Isi Artikel |
SETELAH PEMILU AS
Kebijakan Ekonomi Harus Diantisipasi
JAKARTA, KOMPAS — Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat pada pemilihan umum kemarin diperkirakan menyebabkan perubahan drastis pada kebijakan ekonomi negeri itu. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan antisipasi.
Pada penutupan perdagangan Selasa (9/11), Indeks Harga Saham Gabungan melemah 56,36 poin atau 1,03 persen menjadi 5.414. Indeks sempat menguat pada awal pembukaan, lalu melemah 2,3 persen. Investor asing melepaskan saham senilai Rp 56 miliar. Sementara kurs rupiah di pasar tunai ditutup melemah 0,33 persen menjadi Rp 13.127 per dollar AS. Kemarin, rupiah diperdagangkan Rp 13.052-Rp 13.259 per dollar AS. Menurut kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, 1 dollar AS setara dengan Rp 13.084. Bursa dan mata uang di kawasan Asia dan Eropa juga melemah dalam merespons hasil pemilu tersebut.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, BI terus memantau perkembangan pemilu di AS. "Pasar keuangan kita, khususnya pasar valuta asing, relatif stabil," kata Perry. Kondisi tersebut menjadi cerminan bahwa tingkat kepercayaan para pelaku usaha mulai pulih terhadap situasi perekonomian nasional.
Ekonom Samuel Asset Management, Lana Soelistianingsih, mengatakan, Partai Republik biasanya ribut soal energi sehingga ada kemungkinan harga minyak naik. Harga bahan bakar minyak (BBM) naik, inflasi naik sehingga harga pangan naik. Dampaknya, inflasi pun berpotensi naik sehingga harus diantisipasi.
Sebaliknya, pengajar di Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, kemenangan Trump memicu ketidakpastian di pasar minyak. Kebijakan Partai Republik sebagai pendukung Trump yang pro minyak diperkirakan menyebabkan pasokan melimpah. Dari sisi permintaan, ketidakpastian yang muncul menyebabkan pembelian minyak tertahan.
Nasib TPP
Chief Economist Bank Mandiri, Anton Gunawan, mengatakan, Trump diperkirakan membuat AS menjadi lebih tertutup. Hal ini akan menimbulkan ketidakpastian. Konflik pun akan muncul karena pendekatan Trump yang terlihat konfrontatif. "Ketidakpastian masih tinggi," kata Anton lagi.
Ekonom Bahana Securities, Fakhrul Fulvian, mengatakan, jika janji-janji kampanye Trump dilaksanakan, ada beberapa risiko perdagangan yang mungkin akan timbul. "Perjanjian perdagangan, seperti NAFTA (Kawasan Perdagangan Bebas Amerika Utara), TPP (Kemitraan Trans-Pasifik) kemungkinan besar bisa diminta untuk direnegosiasi," kata Fakhrul.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice Rachmi Hertanti menyatakan, terpilihnya Trump berpotensi mengubah kebijakan perekonomian AS lebih protektif. Pilihan kebijakan ini beberapa kali disampaikan Trump dalam pidato kampanye.
Sementara ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede mengatakan, jika kebijakan Trump akan mempersulit masuknya produk Tiongkok ke AS, secara tidak langsung Indonesia akan terkena dampaknya.
Untuk itu, kata Josua, pemerintah perlu mengantisipasi sejumlah kemungkinan tersebut. Hal itu juga dalam rangka menjaga neraca perdagangan Indonesia agar tidak defisit terlalu dalam. Negosiasi perlu dilakukan kembali dengan Pemerintah AS yang baru. (APO/JOE/HEN/LAS)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 November 2016, di halaman 1 dengan judul "Kebijakan Ekonomi Harus Diantisipasi".
|