Isi Artikel |
Sektor Riil Tunggu Kebijakan Spesifik
JAKARTA, KOMPAS — Sektor riil memiliki persoalan khas yang menghambat perannya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Hal ini menuntut campur tangan pemerintah untuk memberikan solusi spesifik, cepat, dan tuntas.
Demikian benang merah dari diskusi pendahuluan menjelang Kompas100 CEO Forum di Jakarta, Kamis (17/11). Kompas100 CEO Forum akan digelar pada 24 November dengan mengambil tema ”Memantapkan Iklim Investasi Tahun 2017”.
Diskusi itu dihadiri Direktur Utama PT Tempo Scan Pacific Tbk Handojo S Muljadi, Dirut Citilink Albert Burhan, Dirut BNI Achmad Baiquni, Dirut PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) Emma Sri Martini, Dirut PT Telkomsel Ririek Adriansyah, Ketua Umum Real Estat Indonesia (REI) Eddy Hussy, Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani, pendiri Indoestri Makerspace Leonard Theosabrata, serta CEO Kompas Gramedia Lilik Oetama.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama satu dekade terakhir ini ditopang perdagangan komoditas primer. Puncaknya tahun 2011 ketika harga komoditas mencapai level tertinggi sehingga mengantarkan pertumbuhan ekonomi mencapai 6,5 persen.
Namun, seiring harga komoditas yang terus anjlok, pertumbuhan ekonomi juga turun. Tahun lalu, pertumbuhannya 4,79 persen. Meski dua tahun ini ada kecenderungan meningkat, pemulihannya sangat lambat. Tahun ini, proyeksinya 5,0-5,1 persen. Tahun depan pemerintah menargetkan 5,1 persen.
Hal ini, antara lain, disebabkan sektor riil di luar perdagangan komoditas, yang diharapkan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi, masih dililit sejumlah kendala. Padahal, potensinya besar. Sektor itu, antara lain, adalah pengolahan, pariwisata, farmasi, properti, jasa penerbangan, jasa telekomunikasi, dan industri kreatif.
Eddy mengatakan, banyak terobosan telah dilakukan pemerintahan Presiden Joko Widodo di bidang properti. Dari 13 paket kebijakan ekonomi yang telah dikeluarkan, enam berkaitan dengan usaha mendorong industri properti.
Salah satu yang diapresiasi adalah kebijakan menurunkan tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari 5 persen ke 2,5 persen. Persoalannya, sampai saat ini belum ada satu pemerintah daerah pun yang menindaklanjutinya.
Di industri pengolahan, Handojo mengatakan, mental pelaku usaha Indonesia bergeser dari produsen ke pedagang sejak krisis finansial tahun 1997. Alasannya, lebih menguntungkan menjadi pedagang ketimbang menjadi produsen. Padahal, kegiatan ekonomi yang sifatnya memproduksi barang akan meningkatkan daya saing, menambah rantai pasok, dan menimbulkan nilai produk.
Pemerintah, menurut Handojo, belum berpihak kepada produsen nasional. Produsen nasional yang dimaksud adalah semua perusahaan yang memproduksi barang di Indonesia, baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri.
Sementara di sektor pariwisata, menurut Hariyadi, Indonesia punya modal besar berupa jumlah hotel dan kamar selain potensi wisatanya. Modal tersebut lebih banyak ketimbang Thailand dan Malaysia. Namun, jumlah wisatawan mancanegara ke Indonesia lebih sedikit.
Leonard menekankan, Indonesia memiliki keragaman di berbagai hal. Persoalannya adalah bagaimana mengapitalisasinya menjadi bisnis yang menguntungkan. Salah satunya adalah ekonomi kreatif.
Baiquni memperkirakan perekonomian tahun depan lebih kurang akan sama dengan tahun ini. Harga komoditas sebagai salah satu faktor yang sangat relevan terhadap perekonomian Indonesia meski sudah mulai naik, tidak akan kembali ke level tahun 2011.
Emma berpendapat, pemerintah sudah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi. Beberapa manfaatnya sudah dirasakan. Namun, hal itu belum cukup baik dan belum cukup cepat.
Albert menyampaikan, ada faktor geografis yang menimbulkan biaya besar untuk operasional maskapai. Namun, hal ini bisa dijembatani dengan adanya iklim usaha yang baik dan kebijakan pemerintah yang mendukung. (LAS)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 November 2016, di halaman 1 dengan judul "Sektor Riil Tunggu Kebijakan Spesifik".
|