Isi Artikel |
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat memulihkan nama baik mantan Ketua DPR Setya Novanto memunculkan pertanyaan terkait standar moral anggota DPR. Novanto pernah disidang MKD karena kasus dugaan permintaan saham kepada PT Freeport Indonesia.
”Saya sudah tidak tahu lagi apakah DPR kita masih memiliki standar moral dalam berpolitik?” kata mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, Jumat (30/9), saat dihubungi dari Jakarta. Syafii mengingatkan, putusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) itu makin menurunkan kepercayaan publik dan citra DPR.
Secara terpisah, Wakil Ketua MKD dari Fraksi PDI-P Hamka Haq, kemarin, menuturkan, sidang MKD pada 27 September 2016 tidak merehabilitasi nama baik Novanto. MKD hanya menegaskan bahwa sebelumnya tidak pernah memberikan putusan bersalah terhadap Novanto.
Dalam sidang itu, kata Hamka, MKD hanya menyatakan pernah melakukan penghentian perkara dugaan pelanggaran etik Novanto terkait skandal perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia pada 2015. Dengan demikian, MKD tidak pernah memberikan keputusan bersalah terhadap Novanto.
Pernyataan Hamka ini berbeda dengan keterangan Ketua MKD dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad dan Wakil Ketua MKD dari Fraksi Partai Hanura Sarifuddin Sudding. Mereka mengatakan, MKD telah mengambil putusan untuk memperbaiki nama baik, harkat, dan martabat Novanto.
Di tengah polemik tentang putusan MKD itu, sejumlah anggota Fraksi Partai Golkar di DPR meminta agar Novanto kembali dijadikan Ketua DPR. ”Kalau Novanto mau naik, saya tinggal kirim surat kepada pimpinan DPR, selesai. Kini semua kembali kepada Novanto. Ia sekarang sibuk sebagai ketua umum, jadi belum memutuskan,” ujar Pelaksana Tugas Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR Kahar Muzakir.
Anggota Fraksi Partai Golkar, Bambang Soesatyo, mengatakan, tindak lanjut wacana untuk menjadikan Novanto sebagai Ketua DPR tidak hanya harus dikembalikan kepada Novanto, tetapi juga Presiden Joko Widodo karena kini Partai Golkar menjadi pendukung pemerintah.
Menanggapi hal itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan, pemerintah tidak akan mengintervensi proses di DPR. Pemerintah menunggu sikap resmi yang diputuskan lembaga legislatif terkait posisi Ketua DPR.
Namun, Kalla mengingatkan, Novanto mengajukan mundur dari jabatan Ketua DPR ketika anggota MKD menyampaikan pandangan terkait kasus dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukannya. Dengan demikian, tidak ada hubungan antara putusan MKD dan posisi Novanto sebagai Ketua DPR.
Tidak diatur
Sarifuddin Sudding mengatakan, mekanisme keputusan untuk merehabilitasi nama baik dan peninjauan kembali tanpa adanya putusan etik, seperti yang kini dilakukan MKD dalam kasus Novanto, tidak diatur dalam perangkat peraturan DPR. Namun, MKD tak perlu kaku mengambil keputusan berdasarkan Kode Etik DPR dan Tata Beracara MKD.
Sementara Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, rapat MKD pada 27 September memutuskan, proses persidangan perkara Novanto di MKD tidak memenuhi syarat hukum untuk memberikan putusan etik karena berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi pada 7 September 2016, rekaman elektronik sebagai alat bukti utama dalam proses persidangan itu adalah tidak sah. Oleh karena itu, MKD memulihkan harkat dan martabat serta nama baik Novanto dan pihak lain yang terkait dalam persidangan MKD.
Kejaksaan Agung mengeluarkan sinyal akan menutup kasus permufakatan jahat dalam dugaan permintaan saham PT Freeport Indonesia yang melibatkan Novanto. Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, putusan yang dikeluarkan MK pada 7 September lalu berimbas pada penyelidikan kasus yang kini ditangani unit tindak pidana khusus.
”Rekaman yang waktu itu diserahkan kami jadikan alat bukti dan menjadi awalan kami membuka perkara itu. Dengan adanya putusan ini, tentu ada perubahan dalam kelanjutan perkara karena rekaman itu tidak diminta secara resmi oleh penegak hukum,” kata Prasetyo. (AGE/IAN/NTA)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Oktober 2016, di halaman 1 dengan judul "Standar Moral DPR Dipertanyakan".
|