Isi Artikel |
Rp 21,6 Triliun di Akhir 2016
SBN Menyedot Likuiditas Pasar Keuangan Dalam Negeri
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana menarik utang Rp 21,6 triliun untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pada dua bulan terakhir tahun ini. Pembiayaan melalui penerbitan Surat Berharga Negara tersebut untuk mencukupi kebutuhan fiskal dan di luar fiskal.
Surat Berharga Negara (SBN) bruto yang diperlukan pada November-Desember 2016 ini Rp 21,6 triliun. Dari jumlah itu, Rp 9,12 triliun untuk membiayai APBN Perubahan 2016.
"Ini akan dipenuhi dari dua kali lelang surat utang negara atau melalui metode penerbitan SBN lainnya apabila diperlukan," kata Direktur Surat Utang Negara (SUN) Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Loto Srinaita Ginting, Kamis (3/11), di Jakarta.
Loto berharap, peminat SBN nanti akan tetap banyak, seperti halnya dalam penerbitan SBN sebelumnya. Pada saat yang sama, imbal hasil diharapkan turun seiring dengan inflasi yang terkendali dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang stabil.
Menurut rencana, lanjut Loto, SBN yang akan diterbitkan nanti dalam mata uang rupiah. Namun, ia tidak menutup kemungkinan, sebagian kecil berupa valuta asing. DJPPR menargetkan penerbitan SBN dengan mata uang asing sekitar 25 persen dari total SBN yang diterbitkan Indonesia. Sejauh ini, realisasinya 22 persen.
Utang yang ditarik pemerintah meliputi utang untuk membiayai defisit APBN dan pinjaman program bersifat tunai. Tahun ini, total rencana utang Rp 686 triliun. Namun, seiring defisit APBN-P 2016 yang melebar, kebutuhan pembiayaan juga membengkak menjadi Rp 729 triliun.
Dari target defisit 2,35 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada APBN-P 2016, Kementerian Keuangan memproyeksikan defisit mengarah ke 2,7 persen terhadap PDB.
Sampai dengan 2 November 2016, realisasi SBN neto mencapai Rp 398,8 triliun atau 97,8 persen dari target. Sementara itu, realisasi SBN bruto mencapai Rp 632,7 triliun atau 96,7 persen dari target.
Dari sisi jumlah, realisasi pada 2016 meningkat dibandingkan dengan 2014. Pada akhir Oktober 2014, realisasi SBN bruto Rp 421,21 triliun atau 98 persen dari target. Pada akhir Oktober 2015, realisasinya Rp 441 triliun atau 95 persen dari target.
Likuiditas
Ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan, Keuangan, dan Perbankan Unika Atma Jaya Jakarta YB Suhartoko menyatakan, penerbitan SBN dalam jumlah besar yang mayoritas berupa rupiah tersebut mau tidak mau menyedot likuiditas pasar keuangan dalam negeri, terutama di perbankan dan pasar modal.
Likuiditas di bank, misalnya, menurut Suhartoko, tidak hanya disalurkan sebagai kredit, tetapi juga untuk operasional perbankan. Untuk penyaluran kredit, sejauh ini tidak bermasalah karena permintaan masyarakat sedang lemah. Namun, ada persoalan dalam likuiditas yang digunakan perbankan itu sendiri, misalnya untuk investasi.
Likuiditas perbankan, lanjut Suhartoko, sudah tertekan penarikan tabungan untuk keperluan pembayaran uang tebusan pengampunan pajak yang sejauh ini sekitar Rp 94 triliun. Sebagian berasal dari dana di luar negeri, tetapi mayoritas tetap berasal dari dalam negeri.
"Memang situasinya dilematis. Di satu sisi, pemerintah harus menarik utang untuk membiayai program karena penerimaan lebih rendah daripada target. Namun, di sisi lain, sektor keuangan menjadi tertekan," kata Suhartoko.
Oleh karena itu, pemerintah harus segera membelanjakan anggaran belanja agar uang kembali masuk ke pasar domestik. Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) melalui instrumennya diharapkan membantu mengurangi tekanan likuiditas pasar keuangan.
Gubernur BI Agus DW Martowardojo, pekan lalu, menyatakan, pertumbuhan dari instrumen pasar modal, khususnya obligasi korporasi, meningkat. Sampai dengan akhir tahun, diperkirakan mencapai Rp 120 triliun. Hal ini antara lain didorong kondisi tingkat suku bunga yang sudah lebih rendah.
"Ini menunjukkan memang ada potensi di pasar," kata Agus.
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Muliaman D Hadad, pekan lalu, menyatakan, likuiditas di perbankan baik. Indikatornya, rasio aset likuid terhadap non core deposit yang per akhir Desember 2015 sebesar 68,91 persen. Pada akhir Agustus 2016, rasionya 88,39 persen.
"Rasio ini jauh lebih tinggi daripada batas bawah yang sebesar 60 persen. Memang betul, antara lain tertolong pelambatan pertumbuhan kredit," katanya.
Muliaman mengakui, tidak tertutup kemungkinan ada beberapa bank yang mengalami tekanan likuiditas. Namun, kondisi itu bersifat sementara. Sepanjang ada akses ke pasar, tekanan itu bisa cepat diatasi.
Potensi suntikan dana segar ke pasar keuangan domestik, menurut Muliaman, akan cukup besar pada akhir tahun ini dengan dukungan repatriasi program pengampunan pajak. Sebab, dari komitmen repatriasi sampai dengan akhir Oktober 2016 yang senilai Rp 143 triliun, baru sekitar Rp 10 triliun sampai dengan Rp 12 triliun yang sudah masuk ke dalam sistem perbankan nasional. Sebagian besar masih diparkir di luar negeri. Sesuai kebijakan Kementerian Keuangan, modal harus sudah masuk ke dalam negeri paling lambat 31 Desember 2016.
Untuk itu, Muliaman menekankan, pihaknya akan terus memonitor dan memastikan seluruh komitmen repatriasi benar-benar terealisasi. Komitmen repatriasi senilai Rp 143 triliun itu sebenarnya masih terbilang kecil ketimbang potensinya.
Kajian lembaga konsultan manajemen McKinsey menyebutkan, aset warga negara Indonesia yang ditempatkan di luar negeri mencapai Rp 3.250 triliun.
(LAS)
|