Judul | RUU PERAMPASAN ASET Komitmen Pemberantasan Korupsi Dipertanyakan |
Tanggal | 01 Desember 2016 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 3 |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi III - Badan Legislasi |
Isi Artikel | JAKARTA, KOMPAS — Tidak masuknya Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2017 dinilai menjadi simbol minimnya komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi. RUU ini amat penting untuk memulihkan kerugian negara sekaligus memberi efek jera koruptor. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Saut Situmorang, Rabu (30/11), di Jakarta, mengatakan, KPK tak berhak mencampuri legislator memutuskan regulasi apa yang akan diprioritaskan. Namun, dia menilai, RUU Perampasan Aset sangat diperlukan untuk mempercepat pemberantasan korupsi dan memperbaiki indeks persepsi korupsi Indonesia. Menurut Saut, ada beberapa hal yang krusial dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, misalnya aturan pembuktian terbalik harta para penyelenggara negara. RUU itu juga bisa menjadi landasan hukum dalam perampasan aset hasil pidana karena prinsipnya bukan milik terpidana. "Aturan pembuktian terbalik harta penyelenggara negara itu bisa masuk dalam kebijakan revitalisasi hukum yang tengah diupayakan pemerintah," katanya. RUU Perampasan Aset Tindak Pidana sebenarnya sudah masuk Prolegnas 2015-2019. Namun, RUU itu tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2015 ataupun 2016. Kementerian Hukum dan HAM pernah menyampaikan akan diajukan dalam Prolegnas 2017. Dimatangkan Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham Tri Wahyuningsih mengatakan, RUU Perampasan Aset tidak diusulkan masuk Prolegnas 2017 karena substansi masih perlu dimatangkan. "Tahun 2017 fokus pada RUU Pemasyarakatan," ujarnya. Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Fariz Farchyan, mengatakan, tidak adanya prioritas agar RUU Perampasan Aset untuk dibahas tahun 2017 menunjukkan Kementerian Hukum dan HAM tidak serius memperkuat sistem pencegahan dan pemberantasan korupsi. Ini menambah daftar panjang gejala kurangnya komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Sebelum itu, pemerintah juga mendorong wacana penghapusan syarat sebagai justice collaborator atau pelaku kejahatan yang membantu membongkar kejahatan bagi pemberian remisi. "Bisa saja RUU Perampasan Aset dianggap pemerintah sebagai batu sandungan untuk pertumbuhan ekonomi dan investor, itu tidak dijadikan prioritas," kata Fariz. (GAL) Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Desember 2016, di halaman 3 dengan judul "Komitmen Pemberantasan Korupsi Dipertanyakan". |
Kembali ke sebelumnya |