Isi Artikel |
Implementasi Paket Dikritik
Kebijakan Ekonomi untuk Memperkuat Struktur
JAKARTA, KOMPAS — Paket kebijakan ekonomi bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi lebih baik. Namun, pelaku usaha mengkritik, belum semua kebijakan dalam paket ekonomi berhasil diimplementasikan. Untuk itu, perlu sinergi agar pelaksanaannya lebih efektif.
Sejak September 2015 sampai saat ini, pemerintah sudah menerbitkan 13 paket kebijakan ekonomi.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengemukakan, pemerintah berusaha menggenjot deregulasi sektor riil melalui Paket Kebijakan Ekonomi I-XIII. "Jika belum baik, ya, dilakukan penyesuaian sambil melakukan paket-paket deregulasi lanjutan," kata Mirza dalam seminar nasional yang diselenggarakan Bank Indonesia dan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, di Jakarta, Kamis (6/10). Seminar tersebut bertema "Prospek Perekonomian Indonesia: Seberapa Jauh Dampak Paket Kebijakan Ekonomi".
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Lukita Dinarsyah Tuwo menambahkan, paket kebijakan ekonomi mencakup upaya menjaga daya beli masyarakat, meningkatkan iklim investasi dan dunia usaha, serta menumbuhkan daya saing. Secara garis besar, paket kebijakan bertujuan memperkuat struktur ekonomi nasional. "Nanti, paket XIV terkait perdagangan elektronik dan peta jalan transaksi elektronik," ujarnya.
Kendati demikian, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Benny Soetrisno mengkritik, belum semua paket kebijakan terimplementasi.
"Contohnya, paket mengenai gas dan listrik terbit Oktober 2015. Sampai hari ini, sudah setahun, tidak datang juga diskon tarif listrik 30 persen. Demikian juga soal gas, sampai Presiden harus mengulangi lagi soal ini," kata Benny.
Menurut Benny, paket yang terlalu banyak, tetapi efektivitasnya kurang atau tidak terimplementasi, justru menciptakan inflasi paket dan ketidakpercayaan pelaku usaha.
"Menurut kami, paket berhenti dulu di XIV, benahi efektivitas implementasi paket yang sudah dikeluarkan, baru melangkah ke paket selanjutnya," katanya.
Ekonom Bank Pembangunan Asia (ADB), Arief Ramayandi, menambahkan, pelaksanaan paket kebijakan harus konsisten. Konsistensi ini untuk menjaga dampak positif terkait dengan peluncuran paket kebijakan.
Rektor Universitas Atma Jaya Jakarta A Prasetyantoko memaparkan, hingga September 2016 ada penyelesaian 202 regulasi dan 24 regulasi turunan. Namun, pada saat yang sama, daya saing Indonesia turun. Daya saing rendah itu antara lain pada pilar pasar tenaga kerja, kesehatan, dan pendidikan dasar.
Menurut Prasetyantoko, paket yang berorientasi jangka menengah dan panjang semestinya diarahkan ke wilayah yang memiliki peringkat buruk dalam daya saing.
Normal yang baru
Indonesia sedang menghadapi kondisi "normal yang baru" dalam perekonomian. Berbagai perubahan ekonomi, mulai dari inflasi global hingga kemampuan masyarakat di bidang informasi dan teknologi, memunculkan sikap pro dan kontra terhadap perkembangan ekonomi global.
Ketua Dewan Pertimbangan Presiden Sri Adiningsih mengemukakan pandangan itu dalam diskusi publik "Aktualisasi Pancasila pada Era Globalisasi dalam Perspektif Ekonomi", di Jakarta, kemarin.
Adiningsih memaknai terminologi normal baru dalam ekonomi sebagai sikap baru yang mesti dipahami masyarakat. Pertumbuhan ekonomi tidak tinggi lagi. Faktanya, pertumbuhan ekonomi global juga turun.
"Kalau kita melihat visi dan misi pemerintah yang tertuang dalam Nawacita, kita berupaya untuk bisa berdikari secara ekonomi. Prioritasnya sangat jelas, yakni membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam rangka Negara Kesatuan RI," kata Adiningsih.
Pengajar ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Revrisond Baswir, berpendapat, masih banyak pekerjaan rumah di Indonesia yang harus diselesaikan. Namun, langkah ini tidak bisa lagi hanya mengandalkan pemerintah sebab Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sudah habis dialokasikan untuk pengeluaran biaya rutin. (CAS/OSA)
|