Isi Artikel |
BI Waspadai Kondisi AS
Suku Bunga Acuan Dipertahankan 4,75 Persen
JAKARTA, KOMPAS — Ketidakpastian global setelah pemilihan presiden Amerika Serikat menjadi tantangan perekonomian yang dihadapi Indonesia. Sebagai respons jangka pendek terhadap ketidakpastian itu, Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 4,75 persen.
BI juga mempertahankan suku bunga Deposit Facility 4 persen dan Lending Facility 5,5 persen. Deposit Facility adalah fasilitas simpanan rupiah perbankan di BI, sedangkan Lending Facility adalah fasilitas pinjaman rupiah bagi perbankan dari BI.
Keputusan itu diambil dalam Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada Rabu (16/11) dan Kamis (17/11).
Gubernur BI Agus DW Martowardojo dalam jumpa pers di Jakarta, kemarin, mengatakan, fundamental ekonomi Indonesia masih terjaga baik. Gejolak ekonomi terjadi akibat ketidakpastian global yang meningkat setelah pemilihan presiden AS.
Untuk itu, BI mewaspadai perkembangan ekonomi AS hingga triwulan I-2017. BI juga mencermati arah kebijakan ekonomi dan fiskal pemerintahan baru AS, yang akan mengakomodasi janji-janji kampanye Donald Trump, presiden terpilih AS.
"Ada kebijakan pemotongan pajak yang akan menyebabkan defisit fiskal. Ada juga kebijakan kenaikan upah minimum dan proteksi ekonomi AS dari negara-negara yang dinilai tidak menjalankan perdagangan dengan tidak wajar," ujar Agus.
Menurut Agus, BI juga melihat perekonomian AS semakin membaik. Hal itu tecermin dari produk domestik bruto yang membaik, tingkat pengangguran yang stabil, dan inflasi yang cenderung meningkat.
"Perbaikan ekonomi AS itu akan menjadi pertimbangan The Fed, bank sentral AS, untuk menaikkan suku bunga acuan pada Desember 2016," katanya.
Likuiditas
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo menambahkan, BI tetap mengedepankan sikap kehati-hatian dalam merespons perubahan kondisi ekonomi global. BI akan fokus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan menjaga likuiditas di pasar tetap cukup, terutama di sektor perbankan.
Pada akhir tahun ini ada kekhawatiran likuiditas perbankan semakin turun karena terserap pemerintah. BI mencatat, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) perbankan pada triwulan III-2016 sebesar 3,2 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan triwulan II-2016 yang sebesar 5,9 persen.
"Pelambatan itu diperkirakan sementara karena terkait dengan implementasi program pengampunan pajak pemerintah. Kredit diperkirakan tumbuh 7-9 persen hingga akhir 2016. Kami masih terus berkoordinasi dengan pemerintah untuk mengatasi hal itu," kata Perry.
Dalam DBS Asian Insights Conference, ekonom PT Bank DBS Indonesia, Gundy Cahyadi, berharap BI memperhatikan volatilitas rupiah. Menurut dia, kebijakan ekonomi Trump menjadi faktor penentu yang bisa mengguncang ekonomi global pada 2017. Kenaikan inflasi di AS dan suku bunga acuan The Fed berpotensi memengaruhi suku bunga acuan negara-negara dunia.
"Nilai tukar dan pasar keuangan kita yang masih dangkal sangat rentan dengan ketidakpastian global ketimbang sektor perdagangan," kata Gundy.
Pada acara yang sama, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, perdagangan global masih lesu sehingga tidak akan banyak berkontribusi terhadap ekspor Indonesia. Sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017 berasal dari dalam negeri, yaitu konsumsi masyarakat dan investasi.
Untuk merealisasikannya, pemerintah telah mengalokasikan Rp 387,3 triliun untuk belanja infrastruktur. "Faktor pendukung lainnya adalah kebijakan moneter Bank Indonesia," kata Suahasil. (HEN)
.
|