Isi Artikel |
JAKARTA, KOMPAS — Pemberian gaji dan tunjangan ke anggota Dewan Perwakilan Rakyat belum dilakukan berdasarkan kinerja yang bersangkutan. Mahkamah Kehormatan Dewan menilai perlunya penerapan sanksi dan ganjaran yang lebih ketat terhadap anggota DPR yang sering tidak hadir pada rapat paripurna ataupun rapat alat kelengkapan Dewan.
Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Hamka Haq, saat dihubungi, Senin (14/11), dari Jakarta, menilai, penghasilan anggota DPR harus disesuaikan dengan kinerjanya di parlemen.
"MKD sedang memikirkan cara meningkatkan kedisiplinan anggota. Mekanismenya tentu perlu didiskusikan lagi. Namun, pada prinsipnya perlu ada pemotongan pemasukan supaya diberi pelajaran," kata Hamka.
Peningkatan disiplin ini menjadi persoalan karena rata-rata kehadiran anggota DPR dalam rapat paripurna dan rapat alat kelengkapan DPR terus menurun. Pantauan WikiDPR, selama masa sidang I tahun 2016-2017, kehadiran anggota DPR rata-rata hanya 41,79 persen. Artinya, hanya 234 orang dari total 560 anggota DPR yang hadir pada setiap rapat (Kompas, 11/11).
Fraksi Partai Demokrat di DPR periode 2009-2014 pernah mengusulkan adanya pemotongan pemasukan bagi anggota DPR yang sering mangkir dari rapat. Saat itu, Fraksi Partai Demokrat mengusulkan, anggota yang sering tidak hadir pada rapat diberi sanksi berupa pemotongan gaji atau tunjangan.
Hamka mengatakan, pemotongan gaji atau tunjangan itu bisa saja diusulkan kembali. Namun, mekanisme pemberlakuan sanksi itu harus dibicarakan dan diperhitungkan terlebih dahulu. Pasalnya, dari daftar absensi anggota DPR yang direkapitulasi oleh MKD, mayoritas tidak hadir pada rapat paripurna karena alasan penugasan dari partai di luar DPR. Alasan lainnya adalah izin karena sakit atau menjalani tugas kedewanan berupa kunjungan kerja ke luar kota atau luar negeri. "Tentu tidak bisa kita pukul rata antara orang yang memang bolos dan yang izin karena penugasan dari partai," kata Hamka.
Menurut Hamka, pemotongan pemasukan dapat dilakukan terhadap anggota yang bolos tanpa alasan jelas. Sementara untuk mereka yang secara resmi mendapat tugas partai, pemotongan dilakukan dalam jumlah lebih kecil dan baru dijatuhkan setelah berulang-ulang terjadi.
Sekjen Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenny Sucipto menuturkan, pemotongan pemasukan itu bisa menjadi salah satu cara untuk mendorong anggota DPR lebih serius bertugas. "Adanya pemotongan gaji karena tidak hadir rapat bisa jadi sanksi bagi mereka yang tidak pernah rapat. Cara ini mungkin bisa memompa kinerja DPR," katanya.
Menolak
Namun, beberapa anggota DPR tidak setuju adanya pemotongan gaji atau tunjangan terhadap anggota yang kehadirannya rendah. Sekretaris Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Jazilul Fawaid mempertanyakan efektivitas pemotongan tersebut.
"Bagaimana kalau ternyata anggota malah semakin malas? Karena gajinya dipotong, semakin jarang hadir pada rapat? Hal itu mungkin perlu dikaji ulang lagi," kata Jazilul.
Anggota DPR dari F-PDI-P, Budiman Sudjatmiko, menuturkan, sistem keterpilihan anggota DPR yang didasarkan pada suara terbanyak menuntut anggota DPR lebih sering berada di daerah pemilihan (dapil).
Meski ada masa reses pada setiap akhir masa sidang serta kesempatan berkunjung ke dapil saat akhir pekan, Budiman mengatakan, kenyataannya anggota DPR tetap memanfaatkan hari kerja untuk berkunjung ke dapil guna menyerap aspirasi.
"Menyerap aspirasi juga fungsi anggota DPR yang harus dipenuhi, bukan hanya legislasi, anggaran, dan pengawasan. Masyarakat konstituen butuh perhatian, butuh pendidikan politik. Menurut saya, tidak ada urusannya secara langsung dengan pemotongan gaji. Yang penting, menyeimbangkan waktu kerja di ibu kota dengan dapil," katanya.
Menurut Ketua Badan Urusan Rumah Tangga DPR Roem Kono, kini yang dibutuhkan adalah mengatur dengan lebih baik jadwal rapat di DPR hingga tak berbenturan. (AGE/APA)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 November 2016, di halaman 2 dengan judul "Sesuaikan Penghasilan dengan Kinerja".
|