Isi Artikel |
APBN 2017
Konsolidasi Ekonomi Masih Panjang
JAKARTA, KOMPAS — Persoalan struktural perekonomian nasional ditambah dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi global menyebabkan Indonesia membutuhkan waktu yang lebih lama untuk melakukan konsolidasi ekonomi. Implikasinya, pertumbuhan ekonomi hanya bergerak di kisaran 5 persen sehingga tidak cukup menjawab persoalan pengangguran dan kemiskinan.
"Ini adalah tahun-tahun konsolidasi ekonomi. Lebih panjang dari perkiraan awal. Paling tidak, konsolidasi ekonomi butuh waktu dua sampai tiga tahun lagi," kata Guru Besar Tamu Australia National University Chatib Basri, di Jakarta, Rabu (26/10).
Konsolidasi ekonomi yang dimaksud adalah masa ketika semua faktor perekonomian melakukan penyesuaian akibat dari sejumlah keterbatasan atau persoalan, terutama yang disebabkan oleh faktor struktural. Implikasinya, perekonomian tidak bisa tumbuh maksimal, tetapi cenderung semenjana atau bahkan minimalis.
Panjangnya masa konsolidasi ekonomi Indonesia tersebut, menurut Chatib, tecermin dari target pertumbuhan ekonomi 2017 yang dijadikan asumsi dasar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 sebesar 5,1 persen. Target tersebut dinilai realistis.
Artinya, pertumbuhan ekonomi Indonesia terkungkung di kisaran 5 persen sejak 2014 sampai dengan 2017. Sementara 2018-2019, untuk bisa langsung melambung mencapai 6 persen atau bahkan di atas 6 persen diperkirakan berat.
"Perekonomian global memang masih diliputi ketidakpastian. Tapi ingat, India dan Vietnam tetap bisa tumbuh tinggi dalam situasi itu. Kuncinya adalah struktur ekonomi bergeser ke industri manufaktur. Ini yang belum kita lakukan," kata Chatib.
Setelah krisis keuangan pada 1997-1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak pernah mencapai 7 persen. Catatan tertinggi terjadi pada 2011, hanya 6,5 persen. Pada tahun-tahun berikutnya, laju pertumbuhan ekonomi terus melambat sampai mencapai 4,79 persen pada 2015. Tahun ini, pertumbuhan ekonomi sedikit membaik, tetapi masih di kisaran 5,0 persen sampai dengan 5,1 persen. Tahun depan, targetnya 5,1 persen.
Tidak tercapai
Jika dibandingkan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, target pertumbuhan ekonomi 8 persen pada 2019 hampir pasti tidak akan tercapai. Target tersebut mengandaikan pertumbuhan rata-rata 2015-2019 sebesar 7 persen. Pertumbuhan ekonomi selama 2015-2017, rata-rata hanya 4,99 persen.
"Saya khawatir konsolidasi ekonomi akan berlangsung agak panjang. Oleh sebab itu, APBN 2017 yang realistis dan percepatan pembangunan infrastruktur serta usaha membuat iklim usaha lebih baik, merupakan langkah yang tepat. Namun, itu saja tidak cukup. Masih butuh kebijakan lain yang dikerjakan secara serius dan fokus," tutur Chatib.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati seusai mengikuti Rapat Paripurna DPR tentang pengesahan Rancangan Undang-Undang APBN 2017 menyatakan, pemerintah berkomitmen menjaga pertumbuhan ekonomi. Hal ini diusahakan dengan APBN 2017 yang ekspansif. Ini tecermin dari defisit yang diregangkan sampai mencapai 2,41 persen terhadap produk domestik bruto.
Selain itu, Sri Mulyani melanjutkan, pemerintah juga terus memperbaiki iklim usaha. Hal ini ditujukan untuk mendorong peran investasi swasta dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. "Jadi seimbang antara kebijakan fiskal, moneter, dan kebijakan lainnya. Hal ini diharapkan bisa meningkatkan kepercayaan pelaku usaha," kata Sri Mulyani.
Sebelumnya, Rektor Universitas Prasetiya Mulya, Djisman Simandjuntak, berpendapat sejumlah persoalan struktural membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu di bawah potensinya. Salah satu persoalannya adalah rendahnya peran industri manufaktur dalam produk domestik bruto.
Kemampuan terbatas
Pemerintah mengakui kemampuan fiskal negara sangat terbatas sehingga untuk membiayai program prioritas perlu melibatkan swasta. Presiden Joko Widodo meyakini partisipasi swasta mampu menggerakkan roda perekonomian nasional.
Presiden yakin semakin banyak partisipasi swasta, semakin membuka peluang naiknya pertumbuhan ekonomi nasional.
"Jika hanya tergantung APBN, jangan terlalu berharap," kata Presiden saat memimpin rapat terbatas pembiayaan non-APBN di Kantor Presiden di Jakarta.
Menurut Presiden, kekuatan fiskal Indonesia dalam APBN tidak mungkin mengejar pembiayaan infrastruktur dengan dana sekitar Rp 4.900 triliun. Prediksi dalam lima tahun ke depan saja, APBN bertambah Rp 1.500 triliun. Kekurangan itu yang harus diisi oleh swasta, BUMN, BUMD, dan PPP.
Dalam beberapa kesempatan, Presiden menyampaikan pemerintah meminta partisipasi swasta lebih dahulu untuk mengerjakan proyek. Apabila swasta tidak mau, proyek dapat ditawarkan ke BUMN atau BUMD.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman menilai pemerintah terlalu berhati-hati dalam menetapkan target pertumbuhan. "Saya melihat angka 5-5,5 persen itu terlalu rendah. Faktanya, pada kondisi sulit seperti selama ini pun Indonesia bisa tumbuh sekitar 5 persen," kata Adhi. (LAS/CAS/NDY)
|