Judul | INVESTASI PARIWISATA - Minim dan Tak Merata |
Tanggal | 14 Oktober 2016 |
Surat Kabar | Bisnis Indonesia |
Halaman | 26 |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi VI - Komisi X |
Isi Artikel | JAKARTA — Pelaku usaha didorong untuk masuk ke sektor pariwisata mengingat investasi di bidang tersebut masih belum berkembang maksimal. Padahal bidang tersebut merupakan salah satu sektor prioritas. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong mengatakan perkembangan realisasi komitmen investor untuk bidang pariwisata belum signifikan. “Angka investasi di sektor pariwisata belum menonjol, tetapi justru itulah tantangannya. Sebagai gambaran skalanya untuk lima tahun ke depan investasi yang dibutuhkan dari swasta puluhan triliun rupiah lagi,” katanya di sela-sela kegiatan Trade Tourism Investment di Jakarta, Kamis (13/10). Selain jumlah yang masih minim, daerah distribusi investasi pariwisata juga tidak merata. Thomas mengungkapkan mayoritas penanaman modal untuk hotel dan resort tertumpuk di Bali dan Jakarta. Berdasarkan data BKPM, realisasi investasi pariwisata pada 2015 mencapai Rp161,1 miliar dengan total 190 proyek dan menyerap 1.514 tenaga kerja. Adapun realisasi sepanjang semester I 2016 meningkat menjadi Rp241,2 miliar dengan total 161 proyek, dan menyerap tambahan 833 tenaga kerja. Thomas menyebutkan salah satu aspek yang kerap dikeluhkan pemodal adalah perizinan di daerah. Hal ini juga terungkap dalam rapat pleno Satgas Evaluasi Ekonomi Paket Kebijakan Ekonomi. “Ada yang mengatakan untuk perizinan hotel perlu urus satu izin untuk pasang parabola, satu izin untuk bangun kolam renang, dan satu izin untuk bikin bar. Kalau begitu investor akan lari ke wilayah lain yang perizinannya lebih masuk akal,” tuturnya. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P. Roeslani mengatakan hal senada. Menurutnya, masalah korupsi, termasuk pungutan liar, merupakan faktor teratas dari 14 kendala daya saing ekonomi Indonesia. Berdasarkan data World Economic Forum (WEF) 2016, daya saing Indonesia merosot dari posisi 37 menjadi posoisi 41 pada 2016. Daya saing Indonesia jauh di bawah negara Asia lain, seperti Singapura. “Makanya untuk mengantisipasi korupsi terutama dalam perizinan, kami mengusulkan untuk mengurangi mata rantai perizinan. Salah satu jawabannya lewat penerapan sistem online,” ujar Rosan. Menurut Rosan, pada dasarnya pelaku usaha siap masuk ke bidang pariwisata. Akan tetapi berbagai aturan yang kerap tumpang tindih dan berlarut-larut, terutama di tingkat pemerintah daerah, membuat pelaku enggan menanamkan modalnya. Sebagai contoh, pembangunan dermaga untuk kapal pesiar di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, yang cukup diminati investor asing dan dalam negeri. “Sudah banyak yang menyampaikan minatnya ingin bangun dermaga dan kami yakin Labuan Bajo itu akan sangat menjanjikan. Kadang sedih juga, sebab di Indonesia tidak ada satu pun dermaga internasional untuk kapal pesiar,” tuturnya. Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Industri Pariwisata Kemenpar Dadang Rizki Ratman mengatakan promosi investasi pariwisata harus terus didorong secara bersama-sama oleh Kemenpar dan BKPM. Meski belum memuaskan, menurutnya, investasi dalam bisnis pariwisata sudah menunjukkan tren peningkatan, termasuk untuk restoran, hotel, theme park. “Kami sepakat untuk menggenjot promosi untuk mendatangkan 20 juta kunjungan wisatawan mancanegara pada 2019,” tuturnya. Adapun, mengenai masalah perizinan, pihaknya tengah membahas deregulasi berupa revisi peraturan menteri tentang tanda daftar usaha. Di dalam aturan tersebut ada poin mengenai pengajuan persyaratan teknis lainnya yang seringkali ditafsirkan secara berbeda oleh pemerintah daerah. “Poin ini yang akan kami pertegas kembali dalam pedoman revisi Permen yang mudah-mudahan bisa dikeluarkan dalam waktu dekat.” Guna memaksimalkan pemerataan investasi, pada tahun ini pemerintah menetapkan 10 destinasi prioritas yang diproyeksikan menjadi kawasan ekonomi khusus pariwisata, yakni Danau Toba, Tanjung Kelayar, Tanjung Lesung, Kepulauan Seribu & Kota Tua Jakarta, Borobudur, Bromo-Tengger Semeru, Mandalika, Labuan Bajo, Wakatobi, dan Morotai. Pemerintah akan membangun infrastruktur utama seperti jalan tol, bandara serta pelabuhan. Sementara pembangunan infrastruktur pendukung akan ditawarkan kepada swasta. INSTRUMEN FISKAL Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan akan menggunakan instrumen fiskal untuk menekan pemerintah daerah agar sejalan dengan tujuan pimpinan pusat. Pasalnya, selama ini banyak rancangan investasi, perdagangan, dan pariwisata yang mangkrak akibat kesulitan mengikuti perizinan di daerah. Menurut Enggartiasto, perizinan yang rigid di daerah disebabkan UU Nomor 23 Tahun 2014 yang mengatur soal otonomi daerah. Dengan payung hukum tersebut, membuka ruang bagi para pimpinan daerah menelurkan surat keputusan gubernur atau bupati, kendati beberapa peraturan daerah telah dicabut. Untuk mengatasi ketidaksinkronan visi pusat dengan perizinan daerah, Enggar memastikan pemerintah akan meninjau kembali payung hukum multitafsir. Contohnya, aturan-aturan yang membuat ruang gerak perizinan di daerah menjadi rumit dan ketat. “Tapi pada saatnya kami, pemerintah, akan menggunakan instrumen anggaran untuk menekan daerah mengikuti peraturan. Sekarang ini, kami hanya melakukan imbauan dan pendekatan dulu, karena tidak bisa instan,” jelas Enggar di Jakarta, Kamis (13/10). Enggar menyontohkan beberapa perizinan di tingkat daerah yang menyulitkan, seperti untuk pemasangan lift yang diwajibkan menyertakan izin tenaga kerja. Enggar juga mengupayakan seluruh perizinan dilakukan online, kecuali ketika ada perjanjian perdagangan yang terjadi saat kunjungan duta besar negara lain. |
Kembali ke sebelumnya |