Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul DPR Menyoal Program DLP : Pemerintah Menyiapkan 17 Fakultas Kedokteran
Tanggal 30 Nopember 2016
Surat Kabar Kompas
Halaman 13
Kata Kunci
AKD - Komisi X
Isi Artikel JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menyiapkan 17 fakultas kedokteran untuk menjalankan program Dokter Layanan Primer atau DLP. Namun, Dewan Perwakilan Rakyat RI masih mempersoalkan dan meminta pemerintah mengkaji kelanjutan program mengingat Ikatan Dokter Indonesia terus menolak. "Kami menjalankan undang- undang. Apakah mau diterjemahkan menuruti (permintaan pihak tertentu), saya tak melihat itu," ucap Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir, Selasa (29/11), saat Rapat Kerja dengan Komisi X DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Program DLP merupakan amanat UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Sebanyak 17 fakultas kedokteran (FK) disiapkan pemerintah untuk mengadakan program studi DLP berakreditasi A, 6 di antaranya perguruan tinggi negeri-badan hukum (PTN-BH). Namun, penyiapan kurikulum terhambat mengingat Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tak lagi mau membahas. "Jadi buntu, tak ingin menyelesaikan masalah bersama," kata Nasir. Anggota Komisi X dari Fraksi Golkar, Noor Achmad, menyatakan, DPR mendapat keluhan dari pengurus IDI, termasuk saat reses di daerah. Dengan ada DLP, dokter umum khawatir tak bisa bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan untuk layanan Jaminan Kesehatan Nasional di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Padahal, dokter umum menjalani pendidikan akademik dan profesi setidaknya 6 tahun. Yayuk Sri Rahayuningsih, anggota Komisi X dari Fraksi Partai Nasdem, mengatakan, jenis dokter DLP di UU No 20/2013 bertentangan dengan UU lainnya. Jadi, UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran dan UU No 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan tak mengenal istilah DLP. Selain itu, penguatan upaya promotif dan preventif guna menekan jumlah warga sakit tak hanya terkait peran dokter. "Kita punya 900.000 tenaga kesehatan, dokter dan bukan dokter, bisa lebih diefektifkan," ucap Yayuk. Jika pemerintah menganggap dokter hasil pendidikan sarjana dan profesi tak memadai untuk layanan primer, lebih baik kurikulum di FK disesuaikan. Dokter bisa ikut Program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) terstruktur untuk mengejar kekurangan kompetensi yang diperlukan. Menanggapi itu, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ratna Sitompul memaparkan, tak ada regulasi mengatakan JKN di FKTP hanya bisa dilayani DLP. Tak ada dokter umum dikriminalisasikan meski penjelasan UU No 20/2013 menyebut DLP jadi pelaku awal FKTP. Kompetensi berbeda Dekan FK Universitas Padjadjaran, Bandung, Yoni Fuadah Syukriyani menjelaskan, kurikulum untuk DLP bisa diintegrasikan dalam pendidikan sarjana dan profesi, tetapi tak bisa selesai dalam 5 tahun. Sebab, untuk jadi dokter umum, butuh menempuh 155-160 satuan kredit semester (SKS), sedangkan program DLP memiliki 50 SKS untuk 4 semester. Jika diintegrasikan, mahasiswa FK yang tak ingin jadi DLP, misalnya dokter spesialis, menghabiskan waktu pendidikan yang tak diperlukan. Di sisi lain, DLP beda dengan dokter umum. Pendekatan dokter umum monodisiplin, sedangkan DLP inter dan multidisiplin. Itu diberikan saat program sarjana, tetapi tak mendalam. Nasir menyebut, program DLP menurut rencana berjalan mulai 2017. Jika sudah jadi dokter lebih dari 5 tahun, seseorang bisa jadi DLP lewat Rekognisi Pengalaman Lampau dalam satu semester, tak perlu mengikuti pendidikan hingga 4 semester. Itu masih menanti peraturan pemerintah dengan bab khusus terkait DLP. Kemristek dan Dikti menyiapkan draf aturan menteri, tetapi itu menanti terbitnya PP. Namun, 6 FK pada universitas berstatus PTN-BH (UI, Unpad, Universitas Diponegoro, Universitas Airlangga, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Gadjah Mada) bisa membuka program DLP karena punya otonomi. Kini, baru FK Unpad menjalankan program DLP sejak Agustus lalu dengan 45 mahasiswa. Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar IDI Adib Khumaidi mengatakan, PB IDI menolak ikut membahas rumusan RPP program DLP. Sebab, pemerintah belum menjelaskan definisi DLP dan perbedaan mendasar dengan yang ada untuk layanan primer. (JOG) Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 November 2016, di halaman 13 dengan judul "DPR Menyoal Program DLP".  
  Kembali ke sebelumnya