Isi Artikel |
RMOL. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yang kini terpidana kasus korupsi, Muhammad Nazaruddin, masih menjadi salah satu sumber informasi dalam penanganan kasus-kasus korupsi besar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kesaksiannya terakhir adalah menyangkut dugaan korupsi dalam pengadaan KTP elektronik atau E-KTP. Dia kembali menyatakan bahwa mantan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, sebagai salah satu pihak yang menerima gratifikasi dari pengadaan itu.
Diketahui juga dalam beberapa kesempatan, Nazaruddin mengungkap bahwa salah satu tokoh politik yang terlibat dalam kasus pengadaan E-KTP adalah Ketua Umum DPP Partai Golkar, Setya Novanto. Mantan Ketua DPR RI itu disebut sebagai pihak yang memberi perintah untuk mengatur proyek dan pembagian fee ke sejumlah pihak.
Dalam proyek ini, lima perusahaan BUMN dan swasta menjadi konsorsium pemenang tender pengadaan. Mereka adalah PT Len Industri, Perum Percetakan Negara (Peruri), PT Sucofindo(Persero), PT Quadra Solution, dan PT Sandipala Arthapura. Dirut Sandipala, Paulus Thanos, juga mengakui bahwa Novanto otak intelektual dalam korupsi e-KTP.
Ketika ditanya wartawan mengenai hal tersebut, Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Bambang Soesatyo, menyerahkan sepenuhnya penanganan kasus tersebut ke KPK.
"Kan masih berproses di KPK," tegasnya kepada wartawan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (28/9).
Mengenai dugaan peran Setya Novanto, Bambang meminta agar awak media untuk menanyakan langsung ke ketua umumnya itu.
"Waduh, jangan tanya saya, tanya Novanto," ujarnya sambil berlalu.
Novanto sendiri sudah membantah keterlibatannya dalam kasus ini. Menurut Novanto, baik Nazaruddin maupun Paulus Thanos, hanya mengada-ada.
KPK telah mendalami kasus E-KTP pada tingkat penyidikan selama lebih dari dua tahun. Pada kasus ini, KPK baru menetapkan satu tersangka, yakni Sugiharto.
Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri itu dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Sugiharto juga berperan sebagai pejabat pembuat komitmen dalam proyek senilai Rp 6 triliun itu. Dia diduga telah menyalahgunakan kewenangan sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp 2 triliun. [ald]
|