-2016 India masih bisa tumbuh 6,6 persen. Mereka optimistis bisa mencapai pertumbuhan 7,6 persen bahkan lebih tahun ini. Bahkan, ada yang berani meramal perekonomian India akan tumbuh 8-9 persen dalam beberapa tahun ke depan. Keyakinan itu dibangun dari masifnya pembangunan infrastruktur.
Meski bergantung pada fiskal pemerintah, India juga berhasil menarik investasi langsung besar-besaran, termasuk di sektor teknologi informasi. Membanjirnya investasi asing telah menopang neraca transaksi berjalan mereka.
Apa pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman India? Pertama, pemerintah memiliki basis legitimasi yang kuat baik di kalangan elite (partai politik) maupun masyarakat bawah. Kedua, peran pembangunan infrastruktur memicu bangkitnya sektor lain.
Program pengampunan pajak bisa menjadi barometer penting bagi Pemerintah Indonesia. Aparat pajak perlu memaksimalkan keberhasilan pengampunan pajak ini, terutama dari kalangan pelaku besar. Dengan begitu, modal untuk menopang pertumbuhan ekonomi lebih kuat.
A Prasetyantoko Ekonom di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
|