Isi Artikel |
Kebijakan Ekonomi Masih Parsial
Fondasi Utama Belum Dibangun
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kebijakan pemerintah di bidang ekonomi dinilai masih parsial atau terkesan sebagai jalan pintas. Kebijakan itu antara lain mencakup sektor pangan, ritel, dan pajak. Keputusan atau solusi parsial yang telanjur diambil tersebut dapat berdampak buruk terhadap perekonomian nasional.
Kompas/Danu KusworoDiskusi membahas kebijakan ekonomi pemerintah yang bertema "Tidak Ada Jalan Pintas Untuk Mendapatkan Hasil Terbaik dan Berkelanjutan" diadakan Kompas dengan sejumah narasumber, diantaranya : (dari kiri ke kanan searah jarum jam) moderator Rhenald Kasali, Edy Hartono, Adgi S Lukman, Ahmad Siddik Badaruddin, Tutum Rahanta, Faisal Basri dan Dwi Andreas Santosa, Rabu (6/10).
Di sektor pangan, kebijakan yang dinilai sebagai jalan pintas adalah kebijakan impor dan penetapan harga acuan di tingkat petani dan konsumen. Impor tidak berdasarkan akurasi data sehingga pemerintah terlambat mengambil keputusan.
Pada saat pemerintah akhirnya memutuskan mengimpor bahan pangan, harga beras, gula pasir, dan daging sapi sudah melambung tinggi. Khusus impor gula justru diputuskan mendekati musim giling sehingga menekan harga gula di tingkat petani.
Hal itu mengemuka dalam Diskusi Panel Ekonomi Kompas bertema "Tidak Ada Jalan Pintas untuk Mendapatkan Hasil Terbaik dan Berkelanjutan" di Jakarta, Kamis (6/10).
Pengajar ekonomi di Universitas Indonesia, Jakarta, Faisal Basri; Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa; serta Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia Adhi S Lukman hadir sebagai narasumber.
Narasumber lain adalah Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Tutum Rahanta, Presiden Direktur PT Warna Mardhika Eddy Hartono, dan Direktur PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Ahmad Siddik Badruddin. Diskusi dipandu moderator Rhenald Kasali.
Untuk mengatasi kenaikan harga pangan, pemerintah mengintervensi pasar dengan menetapkan harga acuan tujuh bahan pangan pokok. Namun, kebijakan itu gagal menjaga stabilitas harga pasar. Kebijakan itu justru menekan harga bahan pangan di tingkat petani. Hal ini karena harga acuan tersebut tidak mempertimbangkan kesetimbangan harga baru yang terbentuk di pasar dan kenaikan biaya produksi pertanian.
Dwi Andreas Santosa mencontohkan, rata-rata biaya produksi padi di lahan sendiri dan di lahan sewa sekitar Rp 4.199 per kilogram. Sementara pemerintah menetapkan harga acuan pembelian di tingkat petani Rp 3.700 per kilogram. "Pemerintah perlu memperbaiki data pangan. Ketidakakuratan data pangan akan menyebabkan kebijakan dan perencanaan pangan bermasalah," ujarnya.
Di sektor ritel, salah satu kebijakan jalan pintas yang disorot dalam diskusi kemarin terkait revisi daftar negatif investasi. Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal dinilai akan mematikan industri ritel nasional. Salah satu poin dari regulasi itu mengatur persyaratan penanaman modal asing sebesar 67 persen.
Investor asing dapat membuka usaha di pasar swalayan dengan luas lantai penjualan 400 meter persegi- 2.000 meter persegi. Padahal, regulasi lama, Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014, mengatur investor asing hanya diperbolehkan membuka usaha dengan luas lantai penjualan minimal 2.000 meter persegi.
Regulasi ini akan menyebabkan deindustrialisasi sektor ritel. Ritel nasional yang memayungi industri penyuplai akan kalah bersaing dengan ritel asing.
Industri ritel nasional juga diwajibkan memenuhi 80 persen pasokannya dari usaha kecil menengah. Akan tetapi, ritel asing dikecualikan dari kewajiban itu.
Peritel asing didominasi perusahaan yang membawa produk dari negara lain. Kondisi ini berbeda dengan ritel nasional yang menghidupi industri rumahan, seperti pakaian, makanan, dan minuman.
"Saat ini, banyak pasar swalayan di daerah terseok-seok menghadapi persaingan. Bahkan, beberapa di antaranya sudah tutup," kata Tutum Rahanta menjelaskan.
Eddy Hartono menambahkan, dengan pelonggaran luas ruang usaha menjadi 400 meter persegi, peritel asing semakin leluasa merambah kota kecil. Hal ini berpotensi mematikan usaha ritel di daerah.
Di sektor pajak, program pengampunan dinilai sebagai solusi parsial untuk mengejar penerimaan negara. Salah satu tujuan utama program itu, yaitu menjaring dana repatriasi, belum optimal.
Dukungan
Faisal Basri menuturkan, pemerintah cenderung mengambil jalan pintas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, fondasi utamanya, seperti perkuatan industri, sumber daya manusia, dan pemanfaatan inovasi teknologi, belum dibangun secara optimal. "Kalau diteruskan, Indonesia tidak akan bisa lepas dari jebakan kelas menengah," ujarnya.
Sementara Adhi S Lukman berharap ada sinkronisasi kebijakan dan perencanaan pembangunan industri manufaktur antarinstansi pemerintah. Di sisi lain, industri juga membutuhkan dukungan fiskal dan perlindungan dari gempuran produk impor. "Saat ini ekonomi nasional tengah terseok-seok. Daya saing turun, efisiensi logistik juga turun, dan sejumlah sektor mengalami pelambatan," ujarnya.
Ahmad Siddik Badruddin mengatakan, pelambatan pertumbuhan sektor penopang ekonomi terlihat dari penyaluran kredit perbankan. Di sektor pertanian, penyaluran kredit turun dari 29,7 persen terhadap total kredit tahun 2012 menjadi 20 persen pada tahun 2015.
Di sektor ritel, penyaluran kredit pada tahun 2012 sebesar 33,2 persen dari total kredit. Pada tahun 2015, kredit yang disalurkan turun menjadi 10,6 persen.
"Kami mencermati produk domestik regional bruto (PDRB) di sejumlah sektor untuk meningkatkan penyaluran kredit. Kami juga terus mencermati PDRB setiap daerah," ujarnya.
Siddik menambahkan, perbankan membutuhkan insentif agar dapat turut menggerakkan ekonomi nasional. Insentif itu ditujukan kepada sektor riil agar permintaan kredit kembali meningkat.
Selama ini perbankan sudah mendapat insentif berupa pelonggaran kebijakan moneter dan makroprudensial. Tren suku bunga akan turun dan kredit sektor properti diperkirakan tumbuh karena pelonggaran rasio pinjaman terhadap nilai aset atau loan to value (LTV).
"Kami berharap implementasi paket kebijakan akan mendorong sektor riil sehingga berdampak positif terhadap sektor perbankan," kata Siddik. (HEN)
|